Reformasi melahirkan UUSPN No. 20 Tahun 2003, PP No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan dan PP No. 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan Dan Penyelenggaraan Pendidikan. Lahirnya kebijakan hukum ini berdampak signifikan bagi keberadaan serta perkembangan madrasah. Tetapi pada tataran implementatifnya banyak terjadi diskriminatif terhadap keberadaan madrasah.
Terpinggirnya madrasah dari persaingan sesungguhnya juga dikarenakan dua faktor, yaitu faktor internal: pertama, meliputi manajemen madrasah yang pada umumnya belum mampu menyelenggarakan pembelajaran dan pengelolaan pendidikan yang efektif dan berkualitas. Kedua, faktor kompensasi profesional guru yang masih sangat rendah. Ketiga, adalah faktor kepemimpinan, artinya tidak sedikit kepala-kepala madrasah yang tidak memiliki visi, dan misi. Sedangkan faktor eksternal yang dihadapi madrasah adalah pertama, adanya perlakuan diskriminatif pemerintah terhadap madrasah. Faktor kedua, dapat dikatakan bahwa paradigma birokrasi tentang madrasah selama ini lebih didominasi oleh pendekatan sektoral dan bukan pendekatan fungsional. madrasah tidak dianggap bagian dari sektor pendidikan, lantaran urusannya tidak di bawah Kemendiknas. Faktor ketiga, adalah adanya diskriminasi masyarakat terhadap madrasah. Ada sebagian masyarakat selama ini memandang madrasah adalah pendidikan nomor dua dan merupakan alternatif terakhir setelah lembaga pendidikan di lingkungan Diknas.
Kebijakan otonomi daerah yang cenderung diskriminatif terhadap madrasah disebabkan oleh beberapa faktor; Pertama, karena aturan perundang-undangan otonomi daerah yang dipahami secara sempit oleh pemerintahan daerah Kabupaten/Kota. Kedua, kurangnya koordinasi antar lembaga-lembaga pemerintah daerah atau antar satuan kerja pemerintah daerah (SKPD) baik koordinasi internal maupun eksternal dengan kementerian Agama yang membawahi pendidikan madrasah. Ketiga, faktor dominasi politik praktis yang seringkali mempengaruhi kebijakan daerah.
Terlepas dari pro dan kontra pengelolaan Madrasah, sebenarnya
Pengakuan kesejajaran madrasah dengan sekolah umam pada UUSPN No. 20 Tahun 2003 menempatkan madrasah sebagai bagian subsistem pendidikan nasional mempunyai berbagai konsekuensi, antara lain pola pembinaannya harus mengikuti pola pembinaan yang mengacu kepada sekolah-sekolah pemerintah, madrasah mengikuti kurikulum nasional, ikut serta dalam UAN dan berbagai peraturan yang diatur oleh Kementerian Pendidikan Nasional. Pengakuan terhadap kesejajaran madrasah kemudian diperkuat pada PP No. 17 tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan pendidika pasal 78 yang menegaskan madrasah pada posisi sebagai sekolah umum yang memiliki kesetaraan dalam segala hal dengan lembaga pendidikan lainnya.
Terdapat perbedaannya, jika dalam UU No. 2 Tahun 1989, kurikulum yang wajib diajarkan pada setiap jenis, jalur dan jenjang pendidikan adalah Pendidikan Pancasila, Pendidikan Agama dan Pendidikan Kewarganegaraan, maka dalam UU No. 20 Tahun 2003, kurikulum yang wajib diajarkan pada setiap jenis, jalur dan jenjang pendidikan adalah Pendidikan Agama, Pendidikan Kewarganegaraan, dan Bahasa. Dengan demikian, pendidikan agama yang semula berada di grade kedua, meningkat di grade pertama.
Pendidikan agama, seharusnya dijadikan sebagai core (inti) atau sebagai sumber nilai dan pedoman bagi peserta didik untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat, dan membantu peserta didik agar mampu mewujudkan nilai dasar agama dalam menerapkan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni
Pendidikan agama dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur dan berakhlak mulia. Sejalan dengan maksud tersebut, Kondisi batiniah dan mentalitas keagamaan tersebut merupakan basis bagi pembentukan watak dan kepribadian anak didik. Dengan demikian, pendidikan agama memegang peran yang sangat berarti di dalam pencapaian tujuan pendidikan nasional
Tidak ada komentar:
Posting Komentar