Selasa, 06 September 2011

DINASTI BANI UMAYYAH

By: Afrida A
A. PENDAHULUAN
 Pada awal abad ke-7 di Mekkah islam terus mengalami perkembangan yang pesat dan melewati berbagai tantangan yang sangat berat sampai akhirnya tersebar ke seluruh dunia.
Penyebaran islam dilakukan pada setiap generasi muslim yang sangat luar biasa dan cukup menggeliat. Perjuangan da’wah Islamiyah yang dilakukan oleh Rasulullah pada masa-masa setelahnya terus menjadi inspirasi bagi penerus-penerus perjuangannya. Pada masa Abu bakar Islam telah mencapai seluruh Arabia.pada masa pemerintahan Umar Islam telah meluas kewilayah-wilayah Byzantium, Palestina, Mesir dan wilayah Sasaniyah Persia dan Irak. Pada masa Utsman dan Ali, upaya perluasan islam terhenti akibat konflik internal umat islam yang tidak dapat dihindarkan, akan tetapi pada masa Utsman Islam berkembang sampai pulau Siprus hingga kebagian barat India. Kemajuan dan perkembangan Islam tersebut tentu saja merupakan prestasi pengembangan Islam yang dilakukan para Khalifah sebagai pelanjut Rasulullah. Perjuangan keempat Khulafa Ar-Rasyidun tersebut telah menjadi garda depan dalam proses perluasan dan pengembangan Islam,selain itu masa kekuasaan Khalifah-khalifah tersebut memberikan mutiara kemajuan untuk islam begitu juga dengan masa-masa kekuasaan Bani Umayyah. Namun ironisnya kekuasaan Islam pada masa Bani Umayyah disinyalir diperoleh dengan cara-cara licik dengan proses diplomasi yang penuh tipu muslihat.
Dalam makalah ini penulis akan secara khusus menggambarkan tentang kondisi kekuasaan Bani Umayyah dan gerakan-gerakan oposisi Bani Umayyah yang menyertai kekuasaannya dalam penyebaran agama Islam

B.                 BERDIRINYA DINASTI BANI UMAYYAH
1. Asal-usul Bani Umayyah
Bani Umayyah adalah salah satu dari keluarga  suku Quraisy, keturunan Umayyah Bin Abdul Syam Bin Abdul Manaf, seorang pemimpin suku Quraisy yang terpandang. Umayyah bersaing dengan pamannya, Hasyim bin Abdul Manaf dalam memperebutkan kehormatan dan kepemimpinan masyarakat Quraisy. Umayyah dinilai memiliki cukup persyaratan untuk menjadi pemimpin dan dihormati oleh masyarakatnya. Persaingan tidak hanya terjadi antara bani Umayyah tetapi juga dikalangan Bani Umayyah dan Bani Hasyim.Sebagian besar anggota keluarga Bani Umayyah menentang Rasulullah.
Setelah Nabi pindah dari Mekkah ke Madinah dan berhasil mendapatkan pengikut, sikap permusuhan Umayyah belum berakhir, peperanganpun sering terjadi namun mereka tidak berhasil mengalahkan Nabi SAW, dan permusuhan itu berakhir pada saat Nabi memasuki kota Mekkah, karena Bani Umayyah merasa tidak mampu melawan Nabi akhirnya ia menyatakan bersedia masuk Islam.
Pada masa pemerintahan Utsman bin Affan, Bani Umayyah mendapatkan banyak keuntungan, sebagai anggota kekerabatanya dengan memberikan hadiah dan jabatan kepada mereka. Bani Umayyah memperoleh peluang besar untuk menduduki jabatan maupun kekuasaan yang diberikan oleh Utsman. Naiknya Bani Umayyah ke puncak, dimulai oleh Mu’awiyah ibnu Abi Sufyan, salah satu keturunan dari Bani Umayyah dan salah seorang sahabat Nabi dan ia menjadi bagian penting dalam setiap masa pemerintahan Khulafa A-rasyidun. Ia memanfaatkan masa tersebut untuk mempersiapkan diri dan meletakkan dasar pendirian sebuah dinasti.
Harapan untuk memperoleh kekuasaan yang lebih besar terbuka bagi Bani Umayyah, setelah Utsman bin Affan dibunuh pada tahun 35 H/656M oleh para pemberontak yang menentang kebijakkan nepotisme dan penyalahgunaan harta baitulmal untuk keperluan pribadi dan keluarga. Mengawali usaha untuk meraih kekuasaan, Mu’awiyah Bin Abu Sofyan selaku pemimpin Bani Umayyah menuntut kematian Ustman bin Affan.
Sejak Ustman terbunuh Ali dibaiat sebagai kholifah pengganti Ustman. Ali pada waktu itu memerintahkan Muawiyah untuk menyerahkan jabatan, Mu’awiyah menolak malah menuduh Ali terlibat dalam pembunuhan Ustman atau melindungi pemberontak yang membunuh Ustman. Ia menuntut agar Ali menyerahkan pemberontak tersebut untuk dihukum sikap Mu’awiyah yang menentang Ali dipandang sebagai pemberontakan terhadap pemerintah yang sah dan harus diperangi sampai taat kembali. Ahirnya terjadilah perpecahan dan perang sipil sebagai bentuk perlawanan terhadap posisi Ali.

2.Peristiwa Tahkim
Perang Siffin yang hebat dan telah menewaskan ribuan kaum muslimin membuat kaum Mua’awiyah melemah dan hampir dikalahkan.Politisi ulung Amr bin Ash yang berada dipihak Mu’awiyah mengusulkan agar Mu’awiyah memberikan damai (tahkim) terhadap Ali bin Abi Thalib.Mu’awiyah menyetujuinya, demikian pula Ali bin Abi Thalib walaupun banyak pengikut beliau yang tidak menyetujuinya. Kedua pemimpin bersepakat untuk berdamai dan menyerahkan kedudukan jabatan Khalifah kepada putusan rakyat melalui sidang yang akan dilakukan secara terbuka dan dari masing-masing kubu diwakili oleh seorang utusan.kubu Ali bin Abi Thalib diwakili oleh Abu Musa sedangkan kubu Mu’awiyah diwakili oleh Amr bin Ash.
Dalam pelaksanaan tahkim tersebut, memutuskan bahwasanya pihak Ali bin abi Thalib telah menyerahkan jabatan sebagai Khalifah kepada Mu’awiyah bin abu sufyan.Peristiwa yang merugikan pihak Ali bin Abi thalib ini menimbulkan perpecahan baru dikalangan kaum muslimin. Kaum muslimin akhrnya terpecah menjadi 3 golongan yakni : pendukung Ali bi abi thalib, pendukung Mu’awiyah dan kaum Khawarij (kaum yang menyatakan keluar dan menarik dukungannya dari ali bin Abi Thalib maupun Mu’awiyah).
Kaum Khawarij yang kecewa dengan peristiwa tahkim berencana untuk membunuh Ali bin Abi Thalib, Mu’awiyah bin Abu Sofyan dan Amr bin As. Menurut mereka ketiga orang inilah biang keladi perpecahan dan bertanggung jawab atas peristiwa tahkim tersebut. Ternyata rencana tersebut tidak sepenuhnya berhasil, Ibnu Muljam hanya berhasil membunuh Ali bin Abi Thalib ketika Ali menuju ke masjid di Kuffah, sedangkan Mu’awiyah dan Amr bin As selamat dari rencana tersebut.
Dengan terbunuhnya Khalifah Ali bin Abi Thalib, kekhalifahan berpindah ketangan Hasan bin Ali. Dilain pihak kedudukan Mu’awiyah di Syam semakin kuat bahkan dia menjadi perndirinya penguasa tunggal, Muawiyah berusaha memperoleh pengaruh lebih puas. Mesir yang sebelumnya berada di kekuasaan Gubenur yang diangkat Ali direbut wilayahnya dengan muslihat yang halus. Selain itu banyak orang yang memusuhinya berbalik mendukungnya. Sehingga kekuasaan Mu’awiyah semakin tidak tergoyahkan. Menyadari dari kenyataan ini Hasan bin Ali tidak tega dan tidak rela menyaksikan umat Islam menjadi pecah dikarnakan perebutan keKhalifahan dan beliau juga tidak rela jika almarhum ayahnya terus dicaci maki oleh Mu’awiyah dan pendukungnya. Oleh sebab itulah Hasan mengambil sikap untuk mengundurkan diri dari keKhalifahanya dan berdamai dengan Mu’awiyah dan menyerahkan kekhalifahan kepadanya dengan syarat yang harus dipatuhi oleh Mu’awiyah antara lain:
ü      Agar Mu’awiyah tidak menaruh dendam terhadap siapapun dari penduduk Irak
ü      Menjamin keamanan dan memaafkan kesalahan mereka
ü      Agar pajak-pajak tanah negri ahwaz diperuntukkan kepadanya dan diberikan setiap tahun
ü      Agar Mu’awiyah membayar kepada saudaranya yaitu husen sebesar 2 juta dirham
ü      Pemberian kepada Bani Hasyim haruslah lebih banyak dari pemberian kepada Bani Abdi Syam

Pada tahun 41 H / 661 M terjadilah penyerahan dari Hasan bin Ali kepada Mu’awiyah. Tindakan tersebut sebenarnya banyak ditentang oleh pendukung keluarga Ali bin Ali Thalib. Secara bijaksana Hasan bin Ali menjelaskan alasan tindakannya tersebut, beliau mengatakan “aku tidak rela menyaksikan kalian saling bunuh karena perebutan kekuasaan. Inti kekuatan bangsa Arab sekarang ditanganku. Mereka akan berdamai jika aku berdamai dan mereka bersedia perang jika aku perang. Akan tetapi aku tidak menginginkan peperangan karena aku cinta perdamaian”. Peristiwa ini dikenal dengan Aumul Jama’ah (tahun persatuan). Sejak itu umat Islam berada dibawah satu kepemimpinan yakni Mu’awiyah bin Abu Sofyan yang secara de facto telah menjadi Khalifah. Sejak saat itu mulai satu fase baru dalam sejarah pemerintahan Islam dimana pereode Khulafa’ ar-Rasyidun berganti dengan periode Dinasti Umayyah. Mu’awiyah menata kekuasaannya di Damaskus dengan system yang berbeda dengan keKhalifahan sbelumnya. Dijaman Rosulullah SAW dan Khulafa’ ar-Rasyidun seorang pemimpin mengelola kekuasaannya secara demokratis, egaliter, dan berdasarkan atas musyawarah mufakat sedangkan Mu’awiyah dalam memimpin lebih banyak mengadopsi system kerajaan Persia dan Romawi, cenderung otoriter dan segala keputusan ada pada pemimpin (Khalifah) menjelang akhir hayatnya, Mu’awiyah menunjuk Yazid putranya untuk menjadi penggantinya. Dan ia meminta seluruh rakyat untuk mengikuti dan menaatinya. Demikian pula pada tahap selanjutnya setiap pengganti kekuasaan secara turun menurun.
Jaman kepemimpinan Bani Umayyah telah mengubah bentuk pemerintahan yang telah dijalankan oleh Rosulullah SAW dan para sahabat yang demokratis menjadi system pemerintahan Monarchy Absolute. Yakni system Dinasti atau kerajaan yang mewariskan kekuasaan secara turun menurun kepada anak cucunya

C. GERAKAN OPOSISI
Masa kekuasaan Mu’awiyah tergolong cemerlang. Ia berhasil menciptakan keamanan dalam negeri dengan membasmi para pemberontak. Ia juga berhasil mengantarkan Negara dan rakyatnya kepada kemakmuran dan kekayaan yang melimpah. Perluasan wilayah pada masanya juga sukses hingga mencapai Afrika Utara, Khurasan, dan Turkistan.
Mu’awiyah digantikan oleh putranya sendiri yaitu Yazid bin Mu’awiyah. Pergantian kholifah dari ayah kepada anak merupakan tradisi baru yang belum dipraktekan oleh Khalifah sebelumnya. Oleh sebab itu sebelum Mu’awiyah mengumumkan pengangkatan Yazid, sejumlah putra sahabat seperti Husen bin Ali, Abdullah bin Zubair, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Umar, Abdur Rahman bin Abu Bakar menjadi gusar. Mereka menolak kehendak Mu’awiyah tersebut. Akhirnya Mu’awiyah mengambil tindakan tegas dan ia datang ke Madinah untuk menemui mereka tetapi mereka telah meninggalkan Madinah menuju Mekkah. Oleh karena Mu’awiyah datang ke Mekkah dan memberikan ancaman pedang kepada mereka untuk diam ketika Mu’awiyah menyampaikan pidato di Masjidilharam. Dalam pidatonya Mu’awiyah menyatakan bahwa para putra sahabat Nabi SAW yang dihadapan mereka adalam pemimpin kaus muslimin yang terbaik. Mereka rela menerima Yazid 1 sebagai penggantinya kelak. Mendengar ucapan Mu’awiyah penduduk Mekkah percaya dan mereka membaiat Yazid 1 sebagai Khalifah pengganti Mu’awiyah.
Perpecahan menjadi beberapa kelompok yang terjadi dalam setiap masa kekuasaan pada masa Khalifah, merupakan sesuatu yang lumrah. Setiap kelompok sudah pasti memiliki militansi yang kuat terhadap kelompok mereka masing-masing. Dalam konteks kekuasaan, setiap kelompok yang berkuasa, sudah pasti akan berhadapan dengan kelompok lain sebagai pihak oposisi.
Perubahan konsep suksesi kepemimpinan yang dilakukan oleh Mu’awiyah telah melahirkan penolakan yang kuat dari kubu-kubu yang tidak searah dengan Mu’awiyah. Deklarasi pergantian kekuasaan kepada Yazid oleh Mu’awiyah, selain telah menyalahi kebiasaan kekuasaan para penguasa Arab, tetapi telah melahirkan kekecewaan dari musuh-musuh politik Mu’awiyah, sehingga menyebabkan munculnya gerakan-gerakan oposisi dari kalangan rakyat dan seringkali melahirkan konflik perang antar saudara.
Pada saat Yazid naik tahta menggantikan Mu’awiyah, beberapa tokoh terkemuka di Madinah tidak mau menyatakan kesetiaanya kepada pengganti Mu’awiyah tersebut. Namun demikian, Yazid tidak tinggal diam untuk menundukkan masyarakat Madinah Yazid memerintahkan untuk memaksa penduduk mengambil sumpah setia untuk patuh kepada pemerintahan Yazid. Semua orang menjadi tunduk, kecuali satu tokoh Madinah yang tetap istiqamah menolak Yazid, yaitu Abdullah ibnu Zubair. Bersamaan dengan itu, kaum Syi’ah (kubbu Ali) melakukan konsolidasi kembali untuk melakukan perlawanan terhadap kekuatan Bani Umayyah.
Demikianlah, oposisi telah menjadi tumbuh subur dalam melawan kekuasaan Bani Umayyah. Mereka berkonsentrasi membangun kekuatan perlawanan di beberapa daerah oleh beberapa tokoh. Setelah Mu’awiyah wafat pada tahun 680 M, pembaiatan Yazid 1 diulang lagi karena masih ada yang menolak untuk membaiatnya. Yazid 1 tidak ragu mengambil tindakan tegas dan keras. Hal ini ditandai dengan adanya 3 peristiwa yang terjadi pada masa pemerintahan Yazid 1 diantaranya :
Peristiwa pertama adalah terbunuhnya Husen bin Ali di Karbala pada tahun 61 H/680M. Husen bin Ali termasuk orang yang tidak bersedia membaiat Yazid 1. Ia beserta keluarganya secara diam-diam pindah dari Madinah ke Mekkah. Di Mekkah ia menerima surat dari penduduk Kuffah yang meminta Husen datang ke Kuffah untuk menerima baiat dari mereka. Sebelum berangkat, Husen mengirim sepupunya, Muslim bin Uqail bin Talib untuk menyelidiki keadaan di Kuffah. Kehadiran Uqail diketahui oleh Ubaidullah bin Ziyad, Gubenur Kuffah yang baru diangkat Yazid 1 untuk mengatasi oarang yang membangkang terhadap Khafilah. Uqail ditangkap dan dibunuh.
Terbunuhnya Uqail tidak diketahui oleh Husen, sehingga tanpa curiga ia meninggalkan Mekkah dengan keluarga dan 80 pengikutnya ke Kuffah. Dalam perjalanan ia dihadang pasukan Ubaidullah bin Ziyad. Di Karbala terjadilah pertempuran yang tidak seimbang. Pasukan Husen yang kecil berhadapan dengan pasukan Bani Umayyah yang besar bersenjata lengkap dibawah pimpinan Umar bin Saad bin Abi Waqqas. Pada pertempuran tersebut Husen bin Ali terbunuh kepalanya dipenggal dan dikirim ke Damaskus sementara tubuhnya dikubur di Karbala.
Peristiwa kedua adalah peristiwa Harran (gurun di utara Madinah) pada bulan Dzulhijjah tahun 63 H/682 M ini terjadi karena pembangkangan penduduk Madinah terhadap Bani Umayyah. Mereka tidak mengakui ke Khalifahan Yazid 1, memenjarakan warga Bani Umayyah di Madinah, lalu mengusir mereka keluar dari Madinah. Yazid 1 meminta mereka untuk taat kembali, tetapi mereka menolak. Akibatnya, Yazid 1 mengirimkan balatentara yang dipimpin oleh Muslim bin Uqbah al-Murri, yang berusia lanjut tetapi terkenal berani dan keras. Yazid 1 berpesan kepada Muslim agar memberi kesempatan kepada penduduk Madinah untuk membaiatnya dalam waktu tiga hari. Apabila mereka tidak juga membaiatnya sampai batas waktu yang ditentukan, Muslim boleh menyerbu meraka. Ternyata penduduk Madinah tidak membaiatnya, sehingga Muslim dan pasukannya menyerbu mereka dari arah Gurun Harran. Dengan tentara yang berjumlah besar dan bersenjata lengkap, ia dengan mudah mengalahkan penduduk Madinah. Setelah itu, ia memerintahkan pasukanya untuk membbuat segala sesuatu yang mereka inginkan selama tiga hari untuk menjukkan sikap tegas Yazid 1.
Peristiwa ketiga adalah pelemparan Ka’bah dengan Manjaniq (alat pelempar batu besar) pada tahun 683. peristiwa ini terjadi karena pemberontakan Abdullah bin Zubair di Mekkah. Ketika mendengar tindakan Abdullah, Yazid 1 memerintahkan Muslim bin Uqbah berangkat ke Mekkah untuk menumpasnya. Ketika Muslim meninggla dunia dalam perjalanan, tugas memimpin pasukan diserahkan kepada Husain bin Numair, yang juga bersikap keras dan tegas seperti Muslim. Di atas bukit, Husain memasang sejumlah Manjaniq dengan peluru batu yang diarahkan ke Mekkah. Kota Mekkah dikepung selama tiga bulan. Dalam pertempuran antara pasukan Bani Umayyah dan pengikut Ibnu Zubair, Ka’bah mengalami kebakaran. Pengepungan baru dihentikan setelah datang berita kematian Yazid bin Mu’awiyah pada tahun yang sama (683).
Setelah Yazid 1 wafat, putranya, Mu’awiyah II, diangkat sebagai Khalifah. Tetapi tidak lama ia melepaskan jabatannya. Pengunduran diri Mu’awiyah II menandai berakhirnya masa kekuasaan Bani Umayyah dari garis keluarga Harb bin Umayyah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar