Selasa, 16 Agustus 2011

Konsep Iman dan Kufur Menurut Kawarij



Sebagai kelompok yang lahir dari peristiwa politik, pendirian teologis Khawarij terutama yang berkaitan dengan masalah iman dan kufur lebih bertendensi politis ketimbang ilmiah teoretis. Kebenaran pemyataan ini tak dapat disangkal karena, seperti yang telah diungkapkan sejarah, Khawarij mula-mula memunculkan persoalan teologis seputar masalah, “apakah Ali dari pendukungnya adalah kafir atau tetap mukmin ?"  "Apakah Mu'awiyah dan pendukungnya telah kafir atau tetap mukmin ?" Jawaban atas pertanyaan ini kemudian menjadi pijakan atas dasar dari teologi mereka. Menurut mereka, karena Sayyidina Ali dan Mu'awiyah beserta para pendukungnya telah melakukan tahkim kepada manusia, berarti mereka telah berbuat dosa besar. Dan semua perilaku dosa besar (mutabb al ­kabirah), menurut semua subsekte Khawarij, kecuali Najdah, adalah kafir akan disiksa di neraka selama-lamanya. Subsekte Khawarij yang sangat ekstrim, Azariqah, menggunakan istilah yang lebih "mengerikan” dari pada kafir yaitu musyrik. Mereka memandang musyrik bagi siapa saja yang tidak mau bergabung ke dalam barisan mereka sedangkan pelaku dosa dalam pandangan mereka telah beralih status keimanannya menjadi kafir millah (agama), dan itu berarti ia telah keluar dari Islam. Si kafir semacam ini akan kekal di neraka bersama orang-orang kafir lainnya.[1]
Subsekte Najdah tak.jauh berbeda dari Azariqah. Kalau Azariqah memberikan predikat musyrik kepada ummat Islam yang tidak mau bergabung dengan kelompok mereka, Najdah pun memberikan predikat yang sama kepada siapapun dari umat Islam yang secara berkesinambungan mengerjakan dosa kecil. Akan halnya dengan dosa besar bila tidak dilakukan secara kontinu, pelakunya tidak dipandang musyrik tetapi kafir. Namun jika pelakunya melaksanakan terus-menerus ia akan menjadi musyrik.
Iman dalam pandangan Khawarij tidak semata-mata percaya kepada Allah. Mengerjakan segala perintah kewajiban agama juga merupakan bagian dari keimanan. Segala perbuatan yang berbau religius termasuk didalamnya masalah kekuasaan adalah bagian dari keimanan (al-amal juz’un al-iman). Demian demikian siapapun yang menyatakan dirinya beriman kepada Allah dan bahwa Muhammad adalah Rasul-Nya, tetapi tidak melaksanakan kewajiban agama dan malah melakukan perbuatan dosa, ia dipandang kafir oleh Khawarij. 
Lain halnya dengan subsekte Khawarij, yang sangat moderat yaitu ibadiyah. Subsekte ini memiliki pandangan bahwa setiap pelaku dosa besar tetap sebagai muwahhid (yang mengesaka Tuhan), tetapi bukan mukmin. Pendeknya, ia tetap disebut kafir telapi hanya merupakan kafir nikmat dun bukan kafir millah (agama). Siksaan yang akan mereka terima di akhirat nanti adalah kekal di dalam neraka bersama orang­orang kafir lainnya.


[1] Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, CV Pustaka Setia : bandung, 2006, hlm.143.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar