Jumat, 07 Januari 2011

Pengawasan dan Evaluasi Mutu

Moh. Badrus Sholeh, S.Pd.I

Pemantauan adalah kegiatan mengamati pelaksanaan rencana kerja dan mengumpulkan informasi-informasi tentang proses pelaksanaannya. Sedangkan Evaluasi adalah kegiatan untuk mengetahui apakah pelaksanaan rencana kerja itu berhasil atau tidak, dan jika tidak berhasil apa sebabnya. Hasil-hasil pemantauan dan evaluasi sangat diperlukan dan berguna dalam usaha perbaikan mutu.
Pengawasan dan evaluasi adalah elemen kunci dalam perencanaan strategis. Jika sebuah institusi mau belajar dari penga¬laman dan tidak statis, maka proses evaluasi dan umpan¬balik harus menjadi elemen yang esensial dalam kultur¬nya. Proses evaluasi harus fokus pada pelanggan, dan mengeksplorasi dua isu: pertama, tingkatan di mana lembaga mampu memenuhi kebutuhan individual para pelanggannya, baik internal maupun eksternal; dan kedua, sejauh mana lembaga mampu mencapai misi dan tujuan strategisnya.
Pemantauan dan evaluasi mempunyai dua tujuan : 1) pemantauan dan evaluasi pencegahan; 2) pemantauan dan evaluasi perbaikan. Untuk memastikan bahwa sebuah proses evaluasi mampu mengawasi tujuan individual dan institusional tersebut, maka evaluasi tersebut harus dilakukan dalam tiga level evaluasi, sebagaimana berikut:
Segera, melibatkan pemeriksaan harian terhadap kemajuan pelajar. Tipe evaluasi ini biasanya berlang¬sung secara informal, dan dilakukan oleh individu¬individu guru atau pada tingkat tim.
Jangka pendek, membutuhkan cara yang lebih ter¬struktur dan spesifik, yang menjamin bahwa pelajar sudah berada dalam jalur yang seharusnya dan sedang meraih potensinya. Tujuannya evaluasi pada tingkatan ini adalah untuk memastikan perbaikan bagi segala sesuatu yang harus diperbaiki. Penggunaan data statistik dan profil pelajar harus ditonjolkan dalam proses ini. Evaluasi ini dilakukan dalam level tin dan departemen. Evaluasi jangka pendek dapat digunakan sebagai sebuah metode kontrol mutu yang menyoroti kesalahan dan masalah. Penekanannya perbaikan sebagai cara men¬cegah kegagalan pelajar.
Jangka panjang, adalah sebuah evaluasi terhadap kemajuan dalam mencapai tujuan strategis. Evaluasi ini merupakan evaluasi yang dipimpin langsung oleh institusi secara keseluruhan. Evaluasi ini memerlukan banyak contoh-contoh kasus tentang sikap dan pan¬dangan pelanggan, juga diawasi melalui skala besar indikator prestasi institusi. Tipe evaluasi ini dilakukan sebagai sebuah usaha pembuka dalam memperbaharui rencana strategis. Kuesioner bisa digunakan untuk mem¬peroleh umpan-balik dari para pelanggan. Informasi tersebut diperoleh dari survei yang dapat dihubungkan dengan data prestasi kuantitatif tentang kesuksesan, tingkat nilai, cita-cita pelajar dan lain sebagainya. Tujuan terpenting dari tipe evaluasi ini adalah pence¬gahan. Yaitu dengan menemukan kesalahan yang terjadi, dan hal-hal apa saja yang tidak mampu memberikan keuntungan pada para pelajar, dan selanjutnya men¬cegah hal tersebut agar tidak terjadi lagi.
Evaluasi sering dilihat sebagai se¬buah upaya pencegahan. la bertujuan untuk menemu¬kan apa yang benar dan apa yang salah, serta meng¬gunakan hasil evaluasi untuk meningkatkan kinerja di masa yang akan datang. Pencegahan dari kesalahan agar tidak terulang kembali merupakan fungsi evaluasi yang valid.
Kegagalan dalam membedakan evaluasi jangka panjang dari jangka pendek juga bisa menyebabkan mekanisme evaluasi berjalan secara keliru. Penekanan pada evaluasi formal cenderung pada pencegahan dan bukan pada perbaikan. Dalam pendidikan lanjut, misalnya, paradigma evaluasi berdasarkan pada evaluasi elaboratif, periodik, dan sering berkaitan dengan kuesioner pelajar. Tujuannya adalah untuk memper¬kuat umpan-balik pelajar dan untuk memperkuat validitas proses penyajian kurikulum. Di samping itu, hal tersebut juga bertujuan untuk mengetahui persepsi pelajar tentang layanan sekolah. Tipe evaluasi ini sangat baik untuk mengidentifikasi isu-isu strategisdan institusional. Namun is kurang efektif jika diguna¬kan sebagai sebuah metode untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi individu pelajar.
Hasil pengawasna dan evaluasi berupa informasi untuk pengambilan keputusan, sehingga informasi/ datanya harus dapat dipertanggungjawabkan. Informasi dan simpulan hasil pengawasan diharapkan dapat digunakan untuk mengambil keputusan tentang apa yang perlu dilakukan untuk membantu agar program sekolah berhasil seperti yang diharapkan

Kamis, 06 Januari 2011

PEMAHAMAN KARAKTER MORAL SISWA DALAM KEGIATAN BELAJAR MENGAJAR DI SEKOLAH(2 )


TAHAP PERKEMBANGAN MORAL DALAM KEGIATAN BELAJAR MENGAJAR

Kematangan moral menuntut penalaran yang matang, dimana suatu keputusan bahwa sesuatu itu baik barangkali dianggap tepat, tetapi keputusan itu baru disebut matang bila dibentuk oleh suatu proses penalaran yang matang. Oleh sebab itu tujuan dari pemahaman guru dan kepala sekolah  tak terlepas dari kematangan moral, dan merupakan suatu keharusan yang harus dikembangkan, maka peran guru dan kepala sekolah banyak dituntut untuk memahami dan mengetahui proses perkembangan dan cara-cara membantu perkembangan moral tersebut.
  Tahap-tahap perkembangan moral, berdasar hasil penelitian Kohlberg (1980b) dapat diungkap sebagai berikut:
1.       Ada prinsip-prinsip moral dasar yang mengatasi nilai-nilai moral lainnya, dan prinsip-prinsip moral dasar itu merupakan akar dari nilai-nilai moral lainnya.
2.      Manusia tetap merupakan subyek yang bebas dengan nilai-nilai yang berasal dari dirinya sendiri;
3.      Dalam penalaran moral ada tahap-tahap perkembangan bagi setiap kebudayaan manusia;
4.      Tahap-tahap perkembangan penalaran moral banyak ditentukan oleh faktor kognitif atau kematangan intelektual.
Tahapan perkembangan penalaran moral  tersebut sebenarnya tak terlepas dari pemikiran John Dewey yang memandang perkembangan tersebut ke dalam tiga tingkatan, yaitu:
1.       Tingkat Pra-Konvensional. Pada tingkat ini seseorang sangat tanggap terhadap aturan-aturan, penilaian baik buruk, tetapi dia menafsirkan baik dan buruk ini dalam rangka maksimalisasi kenikmatan atau akibat-akibat fisik dari tindakannya (hukuman fisik, penghargaan, tukar menukar kebaikan). Kecenderungan utamanya dalam interaksi dengan orang lain adalah menghindari hukuman atau mencapai maksimalisasi kenikmatan.
2.      Tingkat  Konvensional. Pada tingkat ini seseorang menyadari dirinya sebagai seorang individu di tengah-tengah keluarga, masyarakat dan bangsanya. Keluarga, masyarakat dan bangsa dinilai memiliki kebenarannya sendiri, karena jika menyimpang dari kelompok ini akan terisolasi. Maka dari itu, kecenderungan orang pada tahap ini adalah menyesuaikan diri dengan aturan-aturan masyarakat dan mengidentifikasikan dirinya terhadap kelompok sosialnya. Pada tingkat ini perasaan dominan adalah malu.
3.      Tingkat Pasca-Konvensional. Pada tingkat ini orang bertindak sebagai subyek hukum dengan mengatasi hukum yang ada. Orang pada tahap ini sadar bahwa hukum merupakan kontrak sosial demi ketertiban dan kesejahteraan umum, maka jika hukum tidak sesuai dengan martabat manusia, hukum dapat dirumuskan kembali. Perasaan yang muncul pada tahap ini adalah rasa bersalah dan yang menjadi ukuran keputusan moral adalah hati nurani.
Dari tahapan dan tingkatan tersebut di atas motif yang diberikan bagi kepatuhan terhadap peraturan  merupakan bentuk-bentuk karakter yang harus ditanamkan pada siswa dalam setiap kegiatan belajar mengajar terkait dengan bidang studi yang harus diterima oleh mereka. Jenis karakter yang dimaksud:
      1.Bentuk karakter yang membuat seseorang menjadi berintegritas, jujur dan loyal;
      2.Bentuk karakter yang membuat seseorang memiliki pemikiran terbuka serta tidak suka   memanfaatkan orang lain;
      3.Bentuk karakter yang membuat seseorang memiliki sikap peduli dan perhatian terhadap orang lain maupun kondisi sosial lingkungan sekitar.
      4.Bentuk karakter yang membuat seseorang selalu menghargai dan menghormati orang lain;
      5.Bentuk karakter yang membuat seseorang sadar hukum dan peraturan serta peduli terhadap lingkungan alam;
      6.Bentuk karakter yang membuat seseorang bertanggung jawab, disiplin, dan selalu melakukan sesuatu dengan sebaik mungkin.
         Menurut Ratna Megawangi (2008) menyebut sembilan pilar karakter nilai-nilai luhur universal yang perlu ditanamkan kepada anak sejak dini usia prasekolah, terutama: Pertama, karakter cinta Tuhan Allah dengan segala ciptaanNya; Kedua, kemandirian dan tanggung jawab; Ketiga, kejujuran/amanah, diplomatis; Keempat, hormat dan santun; Kelima, dermawan, suka menolong, gotong royong, kerjasama; Keenam, percaya diri dan pekerja keras; Ketujuh, kepemimpinan dan keadilan; Kedelapan, baik dan rendah hati; Kesembilan, karakter toleransi, kedamaian dan kesatuan.,
       Secara definitif karakter adalah kualitas psikologis yang dimiliki oleh seseorang atau secara kolektif oleh sekelompok masyarakat. Istilah ini sering digunakan secara bergantian dengan nilai-nilai, yaitu dapat dipercaya/amanah, hormat dan tanggung jawab, kejujuran dan kasih sayang.  
Sedang pendidikan karakter mencakup sistem tata nilai yang meliputi semua komponen pelaku pendidikan, termasuk guru dan masyarakat, dan tata nilai yang berkembang pada suatu masyarakat. Juga melibatkan kebijakan dan aturan pemerintah sebagai pengatur pendidikan . Hubungan antar komponen dalam sistem pendidikan nasional yang terlibat dalam pendidikan karakter. Komponen input dan proses dipengaruhi oleh faktor eksternal yang berupa kondisi dan faktor internal berupa kondisi sosial masyarakat. Dengan demikian komponen output berupa kompetensi lulusan sesungguhnya juga btidak lebih dari kondisi dan kapasitas yang tersedia dalam komponen input terutama proses.

D.  PENUTUP

      Sebagai penutup dari paparan di atas maka dapat disimpulkan Pemahaman karakter Moral Siswa dalam Kegiastan Belajar Mengajar sebagai berikut (1) Guru dan para pendidik perlu memusatkan perhatiannya pada upaya memperbaiki kualitas pembelajaran. Upaya memperbaiki kualitas pembelajaran moral ditempatkan pada perbaikan strategi pembelajaran, variabel metode pembelajaran.mencakup strategi pengorganisasian pembelajaran, strategi penyampaian pembelajaran, dan strategi pengelolaan pembelajaran; (2) Variabel yang berpengaruh terhadap penggunaan metode pembelajaran adalah variabel kondisi pembelajaran, dan variabel ini dikelompokkan menjadi tujuan dan karakteristik bidang studi, kendaladan karakteristik bidang studi, dan karakteristik siswa; (3)  Karakteristik siswa adalah aspek-aspek atau kualitas perseorangan siswa, diantaranya adalah kemampuan awal atau hasil belajar yang telah dimilikinya; (4).Kemampuan awal sebagai pijakan dalam mengembangkan stratregi pembelajaran moral berkaitan dengan tahap mana penalaran moral siswa berada, pada tahap mana kepercayaan eksistensial siswa berada, bagaimana empati, dan peran sosial mereka.(5) Bentuk-bentuk budaya siswa berupa prestasi psikologis,di antaranya adalah penalaran moral, kepercayaan eksistensial, empati dan peran sosial.
:
E. REFERENSI

Asri Budiningsih. (2004). Pembelajaran Moral. Penerbit. PT.Rineka Cipta. Jakarta
Asri Budiningsih C.(2001) Penalaran  Moral Remaja dan Beberapa Faktor Budaya yang berhubungan Dengannya (Disertasi tidak dipublikasikan). Malang: PPs.UM.
Cremers,A.(1995). Teori Perkembangan Kepercayaan, Karya-Karya Penting James W.Fowler.Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Cremers,A.(1995). Tahap-Tahap Perkembangan Moral.Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Departemen Pendidikan Nasional. (2010). Draft Rencana Strategis Pembangunan Pendidikan Nasional 2010-2014. Jakarta: Depdiknas.
Kohlberg,L.(1980). Stages of Moral Development as a Basis of Moral Education. Dalam Mursey,B (ed). Moral Development, Moral Education, and Kohlberg. Birmingham, Alabama: Religious Education Press.
Linda & Eyre,R (1993). Teaching Your Children Values. Eyre,R.M. & Assoc.Inc.
Manulang, Marihot. (2010). Mendiknas dan Problematika Pendidikan Kita. Tersedia online: http://hariansib.com/?p=96786 12 April 2010.
Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.