Senin, 15 Agustus 2011

Latar Belakang Timbulnya perbedaan Qira’at


 By. Moh. Badrus Sholeh
Qira’at sebenarnya telah muncul semenjak Nabi SAW masih ada walaupun tentu saja pada saat itu qira’at bukan merupakan sebuah disiplin ilmu. Ada beberapa riwayat yang dapat mendukung asumsi diatas :
Pertama : Suatu ketika ’Umar bin Al-Khaththab berbeda pendapat dengan Hisyam bin Hakim ketika membaca ayat al-Qur’an. ’Umar tidak puas terhaap bacaan Hisyam sewaktu ia membaca surat Al-Furqan. Menurut ’Umar, bacaan Hisyam tidak benar dan bertentangan dengan apa yang diajarkan Nabi kepadanya. Namun, Hisyam menegaskan pula bahwa bacaannya juga berasal dari Nabi. Seusai shalat, Hisyam diajak menghadap Nabi seraya melaporkan peristiwa diatas. Nabi menyuruh Hisyam mengulangi bacaannya ssewaktu shalat tadi. Setelah Hisyam melakukannya, Nabi bersabda :”Memang begitulah Al-Qur’an diturunkan, Sesungguhnya al-Qur’an ini diturunkan dalam tujuh huruf, maka bacalah oleh kalian apa yang kalian anggap mudah dari tujuh huruf itu”.[1]
Kedua : Di dalam riwayatnya, Ubai pernah bercerita : ”Saya masuk kemasjid untuk mengerjakan shalat, kemudian datanglah seseorang dan membaca surat an-Nahl, tetapi bacaannya berbeda dengan bacaan saya. Setelah selesai, saya bertanya, ”Siapakah yang membacakan ayat itu kepadamu?”Ia menjawab, ”Rasulullah SAW”. Kemudian, datanglah seseorang yang mengerjakan shalat dengan membaca permulaan surat an-Nahl [16], tetapi bacaannya berbeda dengan bacaan saya dan bacaan teman tadi. Setelah shalatnya selesai, saya bertanya,” Siapakah yang membacakan ayat itu kepadamu ? ”Ia menjawab, ”Rasulullah SAW”. Kedua orang itu lalu saya ajak menghadap Nabi. Setelah saya sampaikan masalah ini kepada Nabi, beliau meminta salah satu dari kedua orang itu membacakannya lagi surat itu. Setelah bacaannya selesai, Nabi bersabda, Baik. Kemudian, Nabi meminta kepada yang lain agar melakukan hal yang sama. Dan Nabi pun menjawabnay baik”.[2]
            Selanjutnya periodesasi qurra’ adalah sejak zaman sahabat sampai dengan masa tabi’in. Orang-orang yang menguasai Al-Qur’an ialah yang menerimanya dari orang-orang yang dipercaya dan dari imam ke imam yang akhirnya berasal dari Nabi. Sedangkan mushaf-mushaf tersebut tidaklah bertitik dan berbaris, dan bentuk kalimat didalamnya mempunyai beberapa kemungkinan berbagai bacaan. Kalau tidak, maka kalimat itu harus ditulis pada mushaf dengan satu wajah yang lain dan begitulah seterusnya. Tidaklah diragukan lagi bahwa penguasaan tentang riwayat dan penerimaan merupakan pedoman dasar dalam bab qira’ah dan al-Qur’an.[3]      Kalangan sahabat sendiri dalam pengambilannya dari Rasul menggunakan sara berbeda-beda. Ada yang membaca dengan satu huruf. Bahkan, ada yang lebih dari itu. Kemudian mereka tersebar keseluruh penjuru daerah.[4]
Kebijakan Abu Bakar Siddiq yang tidak mau memusnahkan mushaf-mushaf lain selain yang telah disusun Zaib bin Tsabit, seperti mushaf yang dimiliki Ibn Mas’ud, Abu Musa Al-Asy’ari, Miqdad bin amar, Ubay bin Ka’ab, dan Ali bin Abi Thalib, mempunyai andil besar dalam kemunculan qiraat yang kian beragam. Perlu dicatat bahwa mushaf-mushaf itu tidak berbeda dengan yang disusun Zaid bin Tsabit dan kawan-kawannya, kecualai pada dua hal saja, yaitu kronologi surat dan sebagian bacaan yang merupakan penafsiran yang ditulis dengan lahjah tersendiri karena mushaf-mushaf itu merupakan catatan pribadi mereka masing-masing.[5]
Adanya mushaf-mushaf itu disertai dengan penyebaran para qari’ ke berbagai penjuru, pada gilirannya melahirkan sesuatu yang tidak diinginkan, yakni timbulnya qiraat yang semakin beragam. Lebih-lebih setelah terjadinya transformasi bahasa dan akulturasi akibat bersentuhan dengan bangsa-bangsa bukan Aarabin sehingga pada akhirnya perbedaan qiraat itu sudah pada kondisi sebagaimana yang disaksikan Hudzaifah Al-Yamamah dan yang kemudian dilaporkannya kepada ’Utsman.[6]
            Ketika mengirim mushaf-mushaf  keseluruh penjuru kota, khalifah Utsman r.a. mengirimkan pula para sahabat yang memiliki cara membaca tersendiri dengan masing-masing mushaf yang diturunkan. Setelah para sahabat berpencar keseluruh daerah dengan bacaan yang berbeda itu, para tabi’in mengikuti mereka dalam hal bacaan yang dibawa oleh para sahabat tersebut. Dengan demikian, beraneka-ragamlah pengambilan para tabi’in, sehingga masalah ini menimbulkan imam-imam Qari’ yang masyhur yang berkecimpung didalamnya, dan mencurahkan segalanya untuk qiraat dengan memberi tanda-tanda serta menyebarluaskannya.[7]
Tatkala para qori pada masa tabi’iin yaitu pada awal abad II H tersebar ke berbagai pelosok. Mereka lebih suka mengemukakan qira’at gurunya daripada mengikuti qiraat imam-imam lainnya. Qira’at-qira’at tersebut diajarkan turun-temurun dari guru ke guru, sehingga sampai kepada imam-imam qira’at, baik yang tujuh, sepuluh, atau yang empat belas.[8]
Imam-Imam qira’at bekerja kerasa sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya sehingga  bisa   membedakan  antara bacaan  yang  benar dan  yang salah.
Mereka mengumpulkan qira’at, mengembangkan wajah-wajah dan dirayah.[9]
Sesudah itu para Imam menyusun kitab-kitab mengenai qira’at. Orang pertama kali menyusun qira’at dalam satu kitab adalah Abu Ubaidillah al-Qasim bin Salam. Ia telah mengumpulkan qiraat sebanyak kurang lebih 25 Macam. Kemudian menyusul imam-imam lainnya. Diantara mereka, ada yang menetapkan 20 macam. Ada pula yang menetapkan dibawah bilangan itu. Persolan qiro’at terus berkembang sampai masa Abu Bakar Ahmad bin Abbas bin Mujahid yang terkenal dengan nama ibn Mujahid. Dialah orang yang meringkas menjadi tujuh macam qira’at yang disesuai dengan tujuh imam qori’. Berkat jasanya dapat diketahui mana qira’at yang dapat diterima dan mana yang ditolak.[10]


[1]Anwar, Ulum Al-Qur’an, 141-142
[2]Ibid., 148
[3] Ash-Shabuuniy, Studi Ilmu, 375
[4] Ibid.
[5]Anwar, Ulum Al-Qur’an, 143
[6]Ibid.
[7]Ash-Shabuuniy, Studi Ilmu, 375
[8] Anwar, Ulum Al-Qur’an, 143
[9]Ash-Shabuuniy, Studi Ilmu, 376
[10]Ibid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar