Selasa, 30 November 2010

KTSP DAN KESIAPAN SEKOLAH/MADRASAH DALAM IMPLENTASINYA

By: Moh. Badrus Sholeh

Melalui otonomi daerah pengambilan keputusan yang menyangkut pelaksanaan layanan pendidikan akan semakin mendekati masyarakat yang dilayani, sehingga akuntabilitas layanan bergeser dari yang lebih berorientasi kepada kepentingan pemerintahan pusat kepada akuntabilitas yang lebih berorientasi kepada kepentingan masyarakat luas dan terbuka. Sehingga pengambilan keputusan tentang pelaksanaan pendidikan di daerah menuntut partisipasi masyarakat dan wali murid yang lebih luas dan terbuka, terutama dalam menumbuhkan manajemen yang transparan dan demokratis

Otonomi pendidikan di Indonesia dilaksanakan pada tiga tingkatan level, yaitu level distrik, sekolah dan guru. Pada level sekolah/madrasah, yakni dengan memberikan kewenangan yang lebih besar kepada sekolah untuk mengatur dan menyelenggarakan proses pendidikan di sekolah dengan konsep manajemen berbasis sekolah, dimana seluruh warga sekolah/madrasah dibeberikan keluasaan berpartisipasi dalam penyelenggaraan pendidikan sekolah/madrasah, bukan hanya dalam hal pembiayaan tetapi juga dalam hal perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan program sekolah/madrasah. Di level guru, dimana guru diberi otonomi yang lebih besar sehingga mereka dapat memiliki kebebasan untuk mengembangkan proses belajar mengajar, melakukan inovasi pembelajaran dan melaksanakan penilaian.
Pemberian otonomi pendidikan menuntut adanya pendekatan kurikulum yang lebih kondusif di sekolah yang diharapkan dapat mengakomodasi seluruh keinganan sekaligus memberdayakan berbagai komponen masyarakat secara efektif guna mendukung kemajuan dan sistem pendidikan yang ada disekolah. Sehingga dalam kerangka inilah, kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) tampil sebagai alternatif kurikulum yang ditawarkan.
Lahirlah kurikulum satuan tingkat pendidikan memungkinkan penyesuaian program pendidikan dengan kebutuhan dan potensi yang ada di daerah masing-masing. KTSP adalah kurikulum operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan di masing-masing satuan pendidikan. KTSP terdiri dari tujuan pendidikan tingkat satuan pendidikan, struktur dan muatan kurikulum tingkat satuan pendidikan, kalender pendidikan, dan silabus.

Kewenangan sekolah dalam menyusun kurikulum memungkinkan sekolah menyesuaikan dengan tuntutan kebutuhan siswa, keadaan sekolah, dan kondisi daerah. Dengan demikian, daerah dan/atau sekolah memiliki cukup kewenangan untuk merancang dan menentukan hal-hal yang diajarkan, pengelolaan pengalaman belajar, cara mengajar, dan menilai keberhasilan belajar mengajar. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dikembangkan mengacu pada visi, misi, dan tujuan satuan pendidikan. Bila visi, misi, dan tujuan satuan pendidikan berbeda satu sama lain, tentunya KTSPnya pun tidak sama.
Satuan pendidikan diberi kewenangan untuk menyusun sendiri kurikulumnya sebagai perwujudan otonomi pendidikan. Namun, penyusunan KTSP bukan bebas tanpa batas, melainkan harus mengacu pada kerangka dasar kurikulum dan standar kompetensi lulusan. Hal ini mencerminkan kesatuan dalam kebijakan, keberagaman dalam pelaksanaan. Kerangka dasar kurikulum dan standar kompetensi lulusan dikembangkan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan dan ditetapkan oleh Menteri Pendidikan Nasional.
Dokumen KTSP pada SD, SMP, SMA, dan SMK dinyatakan berlaku oleh kepala sekolah setelah mendapat pertimbangan dari komite sekolah dan diketahui oleh dinas tingkat kabupaten/kota yang bertanggung jawab di bidang pendidikan untuk SD dan SMP, dan tingkat provinsi untuk SMA dan SMK. Sedangkan dokumen KTSP pada MI, MTs, MA dan MAK dinyatakan berlaku oleh kepala madrasah setelah mendapat pertimbangan dari komite madrasah dan diketahui oleh kementerian yang menangani urusan pemerintahan di bidang agama

Ditinjau dari model pendekatan pengembangannya, ternyata KTSP tidak murni menerapankan pendekatan desentralisasi, tetapi menerapkan pendekatan dekonsentrasi, yaitu campuran antara setralistik dan desentralistik atau mengunakan pendekatan campuran model administratif dan model akar rumput

Dalam pelaksanaan KTSP masih terdapat faktor-faktor yang perlu diperhatikan berkaitan dengan kesiapan sekolah/Madrasah. Kesiapan dan pelaksanaan kurikulum sangat ditentukan oleh para pelaku yaitu, pemerintah pusat, aparat daerah, masyarakat dan sekolah sendiri. Kesiapan ini juga menyangkut kemampuan dalam mengajukan argumentasi dan rasionalisasi dan berbagai sudut pandang yang mendukung diterapkannya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan.

Dengan kualitas SDM yang kurang standar, sosialisasi yang minim, anggaran pendidikan yang terbatas, serta fasiltas yang belum lengkap, konsep dan kebijakan tentang kurikulum ini diragukan bisa dilaksanakan secara baik dan konsekuen. Untuk mewujudkan hal ini memang berat karena membutuhkan waktu yang lama dan ahli-ahli ilmu yang sekaligus mempunyai wawasan religius yang memadai sehingga mampu membuat kerikulum yang integrative

Menurut hasil evaluasi Puskur (Pusat kurikulum) Kementerian pendidikan tahun 2008 bahwa secara konseptual sebagian besar sekolah/madrasah cukup memahami KTSP disusun dan ditetapkan oleh masing-masing satuan pendidikan dengan mempertimbangkan keragaman kondisi, potenai, dan kebutuhan daerah serta peserta didik. Namun, substansi dan strategi strategi implementasi KTSP belum cukup dipahami. Hal ini dilihat dari naskah KTSP dan perangkatnya yang disusun oleh masing-masing satuan pendidikan. Umunya naskah tersebut baru pada tahap ”copy-paste”. Akibatnya, penerapkan KTSP di masing-masing satuan pendidikan belum begitu kuat karakteristiknya

Dari uraian diatas, ternyata pelakasanaan KTSP tidak semua sekolah/madrasah memiliki kesiapan. Untuk menyelesaikan permasalahan ini, Prof. Dr. Muhaimin memetakan kondisi riil sekolah/madrasah dalam upaya membangun kemampuan (capasity building) sebagai berikut:
1) Tahap pra-formal, yakni sekolah/ madrasah yang belum memenuhi standar teknis, atau belum dapat memiliki sumber-sumber pendidikan yang memadai untuk menyelenggarakan penyelenggaraan pendidikan secara minimal.
2) Tahap formalitas, yakni sekolah yang sudah memiliki sumber-sumber pendidikan yang memadai seacara minimal, atau mencapai standar teknis minimal seperti jumlah dan kualifikasi guru, jumlah dan kualitas ruang, jumlah dan kualitas buku pelajaran dan jumlah/ kualitas fasilitas lainnya.
3) Tahap Transisional, yakni sekolah/madrasah yang sudah mampu memberikan pelayanan minimal pendidikan bermutu, seperti kemampuan mendayagunakan sumber-sumber pendidikan secara optimal, meningkatnya kreatifitas guru, pendayagunaan perpustakaan secara optimal, kemampuan menambah anggaran dan dukungan fasilitas pendidikan dari sumber masyarakat dan lain-lain.
4) Tahap otonomi, yakni sekolah/ madrasah yang berada pada tahap penyelesaian capacity building menuju profesionalisasi dan pelayanan pendidikan bermutu.
Strategi capacity building yang bisa dilakukan agar layak untuk mengembangkan KTSP antara lain sebagai berikut:
1) Terhadap sekolah/madrasah tahap pra formal, strategi capacity building yang dilakukan melalui upaya memperlengkapi sumber-sumber pendidikan dengan sarana-prasarana pendidikan sesuia dengan kebutuhan mereka secara minimal, tetapi memamdai untuk dapat mencapai tahap perkembangan berikutnya.
2) Terhadap sekolah/madrasah yang sudah mencapai tahap formalitas, strategi capacity building dilakukan melalui pelatihan-pelatihan dan pengembangan kemampuan tenaga kependidikan.
3) Terhadap sekolah/madrasah yang telah mencapai tahap trasisional, perlu dikembangkan system manajemen berbasis sekolah yang didukung oleh partisipasi masyarakat dalam pendidikan serta mekanisme akuntabilitas pendidikan melalui fungsi dewan pendidikan dan komite sekolah.
4) Terhadap sekolah/madrasah yang mencapai tahap otonomi perlu ditingkaykan secara optimal dan menyeluruh yang mencakup seluruh komponen pendidikan yang ada di dalamnya, sehingga dapat dikembangkan kearah sekolah/madrasah nasional yang berstandar internasional.
Dari uraian diatas, ternyata pelakasanaan KTSP tidak semua sekolah/madrasah memiliki kesiapan. Untuk menyelesaikan permasalahan ini, Prof. Dr. Muhaimin memetakan kondisi riil sekolah/madrasah dalam upaya membangun kemampuan (capasity building) sebagai berikut:
5) Tahap pra-formal, yakni sekolah/ madrasah yang belum memenuhi standar teknis, atau belum dapat memiliki sumber-sumber pendidikan yang memadai untuk menyelenggarakan penyelenggaraan pendidikan secara minimal.
6) Tahap formalitas, yakni sekolah yang sudah memiliki sumber-sumber pendidikan yang memadai seacara minimal, atau mencapai standar teknis minimal seperti jumlah dan kualifikasi guru, jumlah dan kualitas ruang, jumlah dan kualitas buku pelajaran dan jumlah/ kualitas fasilitas lainnya.
7) Tahap Transisional, yakni sekolah/madrasah yang sudah mampu memberikan pelayanan minimal pendidikan bermutu, seperti kemampuan mendayagunakan sumber-sumber pendidikan secara optimal, meningkatnya kreatifitas guru, pendayagunaan perpustakaan secara optimal, kemampuan menambah anggaran dan dukungan fasilitas pendidikan dari sumber masyarakat dan lain-lain.
8) Tahap otonomi, yakni sekolah/ madrasah yang berada pada tahap penyelesaian capacity building menuju profesionalisasi dan pelayanan pendidikan bermutu.
Strategi capacity building yang bisa dilakukan agar layak untuk mengembangkan KTSP antara lain sebagai berikut:
5) Terhadap sekolah/madrasah tahap pra formal, strategi capacity building yang dilakukan melalui upaya memperlengkapi sumber-sumber pendidikan dengan sarana-prasarana pendidikan sesuia dengan kebutuhan mereka secara minimal, tetapi memamdai untuk dapat mencapai tahap perkembangan berikutnya.
6) Terhadap sekolah/madrasah yang sudah mencapai tahap formalitas, strategi capacity building dilakukan melalui pelatihan-pelatihan dan pengembangan kemampuan tenaga kependidikan.
7) Terhadap sekolah/madrasah yang telah mencapai tahap trasisional, perlu dikembangkan system manajemen berbasis sekolah yang didukung oleh partisipasi masyarakat dalam pendidikan serta mekanisme akuntabilitas pendidikan melalui fungsi dewan pendidikan dan komite sekolah.
8) Terhadap sekolah/madrasah yang mencapai tahap otonomi perlu ditingkaykan secara optimal dan menyeluruh yang mencakup seluruh komponen pendidikan yang ada di dalamnya, sehingga dapat dikembangkan kearah sekolah/madrasah nasional yang berstandar internasional.
Pengembangan KTSP merupakan suatu kegiatan yang tak pernah selesai, dalam arti ia harus dilakukan secara terus-menerus dan berkelanjutan baik dalam aspek perencanaan, implementasi maupun evaluasinya. Hanya saja, dalam tradisi kita biasanya biasanya ketika melakukan pengembangan kurikulum lebih banyak disibukkan dan berhenti pada aspek curriculum plan (kurikulum sebagai dokumen) yang meliputi: (1) perumusan standar kompetensi lulusan. (2) penentuan serangkaian mata pelajaran serta bobotnya. (3) Penyusunan silabus dan (4). Penyusunan program kegiatan atau rencana pelaksanaan pembeljaran. Sedangkan pada aspek actual curriculum atau kegiatan nyata biasanya terlupakan, seperti masalah proses pembelajaran, proses evaluasi, termasuk didalamnya uji kompetensi, dan penciptaan suasana pembelajaran. Apa artinya KTSP sebagai dokumen jika tidak ditindaklanjuti dengan actual curriculum. Karena itu, dalam kegiatan pengembangan kurikulum ini perlu memperhatikan kedua-duanya.