Minggu, 14 Agustus 2011

Rivalitas Ahlussunah Salafiyah dan khalafiyah


 By. Moh. Badrus S
Sepeninggal Khalifah Al-Watsiq, tampuk kekuasaan ada ditangan Khalifah Al-Mutawakkil (847-861). Khalifah Al-Mutawakkil tidak mendukung faham Mu’tazilah, Ia sangat menghoramati dan mendukung ajaran-ajaran Imam Ahmad bin Hanbal. Ia mengeluarkan kebijakan melarang segala bentuk diskusi, perdebatan dan pembahasan kalam, beliau kembali melarang ajaran tentang kemakhlukan Al-Qur’an bahkan beliau melakukan pembersihan terhadap ulama-ulama Mu’tazilah selain itu ia memerintahkan umat Islam bersikap pasrah dan taqlid serta menerima apa adanya, menganjurkan ulama untuk mengajarkan hadits dan mempraktekkan ajaran sunnah. Kebijakan ini membalikkan posisi kaum Hanabilah dari posisi pinggiran keposisi sentral. Mereka kemudian melakukan rehabilitasi dan recovey atas disorientasi dan krisis nilai-nilai dengan menjadikan al-Qur’an, hadits Nabi dan sebagian tradisi kaum salaf sebagai sandaran utama. Berbeda dengan kaum Mu’tazilah yang menjadikan akal sebagai sandaran nilai-nilai dan tatanan sosial politik. Maka sejak saat itu mulailah masa pembalasan dan pelampiasan dendam kesumat terhadap orang-orang Mu’tazilah dengan korban yang kalah banyaknya dengan korban mihnah al-Qur’an. Sejak masa pemerintahan Khalifah Al-Mutawakkil, banyak menteri yang diangkat dari kalangan Hanbaliyin, pengikut Imam Ahmad bin Hanbal. Jadi lingkungan istana didominasi oleh ulama-ulama Hanbaliyin.[1]
            Sementara itu Imam al-Asy’ari berda pada posisi moderat pada waktu itu, ia menyatakan setia pada Imam Ahmad bin hambal, tetapi ia  tidak meninggalkan cara yang lazim dipakai oleh ahli filsafat dan logika, sesuai dengan alam pikiran dan selera masanya.
Konstruk teologi al-Asy’ari yang tidak hanya berlandaskan al-Qur’an dan Hadits tetapi juga menggunkan ijmak dan qiyas menempatkannya berbeda jauh dari kalangan Hanabilah atau pengikut Ahmad ibn Hanbal yang dikenal kaku dan literalis dalam memegang sunnah. Dengan metode ijmak dan qiyas ini al-Asy’ari mulai mengembangkan lebih jauh lagi pendekatan-pendekatan rasional yang hampir serupa dengan yang dilakukan kalangan Mu’tazilah, dan meninggalkan kalangan Hanabilah yang masih berpegang pada literalisme Al-Qur’an dan hadits atau sunnah. Bedanya, prinsip-prinsip rasional yang di bangun Mu’tazilah merupakan bagian dari aksioma dokrin keyakinannya sesuai dengan doktrin ”al-’aql qabl al-wurud as-sam’iy” (akal didahulukan sebelum adanya teks), namun dikalangan pengikut al-Asy’ari prinsip-prinsip tersebut atau tepatnya premis-premis rasional seperti konsep ”harakah”(gerak), ”shifah” (karakteristik) dan ”jauhar fard”(atomoisme)- sekadar di patok sebagai dasar untuk mengukuhkan kesimpulan argumen yang sudah dikukuhkan sebelumnya.[2]
Ajaran-ajaran Imam Abu Hasan Asy’ari yang eks Mu’tazilah yang merumuskan kembali manhaj salafus-saleh berdasarkan nash Al-Qur’an dan Hadits tetapi dengan metode rasional, kenyataannya menarik perhatian dan diterima oleh banyak orang. Hal ini tidak disukai dan dicurigai oleh kaum Hanabilah yang merasa lebih “salaf” dari dulunya. Popularitas ajaran Asy’ariyah dikhawatirkan mengurangi pengaruh kaum Hanabilah dilingkungan istana Khalifah. Lambat laun, posisi al-Asy’ari mampu mengalahkan dan melampaui posisi kalangan Hanabilah, ketika mereka bukan hanya menguasai posisi kekuasaan, tapi juga posisi kalangan Mu’tazilah sebagai kaum rasionalis. Dan tradisi Hanbali kemudian ditinggalkan dalam percaturan Sunni atau kelompok ’Ahlussunnah Wal-Jamaah”,hingga hanya dikenal sebagai kaum al-Mujassimah sebagai sindiran buat kalangan Hanabilah yang tidak menakwilkan ayat-ayat yang berbau mutasyabbihat (metaforis). Bahkan orang-orang pengikut al-Asy’ari (Asy’ariyah), seperti ibn Asakir dan As-Subki, memberi label demikian dalam bukunya masing-masing sebagai kaum ”al-mijassimah”, karena mereka yang berpegang pada makna harfiyah ayat-ayat yang mengandungaarti pemyerupaan Tuhan dengan makhluk-nya, seperti tangan, turun naik, dan sebagainya. Hal ini kemudia yang bikin gerah dan juga berang  Ibn Timiyah, salah seorang pembantu pelanjut tradisi Hanbali, yang menghantam balik kaum Asy’ariyah dengan menggugat klaim kebenaran Asy’ari atas monopoli pemaknaan ”Ahlussunnah Wal-Jamaah ”.[3] .


[1]  Baso, Ahmad 2006, NU studies: pergolakan pemikiran antara fundamentalisme Islam & fundamentalisme neo-liberal  Jakarta: Erlangga, 84
[2] Baso, NU Studies, 88
[3] Ibid., 89-90

Tidak ada komentar:

Posting Komentar