Sabtu, 29 Oktober 2011

Nashiruddin al-Albani Menghina Ulama’ Sekelas al-Imam as-Suyuthi Rahimahullaah

Bukan rahasia lagi apabila orang-orang dari sekte Wahhabiyyah gemar mencaci-maki dan menghina orang-orang yang tidak sepaham dengan mereka. Pada artikel kali ini akan kami sajikan sebuah fakta, dimana salah seorang ulama’nya kaum Wahhabiyyah melakukan penghinaan terhadap seorang ulama ahlussunnah wal jama’ah yaitu al-Imaam as-Suyuthi rahimahullaah.
al-Albani merendahkan al-Imam as-Suyuthi rahimahullaah dengan sebuah kalimat “يجعجع”  (Yuja’ji’u). Di dalam kamus al-Munawir, disebutkan bahwa arti Yuja’ji’u adalah suara unta yang sedang berkumpul.
Mari kita lihat fakta ini di dalam buku karya al-Albani yang berjudul as-Silsilat adh-Dha’ifah jilid 4 halaman 189 (kitab ini dapat didownload di perpustakaan digital milik wahhabi http://waqfeya.net/book.php?bid=505), dan setelah anda download yang jilid 4 silakan buka halaman 189, disitu akan tertera kalimat seperti berikut (perhatikan yang bergaris merah):

Kami tulis ulang kalimat yang bergaris bawah warna merah:

وجعجع حوله السيوطي في اللالي

“Dan as-Suyuthi bersuara seperti unta yang sedang berkumpul di sekitarnya di dalam al-Laali”
Apakah layak seorang imam sekelas as-Suyuthi rahimahullaah direndahkan dengan perkataan tak berakhlaq seperti ini????
Masih ada lagi, di dalam bukunya yang lain, yaitu as-Silsilat adh-dhaifah jilid 3 halaman 479, al-Albani juga merendahkan lagi al-Imam as-Suyuthi rahimahullah. Beliau al-Imaam as-Suyuthi rahimahullaah dikatakan sebagai “Seseorang yang tidak punya rasa malu” oleh al-Albani.
Mari kita lihat fakta ini, bagi anda yang ingin membuktikan apakah ini fakta atau fitnah, silakan anda buka kitab as-Silsilat adh-Dha’ifah jilid 3 halaman 479 (kitab ini dapat di download di http://waqfeya.net/book.php?bid=505 dan silakan pilih yang jilid 3), disitu tercantum (perhatikan kalimat yang bergaris bawah warna merah):

Arti dari kalimat yang bergaris bawah:
Aku (al-Albani)  katakan: “Sungguh mengherankan as-Suyuthi ini, dia tidak punya rasa malu menyertakan hadits buruk seperti ini di dalam kitabnya al-Jami’ as-Shaghir”
Setelah melihat fakta diatas, pasti timbul sebuah pertanyaan, apakah demikian akhlaq seseorang yang dianggap sebagai “Muhaddits” ????
Apabila beliau adalah benar-benar muhaddits (seperti yang diklaim para pengikutnya), tentunya akan sangat berhati-hati di dalam hal ini dan tidak akan merendahkan ulama lain. Namun, dikarenakan fakta yang ada menunjukkan hal-hal yang sebaliknya, beliau disamping merendahkan ulama’ lain, beliau juga sering salah dan kontradiktif di dalam menetapkan status hadits,  maka apakah layak dirinya dipercaya di dalam mentashhih dan mentadh’if hadits-hadits Nabi Muhammad Shollallaahu ‘alaihi wa sallam?
Berkaitan dengan tindakan caci-maki yang dilakukan al-Albani terhadap ulama’ lainnya, kami ada pertanyaan: Apakah ada di antara para Muhaddits yang mu’tabar dan diakui keilmuannya seperti al-Imaam al-Bukhari, imam Muslim, imam Ahmad, imam an-Nasa’i, imam at-Tirmidzi dan lain-lain yang melakukan tindakan caci-maki kepada ulama’ lain????

Pembahasan tentang Membaca Basmalah Secara Jahr

Bismillah ar-Rahmaan ar-Rahiim.
Membaca Basmalah di dalam Surat al-Fatihah dan pada surat-surat yang lain merupakan salah satu polemik yang sudah umum dan berkembang di masyarakat. Mudah-mudahan artikel kali ini dapat menjadi penjelas atas permasalahan ini.
Scan saya kali ini adalah footnote dari kitab “AL WASITH FIL MADZHAB” juz I, hlm.220, karya Hujjatul Islam Al Imam Ghazali (w.505).
Cetakan Darul Kutub Ilmiyah.
Footnote (tahqiq) ini ditulis oleh Abi Amr Al Husaini Bin Umar Bin Abdurrahim.


INI TERJEMAHAN TEKS YANG BERLATAR BELAKANG WARNA KUNING.
Adapun membaca keras “Basmalah” ini sebuah masalah yang panjang dan bercabang cabang.
Kelompok yang berpendapat bahwa “Basmalah” bukan bagian dari surat “Al Fatihah”, maka mereka tidak membaca dengan keras, begitu juga kelompok yang berpendapat bahwa “Basmalah” adalah bagian dari awal surat “Al Fatihah” (saja).
Adapun kelompok yang berpendapat bahwa “Basmalah” adalah bagian dari awal semua surat Al Qur’an, maka mereka berbeda pendapat.
IMAM SYAFI’I Rahimahullah berpendapat bahwa ia mengeraskan “Basmalah” bersama surat “Al Fatihah dan surat-surat yang lain. Dan ini adalah madzhabnya golongan dari sahabat nabi Shollallaah ‘alaih wa sallam , tabi’in dan para imam muslimin salaf dan kholaf.
✔ Yang mengeraskan bacaan “Basmalah” dari kalangan Sahabat adalah:
Abu Hurairah radhiyallaah ‘anhu,
Ibnu Umar radhiyallaah ‘anhu,
Ibnu Abbas radhiyallaah ‘anhu,
Mu’awiyah radhiyallaah ‘anhu.
✔ Dan telah menceritakan pula imam Abdil Baar dan imam Baihaqi dari Sayyidina Umar dan Sayyidina Ali.
✔ Imam Khatib juga telah menukilnya dari para Khulafa’ul Arba’ah namun itu langka (gharib).
✔ Sedangkan dari kalangan Tabi’in adalah:
Sa’id bin Jubair.
‘Ikrimah.
Abi Qolabah.
Azzuhri.
Ali bin Hasan.
Muhammad bin Ali bin Hasan.
Sa’id bin Musayyib.
Atho’.
Thowus.
Mujahid.
Salim.
Muhammad bin Ka’b al qurdhi.
Ubaid.
Abi baker bin Muhammad bin Amr bin Hazm.
Abi Wail.
Ibnu Sirin.
Muhammad bin almunkadar.
Ali bin Abdullah bin Abbas.
Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Abbas.
Nafi’ mantan sahaya nya Ibnu Umar.
Zaid bin Aslam.
Umar bin Abdul aziz.
Azrouq bin Quais.
Hubaib bin Abi Tsabit.
Abi Sya’tsa’.
Makhul.
Abdullah bin Mughoffal bin Muqorron.
✔ Imam Baihaqi menambahi:
Abdullah bin Shofwan.
Muhammad ibnu alhanafiyah.
✔ Imam Ibnu AbdilBar menambahi pula:
Amr bin Dinar.
Argumentasi dalam ini semua adalah bahwa “Basmalah” itu termasuk sebagian dari surat “Al Fatihah”, sehingga “Basmalah” ini dibaca keras seperti halnya ayat Alfatihah yang lainnya.
Imam Nasa’i meriwayatkan dalam kitab sunan nya, Ibnu Huzaimah dalam kitab Shohih nya dan Ibnu Hibban dalam kitab Shohihnya pula. Dan imam Hakim dalam kitab Al Mustadraknya, [lanjutan ke SCAN KEDUA]
►INI TERJEMAHAN TEKS YANG BERLATAR BELAKANG WARNA KUNING.
….Dari Abi Hurairah bahwa beliau melakukan shalat (berjama’ah), beliau mengeraskan bacaan “Basmalah”nya. Kemudian setelah shalat tersebut, beliau berkata (kepada para makmum) “Sesungguhnya saya telah menampilkan kepada kalian sebuah shalat yang menyerupai shalat Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam.”
Dan hadits ini di shohihkan oleh imam Daruquthni, Al khatib, Al Baihaqi dan yang lain. Demikian selesai sudah nukilan ini yang di ambil dari tafsir Ibnu Katsir, namun sebenarnya dalam tafsir tersebut masih ada keterangan lain mengenai ini, maka cobalah anda merujuk kesana (Juz I, hlm 16-17).
✓ Dan lihatlah pula dalam bab “JAHR” (mengeraskan basmalah) dalam hadits Ibnu Abbas, namun lemah yang dikeluarkan oleh:
Al Bazzar (1/255) nomor 526.
Tirmidzi (2/14).
Daruquthni (1/304).
Imam Uqaily dalam kitab “Addu’afaa’” (1/80-81) dan dalam kitab “Al mu’jam Kabir (11442).
✓ Dan Haditsnya Abi Hurairah radhiyallaah ‘anhu yang membaca keras “basmalah”, yang di shohihkan oleh:
Ibnu Khuzaimah.
Ibnu Hibban.
Daruquthni dan Hakim.
✓ Dan coba lihatlah pula di:
Sunan Annasa’I (2/134).
Daruquthni (1/305).
Al Hakim (1/232).
Ibnu Khuzaimah (1/251).
✓ Dan haditsnya Umi Salamah tentang membaca keras “Basmalah”, yang diriwayatkan oleh:
✓ Daruquthni dan di shohihkan olehnya (1/307).
Al Hakim dan di shohehkan olehnya (1/232).
Ibnu Khuzaimah dan di shohihkan olehnya (493).
Baihaqi (1/44).
Dan lainnya…
✓ Dan dalam shohih bukhari (9/90-91) hadis nomor (5946) yang berbunyi:
”Anas radhiyallaah ‘anhu ditanya: “Bagaimana bacaannya Nabi Shollallaah ‘alaih wa sallam?”
Anas radhiyallaah ‘anhu menjawab: ”Bacaannya beliau secara mad (panjang-pent). Lalu Anas radhiyallaah ‘anhu membaca (mempraktekkan-pent): ”Bismilahirrahmannirrahim”  beliau membaca mad (memanjangkan) kalimat:
Bismillaaahir.Rohmaaanir.Rohiiim…
►INI TERJEMAHAN TEKS YANG BERLATAR BELAKANG WARNA HIJAU.
Adapun dalilnya kelompok yang tidak membaca keras “Basmalah” ini hadits yang juga dari Anas radhiyallaah ‘anhu dengan statuss hadits MAUQUF.
Anas radhiyallaah ‘anhu bercerita: ”Saya pernah shalat bermakmum kepada Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam, Abu Bakar radhiyallaah ‘anhu, Umar radhiyallaah ‘anhu, Utsman radhiyallaah ‘anhu dan Ali radhiyallaah ‘anhu, mereka semua mengawali bacaannya (langsung-pent) “ALHAMDULILLAHIROBBIL ‘ALAMIN….” Mereka tidak menyebutkan “BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM” di awal bacaan dan di akhir bacaan.
Hadits serupa juga diriwayatkan oleh;
imam Ahmad dengan redaksi yang bermacam macam (3/179-223-224-273).
Imam Muslim (1/299).
Imam Baihaqi (2/50-51).
Imam Daruquthni (1/315).
Imam Thahawi dalam syarahnya kitab Ma’ani Al Atsar (1/203).
Thabrani (1/228 no.739).
Abu Nu’aim dalam kitab Al Hilyah (6/179).
Masalah “Basmalah” ini sebenarnya adalah masalah yang cukup panjang dan catatan kaki ini masih membutuhkan penyusun khusus. Dicukupkan hingga disini dimana sudah saya sajikan dan saya lampirkan kepada kita tentang penyebutan dalil dalil yang menetapkan membaca keras “Basmalah dan juga dalil dalil yang menafikan itu.
Semoga Allah senantiasa memberi perlindungan dan pertolongan. Amin.
►INI TERJEMAHAN TEKS YANG BERLATAR BELAKANG WARNA BIRU.
Imam Syaukani berkata:
“Ketahuilah bahwa umat ini telah sepakat tidak mengKafirkan orang yang menetapkan membaca keras “Basmalah” dan juga tidak mengKafirkan orang yang menafikan itu karena adanya perbedaan sudut pandang ulama. Namun berbeda jika seandainya ada orang yang meniadakan huruf secara global atau menetapkan huruf/ayat yang tidak di ucapkan oleh ulama satupun. Yang seperti inilah yang dihukumi kafir secara ijma’.
Tidak ada silang pendapat bahwa “Basmalah” yang berada dipertengahan surat An-Naml itu adalah termasuk ayat. Dan juga tidak ada khilaf menetapkan “Basmalah” sebagai bagian dari semua permulaan surat suratan dalam mushaf alqur’an. Kecuali didalam permulaan surat Attaubah.
Adapun masalah bacaan “Basmalah” dalam permulaan surat Alfatihah tidak ada perbedaan dalam tubuh “QIRO’AH SAB’AH”. Dan juga didalam permulaan setiap surat, sehingga seorang qori’ mengawali nya dengan “Basmalah”, kecuali dalam surat Attaubah (tidak perlu membaca basmalah-pent).
Adapun dalam permulaan semua surat suratan itu “basmalah” menyambung dengan “basmalah” surat sebelumnya. Ini telah ditetapkan oleh:
Ibnu Katsir.
Qoluun.
‘Ashim.
Kasa’i.
Dari para ahli quraa’ yang menetapkan “Basmalah” berada dalam permulaan disetiap surat, kecuali permulaannya surat Attaubah, basmalah nya dibuang, ialah:
Abu Amr.
Hamzah.
Warasy.
Ibnu ‘Amir.
Lihat lebih lengkapnya dalam kitab Nailul Author (2/198-214).

Senin, 26 September 2011

Ketika Kiai Sepuh Nyantri





Mengembara untuk mencari ilmu merupakan tradisi pesantren yang disebut dengan santri kelana, yang menyusuri dari pesantren ke pesantren untuk mendalami pengetahuan. Ternyata tradisi itu tidak hanya berlaku di lingkungan santri. Para kiai sepuh juga melakukan hal demikian, seperti Kiai Cholil Bangkalan, Kiai Dahlan Jampes, termasuk kiai Chozin dari Sidoarjo Jawa Timur.

Kiai Chozin pemimpin pesantren Siwala Panji Sidoarjo, tempat bergurunya para ulama, termasuk kaia hasyim Asy’ari pernah nyantri di sana di bawah bimbingan Kiaia Chozin. Setelah itu Kiai Hasyim belajar ke Mekah selama beberapa tahun, belajar pada ulama terkemuka di Haramain. Selama di Mekah Kiai Hasyim menjalin hubungan dengan para ulama dan santri seluruh dunia dan ulama Nusantara khususnya. Karena itu sepulang dari Mekah Kiai Hasyim tetap menjadi pimpinan dan selalu menjadi rujukan  para ulama Nusantara karena kealiman dan kharismanya.

Apalagi setelah mendirikan Jam’iyah Nahdlatul Ulama tahun 1926 popularitas Kiai ini semakin membesar, tidak hanya luasnya pengaruh, tetapi kedalaman keilmuannya. Mendengar kemasyhuran Kiai Hasyim itu tampaknya gurunya yaitu Kiai Chozin penasaran ingin memperoleh pengetahuan dari bekas santrinya itu, sehingga pada suatu bulan Romadlon tahun 1933. Kiai sepuh itu berangkat ke Pesantren Tebuireng untuk mengaji di sana.

Tentu saja kiai Hasyim Asy’ari merasa tidak enak, kiai sepuh dan guru yang sagnat dihormati itu mengikuti pengajiannya, sehingga memintanya sang kiai tidak ikut penajian karena beliau adalah gurunya yang lebih alim. Sementara pengajian hanya untuk para santri. Tetapi dengan tenang Kia Chozin menjawab, “Memang dulu saya guru sampeyan, tetapi sekarang sampeyan yang menjadi guru saya.” Mendengar jawaban itu kiai Hasyim tidak berkutik karena ini menyangkut sabda sang guru yang harus ditaati.

Kiai Chozin kemudian ditempatkan di kamar tersendiri, tidak bersama dengan santri lainnya. Tetapi hal itu menjadikan Kiai Chozin kurang senang dan minta ditempatkan dalam kamar bersama santri lainnya. Rupanaya kiai Hasyim tidak kehabisan akal untuk menghoirmati gurunya. "Begini kiai, sampeyan telah menjadi santri saya maka sampeyan harus taan pada sang guru."

Kemudian kiai Hasyim membuat beberapa peraturan khusus untuk santri sepuh ini, pertama, Kiai Chozin wajib menempati kamar yang telah disediakan, kedua, tidak diperkenankan mencuci pakain sendiri, ketiga, apabila memerlukan sesuatu harus meminta bantuan langsung kepada Kiai Hasyim, tidak perlu lewat santri. Sebagai santri dan sekaligus tamu, maka Kiai Chozin akhirnya mengikuti aturan yang dibuat oleh Kiai hasyim. Karena Kiai ini melihat ini sebagai bentuk penghormatan Kiai hasyim kepada SKiai.

Selama menjadi santri itu Kiai Chozin memperoleh bukti tentang keluasan dan kedalaman kiai bekas santrinya itu, maka ia memberikan dukungan sepenuhnya terhadap gerakan yang dilakukan, baik dalam keagamaan maupun gerakan politik melawan penjajahan. Karena itu selain para alumni Siwalan Panji diserukan masuk NU. Demikian juga ketika seruan jihad dikumandangkan pada 22 Oktober 1945, santri di sekitar Surabaya dan sidoarjo sangat aktif dalam perjuangan itu. (mdz).

Disadur dari Buku Biografi Muhammad Ilyas, 2009

Selasa, 20 September 2011

HEBATNYA ARSITEKTUR ISLAM

5 Masjid Terbesar di Indonesia

Mungkin, pembaca semua sudah sering membaca atau mendapatkan informasi mengenai masjid-masjid terbesar di Dunia, tapi terkadang kita tidak mengenal masjid-masjid terbesar yang ada di Indonesia.
Untuk itu saya akan coba memberikan informasi yang mudah-mudahan bermanfaat dan bisa menambah pengetahuan saudara semua.
Berikut ini saya informasikan 5 Masjid Terbesar di Indonesia :
1. Masjid Istiqlal Jakarta



Masjid Istiqlal Jakarta merupakan salah satu masjid terbesar yang ada di Indonesia, bahkan menurut beberapa informasi adalah salah satu Masjid Terbesar di Asia Tenggara.
Masjid Istiqlal berada di timur laut lapangan Monumen Nasional (Monas). Bangunan utama masjid ini terdiri dari lima lantai. Masjid ini mempunyai kubah yang diameternya 45 meter. Masjid ini mampu menampung orang hingga lebih dari 200.000 (dua ratus ribu) jamaah.
Luas tanah 12 ha, dan  Luas bangunan 7 ha.
2. Islamic Center Samarinda



Masjid Islamic Center Samarinda adalah masjid yang terletak di  Teluk Lerong Ulu, Kota Samarinda, Kalimantan Timur, Indonesia, yang merupakan masjid termegah dan terbesar kedua di Asia Tenggara setelah Masjid Istiqlal. Dengan latar depan berupa tepian sungai Mahakam, masjid ini memiliki menara dan kubah besar yang berdiri tegak.
Masjid ini memiliki luas bangunan utama 43.500 meter persegi. Untuk luas bangunan penunjang adalah 7.115 meter persegi dan luas lantai basement 10.235 meter persegi. Sementara lantai dasar masjid seluas 10.270 meter persegi dan lantai utama seluas 8.185 meter persegi. Sedangkan luas lantai mezanin (balkon) adalah 5.290 meter persegi.
Dan menurut beberapa sumber, masjid ini menjadi salah satu masjid termegah,dan indah yang ada di Indonesia dan Asia tenggara.
3. Masjid Raya Baiturrahman, Aceh



Masjid Raya Baiturrahman adalah sebuah masjid yang berada di pusat Kota Banda Aceh, Masjid ini cukup terkenal di Indonesia bahkan di Dunia, karena memiliki keindahan arsitektur dan nilai sejarahnya.
Nama Masjid Raya Baiturrahman ini berasal dari nama Masjid Raya yang dibangun oleh Sultan Iskandar Muda pada tahun 1022 Hijriah bersamaan dengan tahun 1612 Miladiyah. Riwayat lain menyebutkan bahwa yang mendirikan Masjid Raya Baiturrahman di Zaman kerajaan Aceh ialah Sultan Alidin Mahmudsyah pada tahun 1292 Miladiyah
luas ruangan dalam Masjid menjadi 4.760 M2 berlantai marmer buatan Italia, jenis secara dengan ukuran 60 x 120 cm dan dapat menampug 9.000 jama’ah. Dengan perluasan tersebut, Masjid RAya Baiturrahman sekarang memiliki 7 kubah, 4 menara, dan 1 menara induk. Dari masa kemasa Masjid Raya Baiturrahman telah berkembang pesat baik ditinjau dari segi arsitektur, peribadatan maupun kegiatan kemasyarakatan sesuai dengan perkembangan, luas area Masjid Raya Baiturrahman ± 4 Ha, didalamnya terdapat sebuah kolam, menara induk dan bagian halaman lainya ditumbuhi rumput yang ditata dengan rapid dan indah diselingi tanaman/pohon hias.
4. Masjid Modern Al Markaz Al Islami, Makasar



Masjid Al Markaz Al Islami Makasar adalah sebuah masjid yang berada di Jalan Mesjid Raya, kecamatan Bontala, Kota Makassar, Provinsi Sulawesi Selatan.
Masjid ini memiliki ciri khas dari bangunan nya yang megah dan berarsitektur indah. Arsitektur Al Markaz Al Islami banyak dipengaruhi oleh Masjidil Haram di Makkah dan Masjid Nabawi di Madinah Al Munawwarah.
Menempati luas areal 72.229 m2 atau 7,229 ha, didirikanlah Masjid Al-Markaz Al-Islami. Pemancangan tiang pertamanya dilakukan dalam suatu upacara khidmat pada tanggal 8 Mei 1994.
5. Masjid Dian Al-Mahri, Depok



Masjid Dian Al-Mahri Depok atau yang lebih dikenal dengan sebutan Masjid Kubah Emas adalah masjid yang berada di Kecamatan Limo, Depok
Masjid Dian Al-Mahri sendiri dibangun oleh keluarga Dian Djurian Maimum Al-Rasyid. Ia pengusaha asal Banten yang lama bermukim di Arab Saudi. Masjid ini mulai dibangun pada tahun 1999 dan dibuka untuk umum pada tahun 2006. Luasnya 50 hektar, dengan bangunan utama masjid berukuran 60×120 meter atau 8000 meter persegi.Demikian besarnya, Masjid Dian Al-Mahri sanggup menampung 20.000 orang sekaligus.
Adalah kubah masjid yang menjadikan Masjid Dian Al-Mahri magnit bagi banyak umat Muslim di Indonesia. Kubahnya terbuat dari emas murni 24 karat. Di seluruh dunia ini, tak banyak masjid yang seperti ini. Hanya ada 8 buah, dan Masjid Dian Al-Mahri terbilang yang paling baru di antara 8 Masjid Kubah Emas.
Totalnya, Masjid Dian Al Mahri memiliki 5 kubah yang melambangkan jumlah rukun Islam. Satu kubah utama dan 4 kubah kecil. Uniknya, seluruh kubah dilapisi emas setebal 2-3 mm dan mozaik kristal. Bentuk kubah utama menyerupai kubah Taj Mahal. Kubah tersebut memiliki diameter bawah 16 meter, diameter tengah 20 meter, dan tinggi 25 meter. Sementara 4 kubah kecil memiliki diameter bawah 6 meter, tengah 7 meter, dan tinggi 8 meter.
Selain itu, interior dalamnya pun ekstra mewah. Ada lampu gantung yang didatangkan langsung dari Italia seberat 8 ton. Porselen dan beberapa ornamennya khusus diimpor dari Italia. Langit-langit kubah juga dilapisi lukisan yang bisa menyesuaikan dengan kondisi fisik pada waktu sholat. Biru langit jika siang dan gelap berbintang jika malam hari.
——————————————————————————————–
Itulah beberapa masjid terbesar dan termegah yang ada di Indonesia, mudah-mudahan tidak hanya besar dan megahnya saja, masjid sebagaimana fungsinya harus menjadi bagian dari tegaknya Agama Islam di Indonesia ini, semoga masyarakat sekitar senantiasa memakmurkan masjid-masjid tersebut dengan kegiatan-kegiatan yang bermanfaat.
dan .. terakhir .. rencananya akan ada lagi masjid besar yang dibangun di Indonesia, tepatnya Masjid Raya Sriwijaya di Palembang  Sumatera Selatan.
sumber-sumber :
  • wikipedia.org
  • http://info.g-excess.com/id/info/AlmarkazaMasjidModernMakasar.info
  • http://islamiccentersamarinda.blogspot.com/
  • http://www.detiknews.com/read/2008/09/22/113024/1010165/627/kemilau-masjid-kubah-emas-depok

10 masjid termegah di Indonesia

ada 10 masjid termegah di Indonesia dan sangat indah.

Masjid Rahmatan Lil-Alamin


Maket Masjid Rahmatan Lil-Alamin (RLA)



Masjid Rahmatan lil Alamin dibangun di Kampus Al-Zaytun, Indramayu, Jawa Barat. Mesjid ini sangat megah. Masjid ini bisa disebut sebagai salah satu mesjid terbesar di dunia yang berukuran 6 hektar dan berlantai 6 dengan kapasitas mencapai 100.000 orang.

Masjid Istiqlal, Jakarta


Masjid Istiqlal merupakan masjid yang terletak di pusat ibukota negara Republik Indonesia, Jakarta. Pada tahun 1970-an, masjid ini adalah masjid terbesar di Asia Tenggara. Masjid ini diprakarsai oleh Presiden Republik Indonesia pertama, Ir. Sukarno.

Masjid Al-Akbar Surabaya


Masjid Al-Akbar dibangun di atas lahan 11,2 hektar di Surabaya, Jawa timur dengan gaya arsitektur yang unik dan modern. Mesjid ini merupakan salah satu mesjid terbesar di Indonesia. Kesan unik dari bangunan ini terletak pada desain kubah masjid yang unik seperti struktur daun dengan kombinasi warna hijau dan biru yang memberikan kesan sejuk dan segar.

Masjid kubah emas Dian Al Mahri


Masjid Dian Al Mahri lebih dikenal dengan sebutan Masjid Kubah Emas Depok. Mesjid ini merupakan salah satu mesjid di dunia yang dibangun dengan kubah yang terbuat dari emas. Masjid ini dapat membuat takjub siapapun yang pernah melihatnya karena keindahannya terutama kubahnya yang terbuat dari emas. Mesjid ini terletak di Depok, Jawa Barat.

Masjid Islamic Centre, Samarinda


Masjid Islamic Centre, Samarinda terletak di Jl Slamet Riyadi, Samarinda, Kalimantan Timur. Bangunan masjid ini memiliki kubah utama dan ornamen-ornamen keemasan yang amat cantik. Sumber inspirasi desain masjid yang amat besar ini berasal dari Masjid Nabawi yang bersuasana religius di Madinah dipadukan dengan Masjid Agung yang artistik di Turki.

Masjid Raya Makassar


Masjid Raya Makassar tampak megah dan mewah. Kubah utama yang bertengger di puncak masjid didatangkan langsung dari Australia. Mesjid ini terletak di Makassar, Sulawesi Selatan.

Masjid At-Tin


Masjid At-Tin adalah satu masjid megah di kawasan TMII, Jakarta. Masjid At-Tin mempunyai keunikan dan kekhasan tersendiri. Gaya arsitektur masjid ini berusaha menonjolkan dan mengekspos lekukan bentuk anak panah pada dinding di hampir semua sudut dan ornamen yang menghiasinya.

Masjid Baiturrahman Aceh


Masjid Raya Baiturrahman adalah sebuah masjid yang berada di pusat Kota Banda Aceh. Mesjid Raya Baiturrahman merupakan salah satu masjid berarsitektur termegah di dunia. Masjid ini dahulunya merupakan masjid Kesultanan Aceh yang dibangun pada masa Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Mesjid ini juga merupakan salah satu mesjid tertua dan terindah di Indonesia.


Masjid Agung An-Nur


Masjid Agung An-Nur adalah salah satu masjid termegah di Indonesia dan menjadi masjid kebanggaan masyarakat Riau. Pada malam hari, kawasan itu dihiasi dengan cahaya dari lampu yang berwarna-warni, sehingga pengunjung seakan-akan berada di kawasan Taj Mahal, India. Masjid Agung An-Nur terletak di Pekanbaru, Riau.


Masjid Raya Al-Mashun Medan


Masjid Raya Al- Mashun dikenal juga sebagai Masjid Raya Medan, salah satu peninggalan Sultan Deli yang dibangun tahun 1906 diatas lahan seluas 18.000 meter persegi. Arsitekturnya yang khas dan nilai sejarahnya membuat masjid ini kerap dikunjungi wisatawan mancanegara. Mesjid ini terletak di Medan, Sumatera Utara.

Ini hanya sebagian dari sekian banyak masjid yang telah dan akan dibangun di indonnsia ini. Dan semoga tidak hanya bangunan masjidnya saja yang megah, tetapi hati juga jadi harus semakin megah dan kuat keimanannya. Amin..

Senin, 19 September 2011

KEMUNDURAN DAN KEHANCURAN DAULAH BANI UMAYYAH

KEMUNDURAN DAN KEHANCURAN DAULAH BANI UMAYYAH
Oleh : Syekhuddin
BAB I
PENDAHULUAN
  1. A. Latar Belakang
Daulah Bani Umayyah mempunyai peranan penting dalam perkembangan masyarakat di bidang politik, ekonomi dan sosial. hal ini didukung oleh pengalaman politik Mu`awiyah sebagai Bapak pendiri daulah tersebut yang telah mampu mengendalikan situasi dan menepis berbagai anggapan miring tentang pemerintahannya.[1]
Kekuasaan Daulah Umayyah dapat bertahan karena ditopang oleh paham kesukuan yang muncul sejak terjadinya tragedy terbunuhnya Utsman. Kekuasaaan Daulah Umayyah ini selalu membawa bendera suku Quraisy yang tidak dapat dilepaskan. Dan didukung pula adanya pribadi yang tangguh dalam menghadapi berbagai kekacauan yang terjadi dan dapat mengontorol wilayah yang jauh dari pusat kekuasaan. Pemerintahan ini juga mampu memposisikan paham kekuasaan absolute dalam batas yang masih terkontrol. Hal ini didukung oleh makin koopratifnya kelompok Islam yang lain terhadap pemerintah. Sedangkan dalam kehidupan sosial, kekuatan yang berpaham keislaman yang pada masa Ali berlawanan dengan paham kesukuan, pada masa Daulah Umayyah justru berpaling mendukung Mu`awiyah. Hal ini disebabkan karena Daulah Umayyah tidak menampakkan permusuhan dengan paham-paham keislaman, yang sesungguhnya merupakan strategi penguasa untuk menghindari terjadinya kekacauan akibat berkembangnya paham kesukuan.[2]
Namun berdirinya Daulah Umayyah (661-750) tidak semata-mata peralihan kekuasaan, namun mengandung banyak implikasi, di antaranya adalah perubahan beberapa prinsip dan berkembangnya corak baru yang sangat mempengaruhi imperium dan perkembangan umat Islam.[3]
Walau pada awalnya Daulah Umayyah tidak mempunyai arah politik khilafah yang jelas, namun kelompok ini memiliki elatisitas dalam menghadapi perkembangan sosial. Hal ini dibuktikan dengan kemampuan mereka bekoalisi dengan 3 kelompok lain, yaitu kekuatan kesukuan, gerakan oposan dan paham keislaman secara umum, yang tercermin dalam segala aspek, meliputi aspek pemerintahan, aspek ekonomi dan sosial kemasyarakatan.[4]
Dari berbagai kemajuan yang dicapai Daulah Bani Umayyah yang dimulai oleh pendiri daulah tersebut yakni Mu`awiyah Bin Abi Sufyan, ternyata tidak mampu membuat Daulah tersebut langgeng, bahkan ia akhirnya jatuh menyisakan puing-puing kehancuran setelah munculnya kekuatan baru dari Bani Abbasiyah
  1. B. Rumusan masalah
Adapun rumusan masalah yang penulis akan bahas dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
  1. Apa faktor-faktor kemunduran Daulah Bani Umayyah?
  2. Apa Sebab-sebab kehancuran Daulah Bani Umayyah?
BAB II
PEMBAHASAN
  1. A. Kemunduran
Mu`awiyah mendirikan Daulah Umayyah pada tahun 41 H di Damaskus, dengan berdirinya pusat pemerintahan Islam yang baru tersebut berarti bergeserlah pusat pemerintahan Islam dari Madinah ke Damascus. Perpindahan ibu kota tersebut terjadi melalui proses yang panjang didukung oleh strategi politik yang dibangun oleh Mu`awiyah. Dan Mu`awiyah memperoleh pengalaman politik dalam masa yang cukup lama, yakni mulai masa Rasulullah SAW sampai masa khalifah yang terakhir.[5]
Dengan berdirinya Daulah Umayyah, maka sistem politik dan pemerintahan berubah. Pemerintahan khalifah tidak lagi dilakukan secara musyawarah sebagaimana proses pergantian khalifah-khalifah sebelumnya. Suksesi pemerintahan dilakukan secara turun-temurun melalui pemilihan, seorang khalifah tidak lagi harus sekaligus pemimipin agama sebagimana khalifah-khalifah sebelumnya. Urusan agama diserahkan kepada para ulama, dan ulama hanya dilibatkan dalam pemerintahan jika dipandang perlu oleh khalifah.[6]
Selama masa pemerintahan dan kekuasaan khalifah pertama (Mu`awiyah), Daulah Umayyah banyak mencapai keberhasilan, terutama penaklukan sejumlah kota penting di kawasan Asia Tengah, seperti Kabul, Heart dan Gazna. Dalam pemerintahan, ia mendirikan beberapa departemen yang mengurus masalah-masalah kepentingan umat, seperti playanan pos, pembagian tugas pemerintahan pusat dan daerah, pemungutan pajak dan pengangkatan gubernur-gubernur di daerah.
Kalau ditelusuri lebih jauh daulah tersebut berkuasa hampir satu abad, tepatnya selama 90 tahun, dengan 14 orang khalifah. Yang dimulai oleh Mu`awiyah Ibn Abi Sufyan dan ditutup oleh Marwan Ibn Muhammad. Diantara mereka ada pemimpin-pemimpin besar yang berjasa di dalam berbagai bidang sesuai dengan kehendak zamannya, sebaliknya ada pula khalifah yang tidak patut dan lemah. Adapun urutan khalifah Daulah Umayyah adalah sebagai berikut:[7]
  1. Mu`awiyah Bin Abu Sufyan
  2. Yazid Bin Mu`awiyah (Abu Khalid al-Umawi)
  3. Mu`awiyah Bin Yazid
  4. Abdullah Bin Zubair
  5. Abdul Malik Bin Marwan
  6. Al-Walid Bin Abdul Malik
  7. Sulaiman Bin Abdul Malik
  8. Umar Bin Abdul Malik
  9. Yazid Bin Abdul Malik Bin Marwan
  10. Hisyam Bin Abdul malik
  11. Al-Walid Bin Yazid Bin Abdul Malik
  12. Yazid An-Naqish, Abu Khalid Bin Al-Walid
  13. Ibrahim Bin Al-Walid Bin Abdul Malik
  14. Marwan Bin Muhammad, Al-Himar
Empat orang khalifah memegang kekuasaan sepanjang 70 tahun, yaitu: Mu`awiyah, Abdul Malik, Al-Walid I dan Hisyam. Sedangkan sepuluh khalifah sisanya hanya memerintah dalam jangka waktu 20 tahun saja. Dan para pencatat sejarah umumnya sependapat bahwa khalifah-khalifah terbesar mereka ialah: Mu`awiyah, Abdul Malik dan Umar Ibn Abdul Aziz.[8]
Untuk memelihara keutuhan dan mencegah perpecahan umat Islam karena suksesi kepemimpinan, sebagaimana yang pernah ia saksikan pada masa beberapa khalifah sebelumnya, Mu`awiyah mencalonkan putranya, Yazid sebagai putra mahkota yang akan menggantikan kedudukanya jika ia meninggal, pencalonan tersebut dilakukannya pada tahun 679. untuk mengamankan pencalonann itu, Mu`awiyah melakukan bebagai pendekatan kepada para pemuka masyarakat hingga seluruh lapisan masyarakat.[9]
Namun rencana tersebut mendapat tantangan dari beberapa pihak, terutama pemuka-pemuka masyarakat hijaz, sepeerti Abdullah bin Umar, Abdul Rahmn bin Abi Bakar, Husein bin Ali, Abdullah bin Zubair dan Abdullah bin Abbas. Penolakan mereka didasari atas suatu keinginan agar khalifah yang diangkat tidak melalui penunjukan, melainkan dengan musyawarah sebagaimana yang pernah diperaktekkan oleh khalifah-khalifah sebelumnya.[10]
Setelah Mu`awiyah wafat, Daulah ini harus berusaha keras mempertahankan posisinya yang goyah, kondisi politik tidak stabil, banyak kelompok masyarakat yang tidak puas dengan raja baru yang sebelumnya telah dinobatkan sebagai putera mahkota. Pengangkatan putera mahkota ini mengakibatkan munculnya gerakan-gerakan oposisi dari kalangan sipil yang menyebabkan terjadinya perang saudara beberapa kali dan berkepanjangan.
Maka setelah Yazid naik tahta, sejumlah tokoh terkemuka di Madinah tidak mau menyatakan setia terhadapnya meskipun pada akhirnya terpaksa tunduk juga, kecuali Husain Ibn Ali dan Abdullah Ibn Zubair. Bersamaan dengan itu, Syi`ah (pengikut Ali) melakukan konsilidasi (penggabungan) kekuatan kembali. Perlawanan terhadap Bani Umayyah dimulai oleh Husain Ibn Ali pada tahun 680 M. namun tentara Husain kalah dan dia sendiri terbunuh dalam pertempuran yang tidak seimbang, kepalanya dipenggal dan dikirim ke Damaskus, sedang tubuhnya di kubur di Karbala.[11]
Perlawanan kaum Syi`ah tidak padam dengan terbunuhnya Husain, bahkan mereka menjadi lebih keras, lebih gigih dan tersebar luas. Banyak pemberontakan yang dipelopori kaum Syi`ah terjadi, diantaranya terjadinya pemberontakan Mukhtar di Kufah yang mendapat dukungan dari kaum Mawali pada tahun 685-687 M.[12] selain itu Bani Umayyah juga mendapat tantangan dari kaum Khawarij, dan meskipun gerakan-gerakan anarkis yang dilancarkan baik dari pihak syi`ah maupun dari khawarij dapat dipatahakan oleh Yazid tetapi tidak berarti menghentikan gerakan oposisi dalam pemerintahan Bani Umayyah.
Dan hubungan pemerintahan dan golongan oposisi membaik pada masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz (717-720). Dia berhasil menjalin hubungan baik dengan golongan Syi`ah, dia juga memberi kebebasan kepada penganut agama lainnya untuk beribadah sesuai keyakinan dan kepercayaannya, pajak diperingan, kedudukan Mawali disejajarkan dengan muslim Arab.[13] tetapi sayang sekali angin kedamain yang berhebus dari pesona kepemimpinan Umar yang adil dan bijaksana ini tidak berlangsung lama, hanya lebih kurang dua tahun memerintah kemudian beliau meninggal dunia. Penggantinya adalah Yazid Ibn Abd. Malik (720-724) Khalifah ini jauh berbeda dengan khalifah sebelumnya, ia terlalu gandrung kepada kemewahan dan kurang memperhatikan rakyat, sehingga kerusuhan terus berlangsung hingga masa pemerintahan Hisyam Ibn Abd. Malik (724-743). Bahkan dizaman ini mucul satu kekuatan baru yang menjadi tantangan berat bagi pemerintahahn Bani Umayyah. kekuatan itu berasal dari kalangan Bani Hasyim yang didukung oleh golongan Mawali dan merupakan ancaman yang sangat serius dalam perkembangan berikutnya kekuatan baru ini mampu menggulingkan Daulah Umayyah dan mengantinya dengan Daulah baru, yakni Daulah Bani Abbasiyyah.
Sepeniggal Hisyam Ibn Abd. Malik, khalifah-khalifah Bani Umayyah yang tampil bukan hanya lemah tetapi juga bermoral buruk. Hal ini makin memperkuat golongan oposisi. Akhirnya pada tahun 750 M Daulah Umayyah digulingkan Bani Abbas yang bersekutu dengan Abu Muslim al-Khurasani.[14] Marwan Bin Muhammad khalifah terakhir bani Umayyah, melarikan diri ke Mesir, ditangkap dan dibunuh disana.[15]
Dari berbagai kesuksesan dan kebesaran yang telah diraih oleh Bani Umayyah ternyata tidak mampu menahan kehancurannya, akibat kelemahan-kelemahan internal dan semakin kuatnya tekanan dari fihak luar. Adapun hal-hal yang membawa kemunduran yang akhirnya berujung pada kejatuhan Bani Umayyah dapat diidentifikasikan antar lain sebagai berikut:
  1. Pertentangan keras antara suku-suku Arab yang sejak lama terbagi menjadi dua kelompok, yaitu Arab Utara yang disebut Mudariyah yang menempati Irak dan Arab Selatan Himyariyah yang berdiam di wilayah Suriah. Di zaman  Umayyah persaingan antar etnis itu mencapai puncaknya, karena para khalifah cederung kepada satu fihak dan menafikan yang lainnya.
  2. Ketidak puasan sejumlah pemeluk Islam non Arab. Mereka yang merupakan pendatang baru dari kalangan bangsa-bangsa yang dikalahkan mendapat sebutan “Mawali”, suatu stastus yang menggambarakan inferioritas di tengah-tengah keangkuhan orang-orang Arab yang mendapat fasilitas dari penguasa  Umayyah. Mereka bersama-sama Arab mengalami beratnya peperangan dan bahkan atas rata-rata orang Arab, tetapi harapan mereka untuk mendapatkan tunjangan dan hak-hak bernegara tidak dikabulkan. Seperti tunjangan tahunan yang diberikan kepada Mawali ini jumlahnya jauh lebih kecil dibanding tunjangan yang dibayarkan kepada orang Arab.
  3. Latar belakang terbentuknya kedaulatan Bani Umayyah tidak dapat dilepaskan dari konflik-konflik politik. Kaum syi`ah dan khawarij terus berkembang menjadi gerakan oposisi yang kuat dan sewaktu-waktu dapat mengancam keutuhan kekuasaan  Umayyah. Disamping menguatnya kaum Abbasiyah pada masa akhir-akhir kekuasaan Bani Umayyah yang semula tidak berambisi untuk merebut kekuasaan, bahkan dapat menggeser kedudukan Bani  Umayyah dalam memimpin umat.[16]
  1. B. Kehancuran
Secara Revolusioner, Daulah Abbasiyyah (750-1258) menggulingkan kekuasaan Daulah Umayyah, kejatuhan Daulah Umayyah disebabkan oleh beberapa factor, diantaranya meningkatnya kekecewaan kelompok Mawali terhadap Daulah Umayyah, pecahnya persatuan antarasuku bangsa Arab dan timbulnya kekecewaan masyarakat agamis dan keinginana mereka untuk memilki pemimpin karismatik. Sebagai kelompok penganut islam baru, mawali diperlakukan sebagai masyarakat kelas dua, sementara bangsa Arab menduduki kelas bangsawan. Golongan agamis merasa kecewa terhadap pemerintahan bani Umayyah karena corak pemerintahannya yang sekuler. Menurut mereka, Negara seharusnya dipimpin oleh penguasa yang memiliki integritas keagamaan dan politik. Adapun perpecahan antara suku bangsa Arab, setidak-tidaknya ditandai dengan timbulnya fanatisme kesukuan Arab utara, yakni kelompok Mudariyah dengan kesukuan Arab Selatan, yakni kelompok Himyariyah. Disamping itu, perlawanan dari kelompok syi`ah merupakan faktor yang sangat berperan dalam menjatuhkan Daulah Umayyah dan munculnya Daulah Abbasiyyah.[17]
Namun secara garis besar menurut Badri Yatim faktor yang menyebabkan Daulah Bani Umayyah lemah dan membawanya kepada kehancuran antara lain adalah :
  1. Sistim pergantian khalifah melalui garis keturunan adalah merupakan sesuatu yang baru bagi tradisi Arab yang lebih menekankan aspek senioritas. Pengaturannya tidak jelas. Ketidakjelasan sistem pergantian khalifah ini menyebabkan terjadinya persaingan yang tidak sehat dikalangan anggota keluarga istana
  2. Latar belakang terbentuknya Daulah Bani Umayyah tidak bisa dipisahkan dari konflik-konflik politik yang terjadi di masa Ali. Sisa-sisa kaum Syi`ah (pengikut Ali) dan Khawarij terus menjadi gerakan oposisi, baik secara terbuka seperti dimasa awal dan akhir maupun secara tersembunyi seperti dimasa pertengahan kekuasaan Bani Umayyah. Penumpasan terhadap gerakan-gerakan ini banyak menyedot kekuatan pemerintah.
  3. Pada masa kekuasaan bani Umayyah, pertentangan etnis antara suku Arabia Utara (Bani Qays) dan Arabia Selatan (Bani Kalb) yang sudah ada sejak zaman sebelum Islam, makin meruncing. Perselisihan ini mengakibatkan para penguasa Bani Umayyah mendapat kesulitan untuk menggalang persatuan dan kesatuan. Disamping itu, sebagian besar golongan Mawali (non Arab), terutama di Irak dan wilayah bagian timur lainnya, merasa tidak puasa karena status Mawali itu menggambarkan suatu inferioritas, ditambah dengan keangkuhan bangsa Arab yang diperlihatkan pada masa Bani Umayyah
  4. Lemahnya pemerintahan Daulat Bani Umayyah juga disebabkan oleh sikap hidup mewah dilingkungan istana sehingga anak-anak khalifah tidak sanggup memikul beban berat kenegaraan tatkala mereka mewarisi kekuasaan, disamping itu, golongan agama yang kecewa karena perhatian penguasa terhadap perkembangan agama sangat kurang
  5. Penyebab langsung tergulingnya kekuasaan Daulah Bani Umayyah adalah munculnya kekuatan baru yang dipelopori  oleh keturunan al-Abbas Ibn Abd. Al-Muthalib. Gerakan ini mendapat dukungan penuh dari Bani Hasyim dan golongan Syi`ah dan kaum Mawali yang merasa dikelas duakan oleh pemerintahan Bani Umayyah.[18]
Dari uraian kemunduran dan kehancuran Daulah Bani Umayyah diatas, penulis melihat hal ini merupakan sunnatullah bahwa setiap kekuasaan dan peradaban akan mencapai puncak kemajuannya, dan akan menelusuri jurang kehancurannya dikemudian hari. وَتِلْكَ الأَيَّامُ نُدَاوِلهْاَ بَيْنَ النَّاسِ…[19]
BAB III
KESIMPULAN
Dari pemaparan makalah tersebut, penulis mengambil kesimpulan sebagai berikut:
  1. Diantara faktor-faktor yang membawa Daulah Bani Umayyah mengalami kemunduran adalah sebagai berikut:
-   Munculnya fanatisme kesukuan dalam suku-suku bangsa Arab
-   Kuatnya pengaruh fanatisme golongan (Arabisme) yang memicu munculnya kecemburuan sosial dikalangan non Arab (Mawali)
-   Adanya perebutan kekuasaan di dalam keluarga besar Bani Umayyah
-   Larutnya beberapa penguasa (khalifah) dalam limpahan harta dan kekuasaan
  1. Adapun faktor-faktor yang membawa Daulah Bani Umayyah ke gerbang kehancuran adalah sebagai berikut:
-   Tidak adanya sistem pergantian pemerintah (khalifah) yang baku yang bisa dijadikan patokan dalam pergantian khalifah
-   Kuatnya gerakan oposisi dari kaum Syi`ah dan Khawarij
-   Perselisihan dan pertentangan etnis antara suku Arab yang mengakibatkan para penguasa mendapat kesulitan untuk menggalang persatuan dan kesatuan
-   Sikap hidup yang mewah dilingkungan keluarga Bani Umayyah
-   Perhatian penguasa Bani Umayyah terhadap perkembangan agama sangat kurang
-   Munculnya kekuatan baru yang dipelopori  oleh keturunan al-Abbas Ibn Abd. Al-Muthalib dan didukung oleh Bani Hasyim, kaum Syi`ah dan kaum Mawali.
  1. Hikmah atau pelajaran yang dapat penulis petik bahwa, setiap Daulah/kekuasaan akan mengalami masa kejayaan dan kehancuran, dan alangkah jayanya suatu kekuasaan/peradaban kalau ia dapat mengambil pelajaran untuk menggapai kejayaan berikutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur`an Al-Karim dan Terjemahannya
As-Suyuthi, Imam, Tarikh Khulafa`; Sejarah Penguasa Islam: Khulafa`urrasyidin, Bani Umayyah, Bani Abbasiyyah, Cet. I, Pustaka Al-Kautsar; Jakarta: 2001),h. 229 – 304
Ensiklopedi Islam Vol. 3 (Cet. XIII, PT. Ichtiar Van Hove; Kakarta: 2003), h. 248
Muchtar Ghazali, Adeng, Drs. M.Ag, Perjalanan Politik Umat Islam dalam Lintasan Sejarah (Cet.I, CV.Pustaka setia; Bandung: 2004), h. 52
Mufrodi, Ali, Dr., Islam di Kawasan Kebudayaanb Arab (Cet. II, Logos Wacana Ilmu; Jakarta: 1999 M) h. 72
Yatim, Badri , M.A, Dr.,  Sejarah Peradaban Islam, Dirasah Islamiyah II, (Cet. XII, PT. Raja Grafindo Persada; Jakarta: 2001), h. 45
Yujah Sawiy, Khairudin, Perebutan Kekuasaan Khalifah, Minyingkap dinamika dan sejarah politik kaum sunni, (Cet.II, Safria Insani Press: Yogyakarta: 2005), h. 11
______________________
[1] Prof.Dr. Azhar Arsyad, M.A, Retorika Kaum Bijak, Media pembangkit motivasi dan daya hidup serta penannaman nilai-nilai dan budi luhur, (Cet.II, Yayasan Fatiya; Makassar: 2005), h. 142
Dan mungkin tidak ada salahnya kalau kita mengambil hikmah dari ungkapan penglima perang Bani Abbasiyyah yang menaklukkan Daulah Bani Umayyah dengan ungkapannya:
أَدْرَكْتُ بِالحَزْمِ وَالكِتْمَانِ مَا عَجَزَتْ # عَنْهُ مُلُوْكُ بَنِى مَرْوَانَ إِذْ حَشَدُوْا
مَازِلْتُ أَسْعَ فِى دِمَارِهِمْ # وَالقَوْمُ فِى غَفْلَةٍ بِالشَّامِ قَدْ رَقَدُوْا
حَتىَّ ضَرَبْتُهُمْ بِالسَّيْفِ فَانْتَبَهُوْا # مِنْ نَوْمَةٍ لَمْ يَنَمْ قَبْلَهُمْ أَحَدٌ
وَمَنْ رَعَيْ غَنَمًا فِى أَرْضٍ مَسْبَعَةٍ # وَنَامَ عَنْهَا تَوَلَّى رَعْيَهَا الأَسَدُ
Abu Muslim Al-Khurrasani (Wafat: 755 H) berkata:[20]
Saya ketahui dengan cermat dan tersembunyi apa yang membuata lemah # Raja-raja Bani Marwan kala mereka berkumpul
Saya senantiasa berusaha sekuat tenaga untuk menghancurkan mereka # kaum itu dalam kelengahan tertidur lelap di Syam
Ketika saya tebas mereka dengan pedang, baru mereka terbangun dari tidur yang tidak seorang pun sebelumnya tidur seperti itu
Barangsiapa mengembala kambing di padang binatang buas dan tertidur nyenyak (lengah dengan gembalaannya) maka singa-singa (binatang buas) akan mencabik-cabiknya
Cara yang digunakan untuk mencapai kekuasaabn bervariasi dan berbeda-beda, cara-cara tersebut dpaat disuimpulkan sebagai berikut:
  1. Dilakukan denga cara musyawarh tentang calon tertentu seperti terjadi pada masa Mu`awiyah mengankat Yazid
  2. Kesepakatan kepal asuku atas dua calon yang sudah ditentukan seperti terpilihnya Marwan bin hakam
  3. Penyerahan kekuasaan berdasar keturunana secara langsung seprti terjadi pada masa kepemimipinan Abdul malik bin Marwan dan Walid bin Abdul malik
  4. Pewarisan keturunana tidak langsung atau secara kekeluargaaan seperti terpilihnya Sulaiman bin Abdul malik dan Hisyam bin Abdul malik
  5. Serangan dengan menggunakan modal kesukuan secara langsung seperti serangan Yazid bin Walid
  6. Serangan kekuatan kesukuan langsung seperti serangan Marwan bin Muhammad yang menunjukkan bahwa keluaraga Umaiyyah belum dapat menetapkan suatu model kepamimpinana yang baku dalam pemerintahan
(Khairudin Yujah Sawiy, Perebutan Kekuasaan Khalifah, Minyingkap dinamika dan sejarah politik kaum sunni, (Cet.II, Safria Insani Press: Yogyakarta: 2005), h. 19

[1] Khairudin Yujah Sawiy, Perebutan Kekuasaan Khalifah, Minyingkap dinamika dan sejarah politik kaum sunni, (Cet.II, Safria Insani Press: Yogyakarta: 2005), h. 11
[2] Ibid.,
[3] Drs. Adeng Muchtar Ghazali, M.Ag, Perjalanan Politik Umat Islam dalam Lintasan Sejarah (Cet.I, CV.Pustaka setia; Bandung: 2004), h. 52
[4] Khairudin Yujah Sawiy,… Op. Cit., h. 12
[5] Ensiklopedi Islam Vol. 3 (Cet. XIII, PT. Ichtiar Van Hove; Kakarta: 2003), h. 248
[6] Ibid., h. 247
[7] Imam As-Suyuthi, Tarikh Khulafa`; Sejarah Penguasa Islam: Khulafa`urrasyidin, Bani Umayyah, Bani Abbasiyyah, Cet. I, Pustaka Al-Kautsar; Jakarta: 2001),h. 229 – 304
[8] Dr. Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaanb Arab (Cet. II, Logos Wacana Ilmu; Jakarta: 1999 M) h. 72
[9] Ensiklopedi Islam… Op. Cit., h. 248
[10] Ibid.,
[11] Dr. Badri Yatim, M.A, Sejarah Peradaban Islam, Dirasah Islamiyah II, (Cet. XII, PT. Raja Grafindo Persada; Jakarta: 2001), h. 45
[12] Ibid., h. 46
[13] Ibid., h. 47
[14] Ibid., h. 48
[15] Ibid., h. 47
[16] Dr. Ali Mufrodi,… Op. Cit., h. 83-84
[17] Drs. Adeng Muchtar Ghazali,… Op. Cit., h. 56
[18] Dr. Badri Yatim, M.A,…Op. Cit., h. 49

ABU YAZID AL-BUSTAMI DENGAN KONSEP TASAWUFNYA

BAB I
PENDAHULUAN
  1. A. Latar Belakang
Sejarah tentang perkembangan pemikiran keislaman memiliki mata rantai yang cukup panjang dan kajian atas persoalan ini pasti akan melibatkan kompleksitas, namun sejalan dengan itu upaya penggalian informasi mengenai perkembangan pemikiran keislaman melalui data-data (naskah-naskah) yang dihasilkan oleh para pemikir terdahulu (ulama terdahulu) menjadi sesuatu yang mutlak harus terus dilakukan, mengingat tema yang terkandung dalam naskah-naskah tesebut pun sangat beragam dan di antara tema yang cukup dominan serta telah banyak menarik perhatian para peneliti naskah adalah tentang tasawuf.
Secara sederhana dapat dikemukakan, bahwa tasawuf merupkan aspek esoteric atau aspek batin yang harus dibedakan dari aspek eksoterik atau aspek lahir dalam islam.[1] Tasawuf atau sufisme adalah istilah yang khusus dipakai untuk menggambarkan mistisesme dalam islam, adapun tujuan tasawuf ialah memperoleh hubungan langsung dan dekat dengan tuhan, sehingga dirasakan benar bahwa seseorang sedang berada di hadiratnya, yang intisarinya adalah kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog antara ruh manusia dengan tuhan dengan mangasingkan diri dan berkontemplasi[2].
Dalam islam kita mengenal dua aliran tasawuf, Pertama, aliran tasawuf falsafi, dimana para pengikutnya cederung pada ungkapan-ungkapan ganjil (syatahiyyat), serta mertolak dari keadaan fana menuju pernyataan tentang terjadinya penyatuan antara hamba dengan tuhan. Kedua, aliran tasawuf amali, dimana para penganutnya selalu memagari tasawuf dengan timbangan sayriat yang berlandaskan al-Quran dan as-Sunnah, serta mengaitkan keadaan dan tingkatan rohaniah mereka dengan keduanya.[3] Dan ada juga yang membaginya menjadi tiga yaitu: tasawuf Akhlaqi, Tasawuf Irfani dan Tasawuf Falsafi.[4]
Diantara para sufi yang menganut aliran tasawuf Irfani adalah sufi yang terkenal dengan konsep fana`, baqa` dan al-Ittihad yang kita kenal dengan nama Abu Yazid al-Bustami.
  1. B. Rumusan Masalah
Pada makalah ini penulis dalam rumusan makalahnya mencoba untuk memaparkan Riwayat hidup Abu Yazid Al-Bustami dan konsep ajaran tasawuf-Nya yang kita kenal dengan istilah “Fana`, Baqa` dan Ittihad”.
BAB II
PEMBAHASAN
  1. I. Riwayat Hidup Abu Yazid al-Bustami
Abu Yazid al-Bustami lahir di Bustam, bagian timur laut Persia tahun: 188 H – 261 H/874 – 947 M. Nama lengkapnya adalah Abu Yazid Thaifur bin Isa bin Adam bin Surusyan. Semasa kecilnya ia dipanggil Thaifur, kakeknya bernama Surusyan yang menganut ajaran Zoroaster yang telah memeluk Islam dan ayahnya salah seorang tokoh masyarakat di Bustam.[5]
Keluarga Abu Yazid termasuk keluarga yang berada di daerahnya tetapi ia lebih memilih hidup sederhana. Sejak dalam kandungan Ibunya, konon kabarnya Abu Yazid telah mempunyai kelainan. Ibunya berkata bahwa ketika dalam perutnya, Abu Yazid akan memberontak sehingga Ibunya muntah kalau menyantap makanan yang diragukan kehalalannya.
Sewaktu menginjak usia remaja, Abu Yazid terkenal sebagai murid yang pandai dan seorang anak yang patuh mengikuti perintah agama dan berbakti kepada orang tuanya, suatu kali gurunya menerangkan suatu ayat dari surat Luqman yang berbunyi : “berterima kasihlah kepada Aku dan kepada kedua orang tuamu” ayat ini sanagat menggetarkan hati Abu Yazid. Ia kemudian berhenti belajar dan pulang untuk menemuia Ibynya, sikapnya ini menggambarkan bahwa ia selalu berusaha memenuhi setiapo panggilan Allah.
Perjalanan Abu Yazid untuk menjadi seorang sufi memeakan waktu puluhan tahun, sebelum membuktikan dirinya sebagai seorang sufi, ia terlebih dahulu telah menjadi seorang fakih dari madzhab Hanafi. Salah seorang gurunya yang terkenal adalah Abu Ali As-Sindi, ia mengajarkan ilmu tauhid, ilmu hakikat dan ilmu lainnya kepada Abu Yazid. Hanya saja ajaran sufi Abu Yazid tidak ditemukan dalam bentuk buku
Dalam perjalanan kehidupan Zuhud, selama 13 tahun, Abu Yazid mengembara di gurun-gurun pasir di syam, hanya dengan tidur, makan, dan minum yang sedikit sekali.
Abu Yazid hidup dalam keluarga yang taat beragama, Ibunya seorang yang taat dan zahidah, dua saudaranya Ali dan Adam termasuk sufi meskipun tidak terkenal sebagaimana Abu Yazid.
Abu Yazid dibesarkan dalam keluarga yang taat beragama, sejak kecil kehidupannya sudah dikenal saleh. Ibunya secara teratur mengirimnya ke masjid untuk belajar ilmu-ilmu agama. Setelah besar ia melanjutkan pendidikannya ke berbagai daerah. Ia belajar agama menurut mazhab hanafi.
Setelah itu, ia memperoleh pelajaran ilmu tauhid. Namun pada akhirnya kehidupannya berubah dan memasuki dunia tasawuf.
Abu Yazid adalah orang yang pertama yang mempopulerkan sebutan al-Fana dan al-Baqa` dalam tasawuf. Ia adalah syaikh yang paling tinggi maqam dan kemuliannya, ia sangat istimewa di kalangan kaum sufi. Ia diakui salah satu sufi terbesar. Karena ia menggabungkan penolakan kesenangan dunia yang ketat dan kepatuhan pada iter agama dengan gaya intelektual yang luar biasa.
Abu Yazid pernah berkata: “Kalau kamu lihat seseorang sanggup melakukan pekerjaan keramat yang besar-besar, walaupun ia sanggup terbang ke udara, maka janganlah kamu tertipu sebelum kamu lihat bagaimana ia mengikuti suruhan dan menghentikan dan menjaga batas-batas syari`at.[6]
Dalam perkataan ini jelaslah bahwa tasawuf beliau tidak keluar dari pada garis-garis syara` tetapi selain dari perkataan yang jelas dan terang itu, terdapat pul akata-kata beliau yang ganjil-ganjil dan mempunyai pengertian yang dalam. Dari mulut beliau seringkali memberikan ucapan-ucapan yang berisikan kepercayaan bahwa hamba dan tuhan sewaktu-waktu dapat berpadu dan bersatu. Inilah yang dinamakan Mazhab Hulul atau Perpaduan.[7]
Abu Yazid meninggal dunia pada tahun 261 H/947 M, jadi beliau meninggal dunia di usia 73 tahun dan dimakamkan di Bustam, dan makamnya masih ada sampai sekarang.
  1. II. Konsep Thasawuf Abu Yazid al-Bustami
    1. 1. al-Fana dan al-Baqa`
Ajaran tasawuf terpenting Abu Yazid adalah Fana` dan Baqa`. Secara harfiah fana` berarti meninggal dan musnah, dalam kaitan dengan sufi, maka sebutan tersebut biasanya digunakan dengan proposisi: fana`an yang artinya kosong dari segala sesuatu, melupakan atau tidak menyadari sesuatu.[8]
Sedangkan Dari segi bahasa kata fana` berasal dari kata bahasa Arab yakni faniya-yafna yang berarti musnah, lenyap, hilang atau hancur[9]. Dalam istilah tasawuf, Fana adakalanya diartikan sebagai keadaaan moral yang luhur. Dalam hal ini, Abu Bakar al-Kalabadzi (W.378 H/988 M) mendefinisikannya “hilangnya semua keinginan hawa nafsu seseorang, tikdak ada pamrih dari segala perbuatan manusia, sehingga ia kehilangan segala perasaaannya dan dapat memebedakan sesuatu secara sadar, dan ia telah menghilangkan semua kepantingan ketika berbuat sesuatu”.[10]
Sedangkan dalam Sufism and syari`ah kata fana` berarti to die and disappear. (mati dan menghilang). Al-Fana` juga berarti memutuskan hubungan selain Allah, dan mengkhususkan untuk Allah dan bersatu dengannya.
Adapun arti fana` menurut kalangan sufi adalah hilangnya kesadaran pribadi dengan dirinya sendiri atau dengan sesuatu yang lazim digunakan pada diri. Pendapat lain, fana` berarti bergantinya sifat-sifat kemanusiaan dengan sifat-sifat ketuhanan, dapat pula berarti hilangnnya sifat-sifat yang tercela. Selain itu Mustafa Zuhri mengatakan bahwa yang dimaksud dengan fana` adalah lenyapnya indrawi atau ke-basyariahan, yakni sifat manusia yang suka pada syahwat dan hawa nafsu. Orang yang telah diliputi hakikat ketuhanan, sehingga tiada lagi melihat dari pada alam wujud ini, maka dikatakan ia telah fana` dari alam cipta atau dari alam makhluk.
Sedangkan Abdurrauf Singkel mengungkapkan tentang fana` dan ini menurut istilah para sufi adalah berarti hilang dan lenyap, sedangkan lawan katanya adalah baqa`, dan lebih jelasnya sebagaimana disebutkan dalam kitab al-Jawahir, fana` adalah kemampuan seorang hamba memandang bahwa Allah ta`ala berada pada segala sesuatu.[11]
Dalam  menjelaskan  pengertian  fana’,  al-Qusyairi menulis, “Fananya  seseorang  dari  dirinya  dan  dari  makhluk  lain terjadi  dengan  hilangnya  kesadaran  tentang  dirinya  dan makhluk lain. Sebenarnya dirinya tetap  ada,  demikian  pula makhluk  lain, tetapi ia tak sadar lagi pada diri mereka dan pada dirinya. Kesadaran sufi  tentang  dirinya  dan  makhluk lain  lenyap  dan  pergi  ke dalam diri Tuhan dan terjadilah ittihad.”[12]
Dengan demikian fana` bagi seorang sufi adalah mengharapkan kematian itera, maksudnya adalah mematikan diri dari pengaruh dunia. Sehingga yang tersisa hidup didalam dirinya hanyalah Tuhan semesta.
Jadi seorang sufi dapat bersatu dengan tuhan, bila terlebih dahulu ia harus menghancurkan dirinya, selama ia masih sadar akan dirinya, ia tidak akan bersatu dengan tuhan.
Penghancuran diri tersebut senantiasa diiringi dengan baqa`, yang berarti to live and survive (hidup dan terus hidup),
Adapun baqa`, berasal dari kata baqiya. Artinya dari segi bahasa adalah tetap, sedangkan berdasarkan istilah tasawuf berarti mendirikan sifat-sifat terpuji kepada Allah. Dalam kaitan dengan Sufi, maka sebutan Baq` biasanya digunakan dengan proposisi: baqa` bi, yang berarti diisi dengan sesuatu, hidup atau bersama sesuatu.[13]
Dalam kamus al-Kautsar, baqa` berarti tetap, tinggal, kekal.[14] Bisa juga berarti memaafkan segala kesalahan, sehingga yang tersisa adalah kecintaan kepadanya.
Dalam tasawuf, fana` dan Baqa` itera beriringan, sebagaiamana dinyatakan oleh para ahli tasawuf: “Apabila nampaklah nur kebaqaan, maka fanalah yang tiada, dan baqalah yang kekal. Tasawuf itu ialah fana` dari dirinya dan baqa` dengan tuhannya, karena hati mereka bersama Allah”.
Sebagai akibat dari fana` adalah baqa`. Baqa` adalah kekalnya sifat-sifat terpuji, dan sifat-sifat tuhan dalam diri manusia. Karena lenyapnya (fana`) sifat-sifat basyariah, maka yang kekal adalah sifat-sifat ilahiah.
Pencapaian Abu Yazid ke tahap fana` dicapai setelah meniggalkan segala keinginan selain keinginan kepada Allah, seperti tampak dalam ceritanya.
“Setelah Allah menyaksikan kesucian hatiku yang terdalam, aku mendengar puas dari-Nya. Maka, diriku dicap dengan keridaan-Nya. “Engkaulah yang aku inginkan,” jawabku, “karena Engkau lebih utama daripada anugrah lebih besar daripada kemurahan, dan melalui engkau aku mendapat kepuasan dalam diri-Mu…”
Jalan menuju fana` menurut Abu Yazid dikisahkan dalam mimpinya menatap tuhan, ia bertanya, “Bagaimana caranya agar aku sampai pada-Mu?” Tuhan menjawab, “Tinggalkan diri (Nafsu)mud an kemarilah.”
Abu Yazid sendiri pernah melontarkan kata fana` pada salah satu ucapannya:
أَعْرِفُهُ حَتىَّ فَنَيْتُ ثُمَّ عَرَفْتُهُ بِهِ فَحَيَيْتُ
Artinya:
“Aku tahu pada tuhan melalui diriku hingga aku fana`, kemudian aku tahu pada-nya melalui dirinya maka aku pun hidup.” (B 132)
Paham baqa` tidak dapat dipisahkan dengan paham fana` karena keduanya merupakan paham yang berpasangan. Jika seorang sufi sedang mengalami fana`, ketika itu juga ia sedang menjalani baqa`.
Dalam menerangkan kaitan antara fana` dan baqa` al-Qusyairi menyatakan, “Barangsiapa meninggalkan perbuatan-perbuatan tercela, maka ia sedang fana` dari syahwatnya. Tatkala fana` dari syahwatnya, ia baqa` dalam niat dan keikhlasan ibadah;… Barangsiapa yang hatinya zuhud dari khidupan maka ia sedang fana` dari keinginannya, berarti pula sedang baqa` dalam ketulusan inabahnya…”
Tetapi fana` dan baqa` yang sangat esensial dan penting bagi sufisme sebenarnya bukan yang satu atau yan lain, tetapi ia adalah; pengalaman afektif. Dalam rangka memahami pengalaman ini, maka para Sufi harus mengikuti prosedur. Dalam qaul al-Jamil, seorang Sufi India terkemuka, Syah Wali Allah (wafat  1176/1762) merinci prosedur dari tiga organisasi Sufi Utama, yaitu Qadariyyah, Chistiyyah dan Naqsyabandiyyah. Mereka tegak dalam prinsip yang sama, walau berbeda dalam rinci. Berikut akan diringkaskan prosedur yang diikuti oleh thariqat Qadariyyah.[15]
Seorang calon Sufi pertama kali harus mengikuti tahap persiapan. Ia harus mempunyai iman yang bear, menjauhi perbuatan munkar, menjauhi dosa-dosa besar (kaba-ir) dan menjauhi dosa-dosa kecil (shagha-ir) sebanyak mungkin. Ia harus shalat wajib dan berbagai kewajiban (fara-id) yang diwajibkan syariah atasmya dan menjalankan sunnah Rasul yang terpuji.[16]
Dengan demikian, Sesuatu didalam diri sufi akan fana atau  hancur  dan  sesuatu  yang lain   akan  baqa  atau  tinggal.  Dalam  iterature  tasawuf disebutkan,  orang  yang  fana  dari  kejahatan  akan   baqa(tinggal)  ilmu  dalam dirinya; orang yang fana dari maksiat akan baqa (tinggal) takwa dalam  dirinya.  Dengan  demikian, yang  tinggal  dalam  dirinya sifat-sifat yang baik. Sesuatu hilang dari diri sufi dan  sesuatu  yang  lain  akan  timbul sebagai  gantinya. Hilang kejahilan akan timbul ilmu. Hilang sifat buruk akan timbul  sifat  baik.  Hilang  maksiat  akan timbul takwa.[17]
  1. 2. al-Ittihad
Ittihad secara secara bahasa berasal dari kata ittahada-yattahidu yang artinya (dua benda) menjadi satu[18], yang dalam istilah Para Sufi adalah satu tigkatan dalam tasawuf, yaitu bila seorang sufi merasa dirinya bersatu dengan tuhan.[19] Yang mana tahapan ini adalah tahapan selanjutnya yang dialami seorang sufi setelah ia melalui tahapan fana` dan baqa`. Dalam tahapan ittihad, seorang sufi bersatu dengan tuhan. Antara yang mencintai dan yang dicintai menyatu, baik subtansi maupaun perbuatannya[20].
Harun Nasution memaparkan bahwa ittihad adalah satu tingkatan ketika seorang sufi telah merasa dirinya bersatu dengan tuhan, satu tingkatan yang menunjukkkan bahwa yang mencintai dan yang dicintai telah menjadi satu, sehinggga salah satu dari mereka dapat memanggil yang satu lagi dengan kata-kata, “Hai aku…”.[21]
Dengan mengutip A.R. al-Baidawi, Harun menjelaskan bahwa dalam ittihad yang dilihat hanya satu wujud sunggguhpun sebenarnya ada dua wujud yang berpisah satu dari yang lain. Karena yang dilihat dan dirasakan hanya satu wujud, maka dalam ittihad telah hilang atau tegasnya antara sufi dan tuhan.[22]
Dalam ittihad. Identitas telah hilang, identitas telah menjadi satu. Sufi yang bersangkutan, karena fana`-nya tak mempunyai kesadaran lagi dan berbicara dengan nama tuhan.
Dalam hal ini, Dr. Muhammad Abd. Haq Ansari dalam bukunya menyatakan;
Ada dua tingkat penyatuan (ittihad) yang biasa dibedakan yaitu merasa bersatu dengan tuhan, tetapi tetap menyadari perbedaan dirinya dengan tuhan; inilah ydng disebut tingkat bersatu (maqam i-jam`). Pada tahap selanjutnya adalah kesadaran dari ketiadaan yang bersama-sama dan mistik adalah kesadaran akan adanya Maha Zat yang sangat berbeda. Kaum Sufi memandangnya sebagai tingkat kebersatuan mutlak (Jam`al al-jam`; secara harfiah adalah bersatunya kebersatuan).[23]
Al-Ghazali menjelaskan kebersatuan mutlak ini sebagai berikut;
Apabila Makrifat mencapai pengalaman yang lebih tinggi, maka mereka akan bersaksi akan tiadanya sesuatu yang terlihat kecuaki satu Zat yang maha ada (al-haqq). Bagi sebagian orang, ini adalah perwujudan intelektual. Tetapi bagi yang lain, ia merupakan pengalamn afektif (hal-an wa dzauq-an); pluralitas menghilang darinya secara bersama-sama. Mereka merasa terserap ke dalam kesatuan Murni (al-Fardaniyyat al-Mahdhah), kehilangan intelektunya secara utuh, pingsan dan bingung. Mereka tidak lebih sadar akan sesuatu kecuali selain Tuhan, bahakan terhadap dirinya sendiri sekaipun baginya, tiada sesuatu yang ada kecuali Tuhan; sebagi akibatnya mereka dalam keadaan kehinlangn fikiran sadar (sukr) yang telah meniadakan kemampunanya untuk mengendalikan nalar. Salah satu dari mereka berkata: “Aku adalah Tuhan”, sedang yang lain menyatakan: “Sucikanlah aku, (lihatlah) betapa agungnya aku”; sedang yang ketiga berkata: “ Tiada sesuatu dibalik jubah ini keculai Tuhan”. Apabila pengalaman mistik ini menera, biasnya disebut ketiadaan (fana`) atau bahkan ketiadaan dari ketiadaan (fana` al-fana`). Baginya ia menjadi tidak sadar akan dirniya dan tidak sadar akan ketidaksadarannya (fana`), karena ia tidak sadar akan dirinya dalam keadan demikian atau kelupaannya akan diri. Apabila ia sadar akan kelupaannya, berarti ia mulai menyadari diri-nya sendiri. Keadaan ini disebut sebagai penyatuan (ittihad) tetapi tentu saja dalam bahasa kiasan (majaz) dan dalam bahasa kenyataan (al-haqiqah) berarti pengakuan akan keesaan (tauhid).[24]
Ketika sampai ke  ambang  pintu  ittihad  dari  sufi  keluar ungkapan-ungkapan  ganjil  yang  dalam  istilah sufi disebut syatahat (ucapan  teopatis).[25]
Dengan fana`-Nya Abu Yazid meninggalkan dirinya dan pergi ke hadirat tuhan. Bahwa ia telah berada dekat pada tuhan dapat dilihat dari Syathahat[26] yang diucapkannya. Ucapan-ucapan yang demikian belum pernah didengar dari sufi sebelum Abu Yazid, umpamanya:[27]
لَسْتُ أَتَعَجَّبَ مِنْ حُبِّيْ لَكَ فَأَنَا عَبْدٌ فَقِيْرٌ
وَلَكِنِّيْ أَتَعَجَّبُ مِنْ حُبِّكَ لِيْ وَأَنْتَ مَلِكٌ قَدِيْرٌ
Artinya:
“Aku tidak heran terhadap cintaku pada-mu karena aku hanyalah hamba yang hina, tetapi aku heran terhadap cinta-Mu padaku. Karena engkau adalah Raja Mahakuasa”
Tatkala berada dalam tahapan ittihad, Abu Yazid berkata:
قَالَ : يَا أَبَا يَزِيْدَ إِنَّهُمْ كُلَّهُمْ خَلْقِيْ غَيْرَكَ فَقُلْتُ: فَأَنْتَ أَنَا وَأَنَا أَنْتَ
Artinya:
“Tuhan berkata, ”Semua mereka –kecuali engkau- adalah makhluk.” Aku pun berkata, “Engkau adalah aku dan aku adalah Engkau.”
Selanjutnya Abu Yazid berkata lagi:
فَانْقَطَعَ المُنَاجَةُ فَصَارَ الكَلِمَةُ وَاحِدَةً وَصَارَ الكُلُّ بِالكُلِّ وَاحِدًا. فَقَالَ لِي: يَا أَنْتَ، فَقُلْتُ بِهِ: يَا أَنَا، فَقَالَ لِي: أَنْتَ الفَرْدُ. قُلْتُ : أَنَا الفَرْدُ قَالَ لِي: أَنْتَ أَنْتَ: أَنَا أَنَا
Artinya:
“Konversasi pun terpututs, kata menjadi stu, bahkan seluruhnya menjadi satu. Ia pun berkata, “Hai engkau, “Aku pun- dengan perantaraan-Nya enjawab, “Hai Aku, “Ia berkata, “Engkaulah yang satu. “engakau adalah Engkau.” Aku balik menjawab, “Aku adalah Aku.”
إِنِّيْ أَنَا اللهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنَا فَاعْبُدْنِي
Artinya:
“Tidak ada tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku.”
Suatu ketika seseorang melewati rumah Abu Yazid dan mengetuk pintu, Abu Yazid bertanya, “Siapa yang engkau cari?” Orang itu menjawab, “Abu Yazid”, Abu Yazid berkata. ”Pergilah, di rumah ini tidak ada, kecuali Allah yang maha kuasa dan Mahatinggi.
Dialog antara Abu Yazid dengan Tuhan ini menggambarkan bahwa ia dekat sekali dengan Tuhan. Godaan Tuhan untuk mengalihkan perhatian Abu Yazid ke makhluk-Nya  ditolak  Abu  Yazid.  Ia tetap  meminta  bersatu  dengan  Tuhan.  Ini  kelihatan dari kata-katanya, “Hiasilah aku dengan  keesaan-Mu.”  Permintaan Abu   Yazid   dikabulkan  Tuhan  dan  terjadilah  persatuan, sebagaimana  terungkap  dari  kata-kata  berikut  ini,  “Abu Yazid,  semuanya  kecuali  engkau adalah makhluk-Ku.” Akupun berkata, aku adalah Engkau, Engkau adalah aku dan aku adalah Engkau.”[28]
Ucapan-ucapan Abu Yazid diatas kalau diperhatikan secara sepintas memberikan kesan bahwa ia syirik kepada Allah. Karena itu didalam sejarah ada sufi yang ditangkap dan dipenjarakan karena ucapannya membingungkan golongan awam.[29]
Sebenarnya apa yang dikatakan oleh Abu Yazid. Menurut penulis bukan berarti bahwa Abu Yazid sebagai tuhan, akan tetapi kata-kata itu adalah suara tuhan yang disalurkan melalui lidah Abu Yazid yang sedang dalam keadaan fana`an nafs.
Abu Yazid tidak mengakui dirinya sebagai tuhan seperti Fir`aun. Proses ittihad di sisis Abu yazid adalah naiknya jiwa manusia ke hadirat Allah, bukan melalui reinkarnasi, sirnanya segala sesuatu dari kesadaran dan pandangannya yang disadari dan dilihat hanya hakikat yang satu yakni Allah. Bahkan dia tidak melihat dan menyadari dirnya sendiri, karena dirinya terlebur dalam dia yang dilihat.
BAB III
KESIMPULAN
Dari pemaparan makalah tersebut diatas, penulis dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut:
  1. Abu Yazid mempunyai peluang yang besar untuk menjadi sufi karena memang ia dibesarkan dari keluarga yang taat beragama. Dimana Ibunya adalah zahidah ayahnya adalah pemuka masyarakat dan dua orang saudaranya termasuk sufi. Walaupun tidak seterkenal dirinya. Mulanya ia belajar agama di masjid tempat kelahirannya. Kemudian ia melanjutkan perjalanan ke berbagai daerah dan akhir kehidupannya berubah menjadi seorang sufi dengan ajaran tasawufnya al-fana` albaqa` dan al-Ittihad.
  2. Sebelum Abu Yazid mencapai tingkat ittihad, ia mengawali maqamnya dengan fana` dan baqa` yang merupakan dua kembar yang tidak dapat dipisahkan dalam pencapaian al-Ittihad, al-Fana` adalah lenyapnya sifat-sifat basyariah, akhlak yang tercela kebodohan dan perbuatan maksiat dari diri manusia. Sedangkan al-Baqa` adalah kekalnya sifat-sifat ketuhanan, Akhlak yang terpuji, ilmu pengetahuan dan kebersihan dari dosa dan maksiat. Sedangkan al-itthad adalah menyatunya jiwa manusia dengan tuhan, untuk mencapai  hal tersebut harus dilakukan usaha-usaha yang maksimal seperti taubat, zikir ibadah dan menghiasi diri dengan akhlak yang terpuji.
  3. Untuk   sampai   ke  ittihad,  sufi  harus  terlebih  dahulu mengalami al-fana’ ‘an al-nafs, dalam arti lafdzi kehancuran jiwa. Yang dimaksud bukan hancurnya jiwa sufi menjadi tiada, tapi kehancurannya akan menimbulkan kesadaran sufi  terhadap diri-Nya. Inilah yang disebut kaum sufi al-fana’ ‘an al-nafs wa al-baqa, bi ‘l-Lah, dengan arti  kesadaran  tentang  diri sendiri  hancur  dan timbullah kesadaran diri Tuhan. Di sini terjadilah ittihad, persatuan atau manunggal dengan Tuhan.
DAFTAR PUSTAKA
Oman fathurrahman, Tanbih al-Masyi; menyoal wahdatul wujud kasus Abdurrauf singkel di Aceh Abad 17, (Cet. I, Mizan; Jakarta, 1999)
Harun Nasution, Islam ditinjau dari berbagai Aspek, Jilid II, (Cet. I; Jakarta; UI Press, 2002)
Oman fathurrahman, Loc. Cit
DR. Rosihan Anwar, M.Ag dan DR. Mukhtar Solihin, M.Ag, Ilmu Tasawuf, (Cet. II; Bandung, Pustaka Setia, 2004)
DR. Rosihan Anwar, M.Ag dan DR. Mukhtar Solihin, M.Ag, Op. Cit. h. 130
Drs. H.M Ruddin Emang, Akhlaq Tasawuf, (Identitas, Ujungpandang; 1994)
Dr. Muhammad Abd. Haq Ansari, Merajut Tradisi Syari`ah dengan Sufisme, (Cet. I, PT.Rajagrafindo Persada; Jakarta; 1997)
Husin al-Habsyi, Kamus al-Kautsar (Arab – Indonesia), (Darussagaf P.P. Alawy; Surabaya, 1997)
DR. Rosihan Anwar, M.Ag dan DR. Mukhtar Solihin, M.Ag, Loc. Cit. h. 130
Oman fathurrahman, Tanbih al-Masyi; menyoal wahdatul wujud kasus Abdurrauf singkel di Aceh Abad 17, (Cet. I, Mizan; Jakarta, 1999) www.media.isnet.org/islam/index.html
Dr. Muhammad Abd. Haq Ansari, Loc. Cit
Husin al-Habsyi, Loc. Cit.
Dr. Muhammad Abd. Haq Ansari, Loc. Cit.
www.media.isnet.org/islam/index.html
Wardana, Abu Yazid Al-Bustami, (Makalah PPS Alauddin; Makassar; 2001)
Dr. Muhammad Abd. Haq Ansari, Loc. Cit. h. 52
Dr. Muhammad Abd. Haq Ansari, Loc. Cit. h. 53
www.media.isnet.org/islam/index.html
DR. Rosihan Anwar, M.Ag dan DR. Mukhtar Solihin, M.Ag, Loc. Cit. h. 132 – 133
Harun Nasution, TASAWUF t.th. h. 42 – 43

[1] Oman fathurrahman, Tanbih al-Masyi; menyoal wahdatul wujud kasus Abdurrauf singkel di Aceh Abad 17, (Cet. I, Mizan; Jakarta, 1999), h. 20
[2] Harun Nasution, Islam ditinjau dari berbagai Aspek, Jilid II, (Cet. I; Jakarta; UI Press, 2002) h. 68
[3] Oman fathurrahman, Loc. Cit
[4] DR. Rosihan Anwar, M.Ag dan DR. Mukhtar Solihin, M.Ag, Ilmu Tasawuf, (Cet. II; Bandung, Pustaka Setia, 2004) h. 8
[5] DR. Rosihan Anwar, M.Ag dan DR. Mukhtar Solihin, M.Ag, Op. Cit. h. 130
[6] Drs. H.M Ruddin Emang, Akhlaq Tasawuf, (Identitas, Ujungpandang; 1994) h. 51
[7] Ibid
[8] Dr. Muhammad Abd. Haq Ansari, Merajut Tradisi Syari`ah dengan Sufisme, (Cet. I, PT.Rajagrafindo Persada; Jakarta; 1997 h. 47
[9] Husin al-Habsyi, Kamus al-Kautsar (Arab – Indonesia), (Darussagaf P.P. Alawy; Surabaya, 1997), h. 362
[10] DR. Rosihan Anwar, M.Ag dan DR. Mukhtar Solihin, M.Ag, Loc. Cit. h. 130
[11] Oman fathurrahman, Tanbih al-Masyi; menyoal wahdatul wujud kasus Abdurrauf singkel di Aceh Abad 17, (Cet. I, Mizan; Jakarta, 1999), h. 74-75
[12] www.media.isnet.org/islam/index.html
[13] Dr. Muhammad Abd. Haq Ansari, Loc. Cit. h. 47
[14] Husin al-Habsyi, Loc. Cit. h. 26
[15] Dr. Muhammad Abd. Haq Ansari, Loc. Cit. h. 48
[16] Ibid,
[17] www.media.isnet.org/islam/index.html
[18] Husin al-Habsyi, Loc. Cit. h. 581
[19] Wardana, Abu Yazid Al-Bustami, (Makalah PPS Alauddin; Makassar; 2001) h. 7
[20] DR. Rosihan Anwar, M.Ag dan DR. Mukhtar Solihin, M.Ag, Loc. Cit. h. 133
[21] Ibid,
[22] Ibid,
[23] Dr. Muhammad Abd. Haq Ansari, Loc. Cit. h. 52
[24] Dr. Muhammad Abd. Haq Ansari, Loc. Cit. h. 53
[25] www.media.isnet.org/islam/index.html
[26] Syathahat adalah ucapan-ucapan yang dikeluarkan seorang sufi ketika ia mulai berada di pintu gerbang ittihad.
[27] DR. Rosihan Anwar, M.Ag dan DR. Mukhtar Solihin, M.Ag, Loc. Cit. h. 132 – 133
[28] www.media.isnet.org/islam/index.html
[29] Op. Cit. h. 135