TAHAP PERKEMBANGAN MORAL DALAM KEGIATAN BELAJAR MENGAJAR
Kematangan moral menuntut penalaran yang matang, dimana suatu keputusan bahwa sesuatu itu baik barangkali dianggap tepat, tetapi keputusan itu baru disebut matang bila dibentuk oleh suatu proses penalaran yang matang. Oleh sebab itu tujuan dari pemahaman guru dan kepala sekolah tak terlepas dari kematangan moral, dan merupakan suatu keharusan yang harus dikembangkan, maka peran guru dan kepala sekolah banyak dituntut untuk memahami dan mengetahui proses perkembangan dan cara-cara membantu perkembangan moral tersebut.
Tahap-tahap perkembangan moral, berdasar hasil penelitian Kohlberg (1980b) dapat diungkap sebagai berikut:
1. Ada prinsip-prinsip moral dasar yang mengatasi nilai-nilai moral lainnya, dan prinsip-prinsip moral dasar itu merupakan akar dari nilai-nilai moral lainnya.
2. Manusia tetap merupakan subyek yang bebas dengan nilai-nilai yang berasal dari dirinya sendiri;
3. Dalam penalaran moral ada tahap-tahap perkembangan bagi setiap kebudayaan manusia;
4. Tahap-tahap perkembangan penalaran moral banyak ditentukan oleh faktor kognitif atau kematangan intelektual.
Tahapan perkembangan penalaran moral tersebut sebenarnya tak terlepas dari pemikiran John Dewey yang memandang perkembangan tersebut ke dalam tiga tingkatan, yaitu:
1. Tingkat Pra-Konvensional. Pada tingkat ini seseorang sangat tanggap terhadap aturan-aturan, penilaian baik buruk, tetapi dia menafsirkan baik dan buruk ini dalam rangka maksimalisasi kenikmatan atau akibat-akibat fisik dari tindakannya (hukuman fisik, penghargaan, tukar menukar kebaikan). Kecenderungan utamanya dalam interaksi dengan orang lain adalah menghindari hukuman atau mencapai maksimalisasi kenikmatan.
2. Tingkat Konvensional. Pada tingkat ini seseorang menyadari dirinya sebagai seorang individu di tengah-tengah keluarga, masyarakat dan bangsanya. Keluarga, masyarakat dan bangsa dinilai memiliki kebenarannya sendiri, karena jika menyimpang dari kelompok ini akan terisolasi. Maka dari itu, kecenderungan orang pada tahap ini adalah menyesuaikan diri dengan aturan-aturan masyarakat dan mengidentifikasikan dirinya terhadap kelompok sosialnya. Pada tingkat ini perasaan dominan adalah malu.
3. Tingkat Pasca-Konvensional. Pada tingkat ini orang bertindak sebagai subyek hukum dengan mengatasi hukum yang ada. Orang pada tahap ini sadar bahwa hukum merupakan kontrak sosial demi ketertiban dan kesejahteraan umum, maka jika hukum tidak sesuai dengan martabat manusia, hukum dapat dirumuskan kembali. Perasaan yang muncul pada tahap ini adalah rasa bersalah dan yang menjadi ukuran keputusan moral adalah hati nurani.
Dari tahapan dan tingkatan tersebut di atas motif yang diberikan bagi kepatuhan terhadap peraturan merupakan bentuk-bentuk karakter yang harus ditanamkan pada siswa dalam setiap kegiatan belajar mengajar terkait dengan bidang studi yang harus diterima oleh mereka. Jenis karakter yang dimaksud:
1.Bentuk karakter yang membuat seseorang menjadi berintegritas, jujur dan loyal;
2.Bentuk karakter yang membuat seseorang memiliki pemikiran terbuka serta tidak suka memanfaatkan orang lain;
3.Bentuk karakter yang membuat seseorang memiliki sikap peduli dan perhatian terhadap orang lain maupun kondisi sosial lingkungan sekitar.
4.Bentuk karakter yang membuat seseorang selalu menghargai dan menghormati orang lain;
5.Bentuk karakter yang membuat seseorang sadar hukum dan peraturan serta peduli terhadap lingkungan alam;
6.Bentuk karakter yang membuat seseorang bertanggung jawab, disiplin, dan selalu melakukan sesuatu dengan sebaik mungkin.
Menurut Ratna Megawangi (2008) menyebut sembilan pilar karakter nilai-nilai luhur universal yang perlu ditanamkan kepada anak sejak dini usia prasekolah, terutama: Pertama, karakter cinta Tuhan Allah dengan segala ciptaanNya; Kedua, kemandirian dan tanggung jawab; Ketiga, kejujuran/amanah, diplomatis; Keempat, hormat dan santun; Kelima, dermawan, suka menolong, gotong royong, kerjasama; Keenam, percaya diri dan pekerja keras; Ketujuh, kepemimpinan dan keadilan; Kedelapan, baik dan rendah hati; Kesembilan, karakter toleransi, kedamaian dan kesatuan.,
Secara definitif karakter adalah kualitas psikologis yang dimiliki oleh seseorang atau secara kolektif oleh sekelompok masyarakat. Istilah ini sering digunakan secara bergantian dengan nilai-nilai, yaitu dapat dipercaya/amanah, hormat dan tanggung jawab, kejujuran dan kasih sayang.
Sedang pendidikan karakter mencakup sistem tata nilai yang meliputi semua komponen pelaku pendidikan, termasuk guru dan masyarakat, dan tata nilai yang berkembang pada suatu masyarakat. Juga melibatkan kebijakan dan aturan pemerintah sebagai pengatur pendidikan . Hubungan antar komponen dalam sistem pendidikan nasional yang terlibat dalam pendidikan karakter. Komponen input dan proses dipengaruhi oleh faktor eksternal yang berupa kondisi dan faktor internal berupa kondisi sosial masyarakat. Dengan demikian komponen output berupa kompetensi lulusan sesungguhnya juga btidak lebih dari kondisi dan kapasitas yang tersedia dalam komponen input terutama proses.
D. PENUTUP
Sebagai penutup dari paparan di atas maka dapat disimpulkan Pemahaman karakter Moral Siswa dalam Kegiastan Belajar Mengajar sebagai berikut (1) Guru dan para pendidik perlu memusatkan perhatiannya pada upaya memperbaiki kualitas pembelajaran. Upaya memperbaiki kualitas pembelajaran moral ditempatkan pada perbaikan strategi pembelajaran, variabel metode pembelajaran.mencakup strategi pengorganisasian pembelajaran, strategi penyampaian pembelajaran, dan strategi pengelolaan pembelajaran; (2) Variabel yang berpengaruh terhadap penggunaan metode pembelajaran adalah variabel kondisi pembelajaran, dan variabel ini dikelompokkan menjadi tujuan dan karakteristik bidang studi, kendaladan karakteristik bidang studi, dan karakteristik siswa; (3) Karakteristik siswa adalah aspek-aspek atau kualitas perseorangan siswa, diantaranya adalah kemampuan awal atau hasil belajar yang telah dimilikinya; (4).Kemampuan awal sebagai pijakan dalam mengembangkan stratregi pembelajaran moral berkaitan dengan tahap mana penalaran moral siswa berada, pada tahap mana kepercayaan eksistensial siswa berada, bagaimana empati, dan peran sosial mereka.(5) Bentuk-bentuk budaya siswa berupa prestasi psikologis,di antaranya adalah penalaran moral, kepercayaan eksistensial, empati dan peran sosial.
:
E. REFERENSI
Asri Budiningsih. (2004). Pembelajaran Moral. Penerbit. PT.Rineka Cipta. Jakarta
Asri Budiningsih C.(2001) Penalaran Moral Remaja dan Beberapa Faktor Budaya yang berhubungan Dengannya (Disertasi tidak dipublikasikan). Malang: PPs.UM.
Cremers,A.(1995). Teori Perkembangan Kepercayaan, Karya-Karya Penting James W.Fowler.Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Cremers,A.(1995). Tahap-Tahap Perkembangan Moral.Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Departemen Pendidikan Nasional. (2010). Draft Rencana Strategis Pembangunan Pendidikan Nasional 2010-2014. Jakarta: Depdiknas.
Kohlberg,L.(1980). Stages of Moral Development as a Basis of Moral Education. Dalam Mursey,B (ed). Moral Development, Moral Education, and Kohlberg. Birmingham , Alabama : Religious Education Press.
Linda & Eyre,R (1993). Teaching Your Children Values. Eyre,R.M. & Assoc.Inc.
Manulang, Marihot. (2010). Mendiknas dan Problematika Pendidikan Kita. Tersedia online: http://hariansib.com/?p=96786 12 April 2010.
Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar