BAB I
PENDAHULUAN
- A. Latar Belakang
Sejarah tentang perkembangan pemikiran  keislaman memiliki mata rantai yang cukup panjang dan kajian atas  persoalan ini pasti akan melibatkan kompleksitas, namun sejalan dengan  itu upaya penggalian informasi mengenai perkembangan pemikiran keislaman  melalui data-data (naskah-naskah) yang dihasilkan oleh para pemikir  terdahulu (ulama terdahulu) menjadi sesuatu yang mutlak harus terus  dilakukan, mengingat tema yang terkandung dalam naskah-naskah tesebut  pun sangat beragam dan di antara tema yang cukup dominan serta telah  banyak menarik perhatian para peneliti naskah adalah tentang tasawuf.
Secara sederhana dapat dikemukakan,  bahwa tasawuf merupkan aspek esoteric atau aspek batin yang harus  dibedakan dari aspek eksoterik atau aspek lahir dalam islam.
[1]  Tasawuf atau sufisme adalah istilah yang khusus dipakai untuk  menggambarkan mistisesme dalam islam, adapun tujuan tasawuf ialah  memperoleh hubungan langsung dan dekat dengan tuhan, sehingga dirasakan  benar bahwa seseorang sedang berada di hadiratnya, yang intisarinya  adalah kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog antara ruh manusia  dengan tuhan dengan mangasingkan diri dan berkontemplasi
[2].
 Dalam islam kita  mengenal dua aliran tasawuf, Pertama, aliran tasawuf falsafi, dimana  para pengikutnya cederung pada ungkapan-ungkapan ganjil 
(syatahiyyat),  serta mertolak dari keadaan fana menuju pernyataan tentang terjadinya  penyatuan antara hamba dengan tuhan. Kedua, aliran tasawuf amali, dimana  para penganutnya selalu memagari tasawuf dengan timbangan sayriat yang  berlandaskan al-Quran dan as-Sunnah, serta mengaitkan keadaan dan  tingkatan rohaniah mereka dengan keduanya.
[3]  Dan ada juga yang membaginya menjadi tiga yaitu: tasawuf Akhlaqi,  Tasawuf Irfani dan Tasawuf Falsafi.
[4] Diantara para sufi yang menganut aliran  tasawuf Irfani adalah sufi yang terkenal dengan konsep fana`, baqa` dan  al-Ittihad yang kita kenal dengan nama Abu Yazid al-Bustami.
- B. Rumusan Masalah
Pada makalah ini penulis dalam rumusan  makalahnya mencoba untuk memaparkan Riwayat hidup Abu Yazid Al-Bustami  dan konsep ajaran tasawuf-Nya yang kita kenal dengan istilah “Fana`,  Baqa` dan Ittihad”. 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
BAB II
PEMBAHASAN
 
-  I. Riwayat Hidup Abu Yazid al-Bustami
Abu Yazid al-Bustami lahir di Bustam,  bagian timur laut Persia tahun: 188 H – 261 H/874 – 947 M. Nama  lengkapnya adalah Abu Yazid Thaifur bin Isa bin Adam bin Surusyan.  Semasa kecilnya ia dipanggil Thaifur, kakeknya bernama Surusyan yang  menganut ajaran Zoroaster yang telah memeluk Islam dan ayahnya salah  seorang tokoh masyarakat di Bustam.
[5]Keluarga Abu Yazid termasuk keluarga  yang berada di daerahnya tetapi ia lebih memilih hidup sederhana. Sejak  dalam kandungan Ibunya, konon kabarnya Abu Yazid telah mempunyai  kelainan. Ibunya berkata bahwa ketika dalam perutnya, Abu Yazid akan  memberontak sehingga Ibunya muntah kalau menyantap makanan yang  diragukan kehalalannya.
Sewaktu menginjak usia remaja, Abu Yazid  terkenal sebagai murid yang pandai dan seorang anak yang patuh  mengikuti perintah agama dan berbakti kepada orang tuanya, suatu kali  gurunya menerangkan suatu ayat dari surat Luqman yang berbunyi : “berterima  kasihlah kepada Aku dan kepada kedua orang tuamu” ayat ini sanagat  menggetarkan hati Abu Yazid. Ia kemudian berhenti belajar dan pulang  untuk menemuia Ibynya, sikapnya ini menggambarkan bahwa ia selalu  berusaha memenuhi setiapo panggilan Allah.
Perjalanan Abu Yazid untuk menjadi  seorang sufi memeakan waktu puluhan tahun, sebelum membuktikan dirinya  sebagai seorang sufi, ia terlebih dahulu telah menjadi seorang fakih  dari madzhab Hanafi. Salah seorang gurunya yang terkenal adalah Abu Ali  As-Sindi, ia mengajarkan ilmu tauhid, ilmu hakikat dan ilmu lainnya  kepada Abu Yazid. Hanya saja ajaran sufi Abu Yazid tidak ditemukan dalam  bentuk buku
Dalam perjalanan kehidupan Zuhud, selama  13 tahun, Abu Yazid mengembara di gurun-gurun pasir di syam, hanya  dengan tidur, makan, dan minum yang sedikit sekali.
Abu Yazid hidup dalam keluarga yang taat  beragama, Ibunya seorang yang taat dan zahidah, dua saudaranya Ali dan  Adam termasuk sufi meskipun tidak terkenal sebagaimana Abu Yazid.
Abu Yazid dibesarkan dalam keluarga yang  taat beragama, sejak kecil kehidupannya sudah dikenal saleh. Ibunya  secara teratur mengirimnya ke masjid untuk belajar ilmu-ilmu agama.  Setelah besar ia melanjutkan pendidikannya ke berbagai daerah. Ia  belajar agama menurut mazhab hanafi.
Setelah itu, ia memperoleh pelajaran  ilmu tauhid. Namun pada akhirnya kehidupannya berubah dan memasuki dunia  tasawuf.
Abu Yazid adalah orang yang pertama yang  mempopulerkan sebutan al-Fana dan al-Baqa` dalam tasawuf. Ia adalah  syaikh yang paling tinggi maqam dan kemuliannya, ia sangat istimewa di  kalangan kaum sufi. Ia diakui salah satu sufi terbesar. Karena ia  menggabungkan penolakan kesenangan dunia yang ketat dan kepatuhan pada  iter agama dengan gaya intelektual yang luar biasa.
Abu Yazid pernah berkata: “Kalau kamu  lihat seseorang sanggup melakukan pekerjaan keramat yang besar-besar,  walaupun ia sanggup terbang ke udara, maka janganlah kamu tertipu  sebelum kamu lihat bagaimana ia mengikuti suruhan dan menghentikan dan  menjaga batas-batas syari`at.
[6]Dalam perkataan ini jelaslah bahwa  tasawuf beliau tidak keluar dari pada garis-garis syara` tetapi selain  dari perkataan yang jelas dan terang itu, terdapat pul akata-kata beliau  yang ganjil-ganjil dan mempunyai pengertian yang dalam. Dari mulut  beliau seringkali memberikan ucapan-ucapan yang berisikan kepercayaan  bahwa hamba dan tuhan sewaktu-waktu dapat berpadu dan bersatu. Inilah  yang dinamakan Mazhab Hulul atau Perpaduan.
[7]Abu Yazid meninggal dunia pada tahun 261  H/947 M, jadi beliau meninggal dunia di usia 73 tahun dan dimakamkan di  Bustam, dan makamnya masih ada sampai sekarang.
- II. Konsep Thasawuf Abu Yazid al-Bustami - 1. al-Fana dan al-Baqa`
 
Ajaran tasawuf terpenting Abu Yazid  adalah Fana` dan Baqa`. Secara harfiah fana` berarti meninggal dan  musnah, dalam kaitan dengan sufi, maka sebutan tersebut biasanya  digunakan dengan proposisi: fana`an yang artinya kosong dari segala  sesuatu, melupakan atau tidak menyadari sesuatu.
[8]Sedangkan Dari segi bahasa kata fana`  berasal dari kata bahasa Arab yakni faniya-yafna yang berarti musnah,  lenyap, hilang atau hancur
[9].  Dalam istilah tasawuf, Fana adakalanya diartikan sebagai keadaaan moral  yang luhur. Dalam hal ini, Abu Bakar al-Kalabadzi (W.378 H/988 M)  mendefinisikannya 
“hilangnya semua keinginan hawa nafsu seseorang,  tikdak ada pamrih dari segala perbuatan manusia, sehingga ia kehilangan  segala perasaaannya dan dapat memebedakan sesuatu secara sadar, dan ia  telah menghilangkan semua kepantingan ketika berbuat sesuatu”.
[10]Sedangkan dalam Sufism and syari`ah kata  fana` berarti to die and disappear. (mati dan menghilang). Al-Fana`  juga berarti memutuskan hubungan selain Allah, dan mengkhususkan untuk  Allah dan bersatu dengannya.
Adapun arti fana` menurut kalangan sufi  adalah hilangnya kesadaran pribadi dengan dirinya sendiri atau dengan  sesuatu yang lazim digunakan pada diri. Pendapat lain, fana` berarti  bergantinya sifat-sifat kemanusiaan dengan sifat-sifat ketuhanan, dapat  pula berarti hilangnnya sifat-sifat yang tercela. Selain itu Mustafa  Zuhri mengatakan bahwa yang dimaksud dengan fana` adalah lenyapnya  indrawi atau ke-basyariahan, yakni sifat manusia yang suka pada syahwat  dan hawa nafsu. Orang yang telah diliputi hakikat ketuhanan, sehingga  tiada lagi melihat dari pada alam wujud ini, maka dikatakan ia telah  fana` dari alam cipta atau dari alam makhluk.
Sedangkan Abdurrauf Singkel  mengungkapkan tentang fana` dan ini menurut istilah para sufi adalah  berarti hilang dan lenyap, sedangkan lawan katanya adalah baqa`, dan  lebih jelasnya sebagaimana disebutkan dalam kitab al-Jawahir, fana`  adalah kemampuan seorang hamba memandang bahwa Allah ta`ala berada pada  segala sesuatu.
[11]Dalam  menjelaskan  pengertian  fana’,   al-Qusyairi menulis, “Fananya  seseorang  dari  dirinya  dan  dari   makhluk  lain terjadi  dengan  hilangnya  kesadaran  tentang  dirinya   dan makhluk lain. Sebenarnya dirinya tetap  ada,  demikian  pula  makhluk  lain, tetapi ia tak sadar lagi pada diri mereka dan pada  dirinya. Kesadaran sufi  tentang  dirinya  dan  makhluk lain  lenyap   dan  pergi  ke dalam diri Tuhan dan terjadilah ittihad.”
[12]Dengan demikian fana` bagi seorang sufi  adalah mengharapkan kematian itera, maksudnya adalah mematikan diri dari  pengaruh dunia. Sehingga yang tersisa hidup didalam dirinya hanyalah  Tuhan semesta.
Jadi seorang sufi dapat bersatu dengan  tuhan, bila terlebih dahulu ia harus menghancurkan dirinya, selama ia  masih sadar akan dirinya, ia tidak akan bersatu dengan tuhan.
Penghancuran diri tersebut senantiasa  diiringi dengan baqa`, yang berarti to live and survive (hidup dan terus  hidup),
Adapun 
baqa`, berasal dari kata  
baqiya. Artinya dari segi bahasa adalah tetap, sedangkan  berdasarkan istilah tasawuf berarti mendirikan sifat-sifat terpuji  kepada Allah. Dalam kaitan dengan Sufi, maka sebutan Baq` biasanya  digunakan dengan proposisi: baqa` bi, yang berarti diisi dengan sesuatu,  hidup atau bersama sesuatu.
[13]Dalam kamus al-Kautsar, baqa` berarti  tetap, tinggal, kekal.
[14]  Bisa juga berarti memaafkan segala kesalahan, sehingga yang tersisa  adalah kecintaan kepadanya.
Dalam tasawuf, fana` dan Baqa` itera  beriringan, sebagaiamana dinyatakan oleh para ahli tasawuf: “Apabila  nampaklah nur kebaqaan, maka fanalah yang tiada, dan baqalah yang kekal.  Tasawuf itu ialah fana` dari dirinya dan baqa` dengan tuhannya, karena  hati mereka bersama Allah”.
Sebagai akibat dari fana` adalah baqa`.  Baqa` adalah kekalnya sifat-sifat terpuji, dan sifat-sifat tuhan dalam  diri manusia. Karena lenyapnya (fana`) sifat-sifat basyariah, maka yang  kekal adalah sifat-sifat ilahiah.
Pencapaian Abu Yazid ke tahap fana`  dicapai setelah meniggalkan segala keinginan selain keinginan kepada  Allah, seperti tampak dalam ceritanya.
“Setelah Allah menyaksikan kesucian  hatiku yang terdalam, aku mendengar puas dari-Nya. Maka, diriku dicap  dengan keridaan-Nya. “Engkaulah yang aku inginkan,” jawabku, “karena  Engkau lebih utama daripada anugrah lebih besar daripada kemurahan, dan  melalui engkau aku mendapat kepuasan dalam diri-Mu…”
Jalan menuju fana` menurut Abu Yazid  dikisahkan dalam mimpinya menatap tuhan, ia bertanya, “Bagaimana  caranya agar aku sampai pada-Mu?” Tuhan menjawab, “Tinggalkan  diri (Nafsu)mud an kemarilah.”
Abu Yazid sendiri pernah melontarkan  kata fana` pada salah satu ucapannya:
أَعْرِفُهُ حَتىَّ فَنَيْتُ  ثُمَّ عَرَفْتُهُ بِهِ فَحَيَيْتُ
Artinya:
“Aku tahu pada tuhan melalui diriku  hingga aku fana`, kemudian aku tahu pada-nya melalui dirinya maka aku  pun hidup.” (B 132)
Paham baqa` tidak dapat dipisahkan  dengan paham fana` karena keduanya merupakan paham yang berpasangan.  Jika seorang sufi sedang mengalami fana`, ketika itu juga ia sedang  menjalani baqa`.
Dalam menerangkan kaitan antara fana`  dan baqa` al-Qusyairi menyatakan, “Barangsiapa  meninggalkan perbuatan-perbuatan tercela, maka ia sedang fana` dari  syahwatnya. Tatkala fana` dari syahwatnya, ia baqa` dalam niat dan  keikhlasan ibadah;… Barangsiapa yang hatinya zuhud dari khidupan maka ia  sedang fana` dari keinginannya, berarti pula sedang baqa` dalam  ketulusan inabahnya…”
 Tetapi fana` dan baqa` yang  sangat esensial dan penting bagi sufisme sebenarnya bukan yang satu atau  yan lain, tetapi ia adalah; pengalaman afektif. Dalam rangka memahami  pengalaman ini, maka para Sufi harus mengikuti prosedur. Dalam qaul  al-Jamil, seorang Sufi India terkemuka, Syah Wali Allah (wafat   1176/1762) merinci prosedur dari tiga organisasi Sufi Utama, yaitu  Qadariyyah, Chistiyyah dan Naqsyabandiyyah. Mereka tegak dalam prinsip  yang sama, walau berbeda dalam rinci. Berikut akan diringkaskan prosedur  yang diikuti oleh thariqat Qadariyyah.
[15] Seorang calon Sufi pertama kali harus  mengikuti tahap persiapan. Ia harus mempunyai iman yang bear, menjauhi  perbuatan munkar, menjauhi dosa-dosa besar (kaba-ir) dan menjauhi  dosa-dosa kecil (shagha-ir) sebanyak mungkin. Ia harus shalat wajib dan  berbagai kewajiban (fara-id) yang diwajibkan syariah atasmya dan  menjalankan sunnah Rasul yang terpuji.
[16]Dengan demikian, Sesuatu didalam diri  sufi akan fana atau  hancur  dan  sesuatu  yang lain   akan  baqa  atau   tinggal.  Dalam  iterature  tasawuf disebutkan,  orang  yang  fana   dari  kejahatan  akan   baqa(tinggal)  ilmu  dalam dirinya; orang yang  fana dari maksiat akan baqa (tinggal) takwa dalam  dirinya.  Dengan   demikian, yang  tinggal  dalam  dirinya sifat-sifat yang baik. Sesuatu  hilang dari diri sufi dan  sesuatu  yang  lain  akan  timbul sebagai   gantinya. Hilang kejahilan akan timbul ilmu. Hilang sifat buruk akan  timbul  sifat  baik.  Hilang  maksiat  akan timbul takwa.
[17]- 2. al-Ittihad
Ittihad secara secara bahasa  berasal dari kata 
ittahada-yattahidu yang artinya (dua benda)  menjadi satu
[18],  yang dalam istilah Para Sufi adalah satu tigkatan dalam tasawuf, yaitu  bila seorang sufi merasa dirinya bersatu dengan tuhan.
[19]  Yang mana tahapan ini adalah tahapan selanjutnya yang dialami seorang  sufi setelah ia melalui tahapan 
fana` dan 
baqa`. Dalam  tahapan ittihad, seorang sufi bersatu dengan tuhan. Antara yang  mencintai dan yang dicintai menyatu, baik subtansi maupaun perbuatannya
[20].
  Harun Nasution memaparkan  bahwa 
ittihad adalah satu tingkatan ketika seorang sufi telah  merasa dirinya bersatu dengan tuhan, satu tingkatan yang menunjukkkan  bahwa yang mencintai dan yang dicintai telah menjadi satu, sehinggga  salah satu dari mereka dapat memanggil yang satu lagi dengan kata-kata, 
“Hai  aku…”.
[21] Dengan mengutip A.R. al-Baidawi, Harun  menjelaskan bahwa dalam 
ittihad yang dilihat hanya satu wujud  sunggguhpun sebenarnya ada dua wujud yang berpisah satu dari yang lain.  Karena yang dilihat dan dirasakan hanya satu wujud, maka dalam ittihad  telah hilang atau tegasnya antara sufi dan tuhan.
[22]Dalam ittihad. Identitas telah hilang,  identitas telah menjadi satu. Sufi yang bersangkutan, karena fana`-nya  tak mempunyai kesadaran lagi dan berbicara dengan nama tuhan.
Dalam hal ini, Dr. Muhammad Abd. Haq  Ansari dalam bukunya menyatakan;
Ada dua tingkat penyatuan (ittihad) yang  biasa dibedakan yaitu merasa bersatu dengan tuhan, tetapi tetap  menyadari perbedaan dirinya dengan tuhan; inilah ydng disebut tingkat  bersatu (maqam i-jam`). Pada tahap selanjutnya adalah kesadaran dari  ketiadaan yang bersama-sama dan mistik adalah kesadaran akan adanya Maha  Zat yang sangat berbeda. Kaum Sufi memandangnya sebagai tingkat  kebersatuan mutlak (Jam`al al-jam`; secara harfiah adalah bersatunya  kebersatuan).
[23]Al-Ghazali menjelaskan kebersatuan  mutlak ini sebagai berikut;
Apabila Makrifat mencapai pengalaman  yang lebih tinggi, maka mereka akan bersaksi akan tiadanya sesuatu yang  terlihat kecuaki satu Zat yang maha ada (al-haqq). Bagi sebagian orang,  ini adalah perwujudan intelektual. Tetapi bagi yang lain, ia merupakan  pengalamn afektif (hal-an wa dzauq-an); pluralitas menghilang darinya  secara bersama-sama. Mereka merasa terserap ke dalam kesatuan Murni  (al-Fardaniyyat al-Mahdhah), kehilangan intelektunya secara utuh,  pingsan dan bingung. Mereka tidak lebih sadar akan sesuatu kecuali  selain Tuhan, bahakan terhadap dirinya sendiri sekaipun baginya, tiada  sesuatu yang ada kecuali Tuhan; sebagi akibatnya mereka dalam keadaan  kehinlangn fikiran sadar (sukr) yang telah meniadakan kemampunanya untuk  mengendalikan nalar. Salah satu dari mereka berkata: “Aku adalah  Tuhan”, sedang yang lain menyatakan: “Sucikanlah aku, (lihatlah) betapa  agungnya aku”; sedang yang ketiga berkata: “ Tiada sesuatu dibalik jubah  ini keculai Tuhan”. Apabila pengalaman mistik ini menera, biasnya  disebut ketiadaan (fana`) atau bahkan ketiadaan dari ketiadaan (fana`  al-fana`). Baginya ia menjadi tidak sadar akan dirniya dan tidak sadar  akan ketidaksadarannya (fana`), karena ia tidak sadar akan dirinya dalam  keadan demikian atau kelupaannya akan diri. Apabila ia sadar akan  kelupaannya, berarti ia mulai menyadari diri-nya sendiri. Keadaan ini  disebut sebagai penyatuan (ittihad) tetapi tentu saja dalam bahasa  kiasan (majaz) dan dalam bahasa kenyataan (al-haqiqah) berarti pengakuan  akan keesaan (tauhid).[24] Ketika sampai ke  ambang  pintu   ittihad  dari  sufi  keluar ungkapan-ungkapan  ganjil  yang  dalam   istilah sufi disebut syatahat (ucapan  teopatis).
[25]Dengan fana`-Nya Abu Yazid meninggalkan  dirinya dan pergi ke hadirat tuhan. Bahwa ia telah berada dekat pada  tuhan dapat dilihat dari Syathahat
[26]  yang diucapkannya. Ucapan-ucapan yang demikian belum pernah didengar  dari sufi sebelum Abu Yazid, umpamanya:
[27]لَسْتُ أَتَعَجَّبَ مِنْ  حُبِّيْ لَكَ فَأَنَا عَبْدٌ فَقِيْرٌ
وَلَكِنِّيْ أَتَعَجَّبُ مِنْ  حُبِّكَ لِيْ وَأَنْتَ مَلِكٌ قَدِيْرٌ
Artinya:
“Aku tidak heran terhadap cintaku  pada-mu karena aku hanyalah hamba yang hina, tetapi aku heran terhadap  cinta-Mu padaku. Karena engkau adalah Raja Mahakuasa”
Tatkala berada dalam tahapan ittihad,  Abu Yazid berkata: 
قَالَ : يَا أَبَا يَزِيْدَ  إِنَّهُمْ كُلَّهُمْ خَلْقِيْ غَيْرَكَ فَقُلْتُ: فَأَنْتَ أَنَا وَأَنَا  أَنْتَ
Artinya:
“Tuhan berkata, ”Semua mereka  –kecuali engkau- adalah makhluk.” Aku pun berkata, “Engkau adalah aku  dan aku adalah Engkau.”
Selanjutnya Abu Yazid berkata lagi:
فَانْقَطَعَ المُنَاجَةُ  فَصَارَ الكَلِمَةُ وَاحِدَةً وَصَارَ الكُلُّ بِالكُلِّ وَاحِدًا. فَقَالَ  لِي: يَا أَنْتَ، فَقُلْتُ بِهِ: يَا أَنَا، فَقَالَ لِي: أَنْتَ  الفَرْدُ. قُلْتُ : أَنَا الفَرْدُ قَالَ لِي: أَنْتَ أَنْتَ: أَنَا أَنَا
Artinya:
“Konversasi pun terpututs, kata  menjadi stu, bahkan seluruhnya menjadi satu. Ia pun berkata, “Hai  engkau, “Aku pun- dengan perantaraan-Nya enjawab, “Hai Aku, “Ia berkata,  “Engkaulah yang satu. “engakau adalah Engkau.” Aku balik menjawab, “Aku  adalah Aku.”
إِنِّيْ أَنَا اللهُ لاَ إِلَهَ  إِلاَّ أَنَا فَاعْبُدْنِي
Artinya:
 “Tidak ada tuhan selain Aku, maka  sembahlah Aku.”
Suatu ketika seseorang melewati rumah  Abu Yazid dan mengetuk pintu, Abu Yazid bertanya, “Siapa yang engkau  cari?” Orang itu menjawab, “Abu Yazid”, Abu Yazid berkata. ”Pergilah, di  rumah ini tidak ada, kecuali Allah yang maha kuasa dan Mahatinggi.
Dialog antara Abu Yazid dengan Tuhan ini  menggambarkan bahwa ia dekat sekali dengan Tuhan. Godaan Tuhan untuk  mengalihkan perhatian Abu Yazid ke makhluk-Nya  ditolak  Abu  Yazid.  Ia  tetap  meminta  bersatu  dengan  Tuhan.  Ini  kelihatan dari  kata-katanya, “Hiasilah aku dengan  keesaan-Mu.”  Permintaan Abu    Yazid   dikabulkan  Tuhan  dan  terjadilah  persatuan, sebagaimana   terungkap  dari  kata-kata  berikut  ini,  “Abu Yazid,  semuanya   kecuali  engkau adalah makhluk-Ku.” Akupun berkata, aku adalah Engkau,  Engkau adalah aku dan aku adalah Engkau.”
[28]Ucapan-ucapan Abu Yazid diatas kalau  diperhatikan secara sepintas memberikan kesan bahwa ia syirik kepada  Allah. Karena itu didalam sejarah ada sufi yang ditangkap dan  dipenjarakan karena ucapannya membingungkan golongan awam.
[29]Sebenarnya apa yang dikatakan oleh Abu  Yazid. Menurut penulis bukan berarti bahwa Abu Yazid sebagai tuhan, akan  tetapi kata-kata itu adalah suara tuhan yang disalurkan melalui lidah  Abu Yazid yang sedang dalam keadaan fana`an nafs.
Abu Yazid tidak mengakui dirinya sebagai  tuhan seperti Fir`aun. Proses ittihad di sisis Abu yazid adalah naiknya  jiwa manusia ke hadirat Allah, bukan melalui reinkarnasi, sirnanya  segala sesuatu dari kesadaran dan pandangannya yang disadari dan dilihat  hanya hakikat yang satu yakni Allah. Bahkan dia tidak melihat dan  menyadari dirnya sendiri, karena dirinya terlebur dalam dia yang  dilihat.
BAB III
KESIMPULAN
 
Dari pemaparan makalah tersebut diatas, penulis dapat mengambil  kesimpulan sebagai berikut: 
- Abu Yazid mempunyai peluang yang besar  untuk menjadi sufi karena memang ia dibesarkan dari keluarga yang taat  beragama. Dimana Ibunya adalah zahidah ayahnya adalah pemuka masyarakat  dan dua orang saudaranya termasuk sufi. Walaupun tidak seterkenal  dirinya. Mulanya ia belajar agama di masjid tempat kelahirannya.  Kemudian ia melanjutkan perjalanan ke berbagai daerah dan akhir  kehidupannya berubah menjadi seorang sufi dengan ajaran tasawufnya  al-fana` albaqa` dan al-Ittihad.
- Sebelum Abu Yazid mencapai tingkat  ittihad, ia mengawali maqamnya dengan fana` dan baqa` yang merupakan dua  kembar yang tidak dapat dipisahkan dalam pencapaian al-Ittihad,  al-Fana` adalah lenyapnya sifat-sifat basyariah, akhlak yang tercela  kebodohan dan perbuatan maksiat dari diri manusia. Sedangkan al-Baqa`  adalah kekalnya sifat-sifat ketuhanan, Akhlak yang terpuji, ilmu  pengetahuan dan kebersihan dari dosa dan maksiat. Sedangkan al-itthad  adalah menyatunya jiwa manusia dengan tuhan, untuk mencapai  hal  tersebut harus dilakukan usaha-usaha yang maksimal seperti taubat, zikir  ibadah dan menghiasi diri dengan akhlak yang terpuji.
- Untuk   sampai   ke  ittihad,  sufi   harus  terlebih  dahulu mengalami al-fana’ ‘an al-nafs, dalam  arti lafdzi kehancuran jiwa. Yang dimaksud bukan hancurnya jiwa sufi  menjadi tiada, tapi kehancurannya akan menimbulkan kesadaran sufi   terhadap diri-Nya. Inilah yang disebut kaum sufi al-fana’ ‘an  al-nafs wa al-baqa, bi ‘l-Lah, dengan arti  kesadaran  tentang   diri sendiri  hancur  dan timbullah kesadaran diri Tuhan. Di sini  terjadilah ittihad, persatuan atau manunggal dengan Tuhan.
DAFTAR PUSTAKA
Oman fathurrahman, Tanbih al-Masyi; menyoal wahdatul wujud kasus  Abdurrauf singkel di Aceh Abad 17, (Cet. I, Mizan; Jakarta, 1999)
Harun Nasution, Islam ditinjau dari berbagai Aspek, Jilid II,  (Cet. I; Jakarta; UI Press, 2002)
Oman fathurrahman, Loc. Cit
DR. Rosihan Anwar, M.Ag dan DR. Mukhtar Solihin, M.Ag, Ilmu  Tasawuf, (Cet. II; Bandung, Pustaka Setia, 2004)
DR. Rosihan Anwar, M.Ag dan DR. Mukhtar Solihin, M.Ag, Op. Cit.  h. 130
Drs. H.M Ruddin Emang, Akhlaq Tasawuf, (Identitas,  Ujungpandang; 1994)
Dr. Muhammad Abd. Haq Ansari, Merajut Tradisi Syari`ah dengan  Sufisme, (Cet. I, PT.Rajagrafindo Persada; Jakarta; 1997)
Husin al-Habsyi, Kamus al-Kautsar (Arab – Indonesia),  (Darussagaf P.P. Alawy; Surabaya, 1997)
DR. Rosihan Anwar, M.Ag dan DR. Mukhtar Solihin, M.Ag, Loc. Cit.   h. 130
Oman fathurrahman, Tanbih al-Masyi; menyoal wahdatul wujud kasus  Abdurrauf singkel di Aceh Abad 17, (Cet. I, Mizan; Jakarta, 1999)  www.media.isnet.org/islam/index.html
Dr. Muhammad Abd. Haq Ansari, Loc. Cit
Husin al-Habsyi, Loc. Cit.
Dr. Muhammad Abd. Haq Ansari, Loc. Cit.
www.media.isnet.org/islam/index.html
Wardana, Abu Yazid Al-Bustami, (Makalah PPS Alauddin;  Makassar; 2001)
Dr. Muhammad Abd. Haq Ansari, Loc. Cit. h. 52
Dr. Muhammad Abd. Haq Ansari, Loc. Cit. h. 53
www.media.isnet.org/islam/index.html
DR. Rosihan Anwar, M.Ag dan DR. Mukhtar Solihin, M.Ag, Loc. Cit.   h. 132 – 133
Harun Nasution, TASAWUF t.th. h. 42 – 43
[1]  Oman fathurrahman, Tanbih al-Masyi; menyoal wahdatul wujud kasus  Abdurrauf singkel di Aceh Abad 17, (Cet. I, Mizan; Jakarta, 1999),  h. 20 [2]  Harun Nasution, 
Islam ditinjau dari berbagai Aspek, Jilid II,  (Cet. I; Jakarta; UI Press, 2002) h. 68
 [3]  Oman fathurrahman, 
Loc. Cit [4]  DR. Rosihan Anwar, M.Ag dan DR. Mukhtar Solihin, M.Ag, 
Ilmu Tasawuf,  (Cet. II; Bandung, Pustaka Setia, 2004) h. 8
 [5]  DR. Rosihan Anwar, M.Ag dan DR. Mukhtar Solihin, M.Ag, 
Op. Cit.  h. 130
 [6]  Drs. H.M Ruddin Emang, 
Akhlaq Tasawuf, (Identitas,  Ujungpandang; 1994) h. 51
 [8]  Dr. Muhammad Abd. Haq Ansari, 
Merajut Tradisi Syari`ah dengan  Sufisme, (Cet. I, PT.Rajagrafindo Persada; Jakarta; 1997 h. 47
 [9]  Husin al-Habsyi, 
Kamus al-Kautsar (Arab – Indonesia),  (Darussagaf P.P. Alawy; Surabaya, 1997), h. 362
 [10]  DR. Rosihan Anwar, M.Ag dan DR. Mukhtar Solihin, M.Ag, 
Loc. Cit.   h. 130
 [11]  Oman fathurrahman, 
Tanbih al-Masyi; menyoal wahdatul wujud kasus  Abdurrauf singkel di Aceh Abad 17, (Cet. I, Mizan; Jakarta, 1999),  h. 74-75
 [12]  www.media.isnet.org/islam/index.html
 [13]  Dr. Muhammad Abd. Haq Ansari, 
Loc. Cit. h. 47
 [14]  Husin al-Habsyi, 
Loc. Cit. h. 26
 [15]  Dr. Muhammad Abd. Haq Ansari, 
Loc. Cit. h. 48
 [17]  www.media.isnet.org/islam/index.html
 [18]  Husin al-Habsyi, 
Loc. Cit. h. 581
 [19]  Wardana, 
Abu Yazid Al-Bustami, (Makalah PPS Alauddin;  Makassar; 2001) h. 7
 [20]  DR. Rosihan Anwar, M.Ag dan DR. Mukhtar Solihin, M.Ag, 
Loc. Cit.   h. 133
 [23]  Dr. Muhammad Abd. Haq Ansari, 
Loc. Cit. h. 52
   [24] Dr. Muhammad Abd. Haq Ansari, Loc. Cit. h. 53
[25]  www.media.isnet.org/islam/index.html
 [26]  Syathahat adalah ucapan-ucapan yang dikeluarkan seorang sufi  ketika ia mulai berada di pintu gerbang ittihad.
 [27]  DR. Rosihan Anwar, M.Ag dan DR. Mukhtar Solihin, M.Ag, 
Loc. Cit.   h. 132 – 133
 [28]  www.media.isnet.org/islam/index.html