Faham Asy’ariyah senantiasa menapaki pasang surut pemikiran sesuai dengan konteks yang melingkupi perkembangannya. Setiap kurun waktu dan generasi pasti ada usaha-usaha aktualisasi dan kontekstualisasi yang bisa diterima oleh mayoritas (sawad al-a’zham). Misalnya, Abu Bakar al-Bqillani (w. 403 H) sebagai generasi lapis pertama al-Asy’ari, pandangannya lebih condong kepada Qadariyyah. Berbeda dengan al-Asy’ari yang jabariyyah. Sementara itu, Ibn Hazm al-Andalusi (w.456 H) tidak lagi menolak ta’wil (interpretasi alegoris) Al-Qur’an. Padahal para Hanabilah enggan menerima ta’wil iti. Begitu pula dengan Imam al-Haramain (w.478 H) dan Imam al-Ghazali (w.505 H) serta para tokoh Asy’ariyah yang lain, semuanya mempunyai pemikiran yang cemerlang untuk mengkontekstualisasikan Asy’ariyah dengan masanya.[1]
Jalan tengah dan ke-moderat-an Asy’ariyah tersebut bukanlah suatu harga mati (baca : jumud). Ibarat tengah sebuah kelereng, semakin hari semakin membesar dan melebar sesuai dengan perkembangan lingkarannya. Begitu pula ke-tawasuth-an al-Asy’ari dan al-Maturidi tidaklah bisa dikatakan tawassuth pada masa para Asy’ariyah semacam al-Baqillani, al-Juwaini, al-Ghazali, al-Razi dan seterusnya. Para pengikut al-Asy’ari tersebut selalu mencari jalan tengah yang bisa diterima oleh jumhur (sawad al-A’dzam). Sikap mereka pun sering berbeda dengan al-Asy’ari ataupun al-Maturidi.[2]
Kemudian Asy’ariyah dikukuhkan dan diteorisasi oleh al-Ghazali (w.595 H) dengan bacaan filsafat Aristoteles dan tradisi gnosis (’irfan) dari neo-Platonisme, yang kemudian diwarisi oleh umat Islam hingga sekarang. Dan di tangan al-Ghazali pula muncul penyatuan antara ”nizham ad-dunya” (tananan politik duniawi) dan nizham ad-din (tananan agama), dan juga ideologi penyatuan agama dan negara. Akhirnya, di tangan al-Ghazali lah Asy’ariyah menjadi Sunnisme yang dimapankan sebagai satu kesauan integral yang tak terpisahkan antara agama, dunia, dan negara.[3]
Berlainan dengan guru-guru al-Juwaini dan dengan al-Baqillani, paham teologi yang diajukannya boleh dikatakan tidak berbeda dengan paham-paham al-Asy’ari. Al-Ghazali, seperti al-Asy’ari tetap mengakui bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat qadim yang tidak identik dengan zat Tuhan dan mempunyai wujud di luar zat. Juga al-Qur’an, dalam pendapatnya bersifat qadim dan tidak diciptakan. Mengenai perbuatan manusia, ia juga berendapat bahwa Tuhanlah yang menciptakan daya dan perbuatan. Dan daya untuk berbuat yang terdapat dalam diri manusia lebih dekat menyerupai impotensi. Selanjutnya al-Ghazali mempunyai paham yang sama dengan al-Asy’ari tentang ru’yat yaitu bahwa Tuhan dapat dilihat karena tiap-tiap yang mempunyai wujud dapat dilihat. Demikian pula penolakan terhadap paham keadilan yang ditimbulkan kaum Mu’tazilah. Tuhan tidak berkewajiban menjaga kemaslahatan (al-salah wa al-aslah) manusia, tidak wajib memberi pahala atau ganjaran pada manusia atas perbuatan-perbuatannya, bahkan Tuhan boleh memberi beban yang tak dapat dipikul kepada manusia. Tuhan berkuasa mutlak dan tidak akan bertentangan dengan sifat-sifat ke Tuhanan-Nya, jika atas kehendak-Nya, Ia menghancurkan makhluk-Nya atau memberi ampunan kepada semua orang kafir dan menghukum semua orang mukmun. Atas pengaruh al-Ghazali, ajaran al-Asy’ari yang serupa inilah yang meluas di kalangan Islam Ahli Sunnah Wal Jamaah.[4]
Inilah sejarah ”Ahlussunnah Wal-Jamaah khalafiyah” yang mengalami sekian fase historis yang membuatnya terbentuk tidak secara monolitik, namun bergelombang dan saling berbenturan satu sama lain, sampai akhirnya menemukan konsolidasi, equilirium dan establisment-nya dalam negara. Kalau dulu, yakni dimasa awal Imperim Abbasiyah, Mu’tazilah mengukukuhkan satu sistem nilai untuk menguasai negara melalui kekuatan akal sebagai sebuah order, maka di tangan la-Ghazali tatanan nilai tersebut dibentuk melalui proses integrasi antara agama, dunia, dan negara, dengan menempatkan agama, dan bukan akal, dalam kerangka ”Ahlussunnah Wal-Jamaah ” sebagai sumber order.[5]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar