Senin, 29 Agustus 2011

Fiqh Zakat Fitrah

Oleh KH. Abd Nashir Fattah (Rais Syuriah PCNU Jombang)
Pengertian Zakat Fitrah
Zakat Fitrah, atau bisa juga disebut Shadaqah Fitrah, menurut istilah fiqh berarti: Shadaqah yang diwajibkan karena seseorang berbuka puasa Ramadlan. Pertama kali diwajibkan bersamaan dengan diwajibkannya puasa bulan Ramadlan, yaitu dua hari sebelum Hari raya Fitri tahun II Hijriyah.
Hikmah Zakat Fitrah:
Diantara hikmah disyariatkannya zakat fitrah antara lain:
1.  Menolong (memberi santunan) kepada fuqara (orang-orang fakir) dan masaakin (orang-orang miskin) agar tidak meminta-minta pada saat Hari raya Fitri
2.  Membuat mereka bergembira disaat semua orang Islam bergembira atas datangnya Hari raya Fitri
3.  Membersihkan diri kita dari perbuatan-perbuatan dan perkataan-perkataan yang tidak baik setelah berlalunya bulan suci Ramadlan
4.  Menambal/menutup cacat (kekurangan-kekurangan) yang kita lakukan selama bulan suci Ramadlan, sebagaimana sujud sahwi menambal/menutup kekurangan-kekurangan yang dilakukan di dalam shalat
5.  Menghantarkan puasa kita sampai kepada Allah SWT. Sebab puasa Ramadlan akan bergelantungan antara langit dan bumi, dan tidak akan sampai kepada Allah SWT, sampai Zakat Fitrah ditunaikan.
Hukum Zakat Fitrah
Menurut kebanyakan (jumhur) Fuqaha (Ahli Fiqh), Zakat Fitrah hukumnya wajib bagi setiap muslim, baik merdeka atau hamba sahaya, laki-laki atau perempuan, anak kecil atau orang dewasa. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh beberapa Hadits, antara lain: Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori: Dari Ibnu Umar RA “Sesungguhnya Rasulullah SAW. mewajibkan Zakat Fitrah, yaitu satu sha’ kurma kering atau gandum bagi setiap orang merdeka atau hamba sahaya, laki-laki atau wanita” – sebagian riwayat mengatakan – “atas anak kecil, orang dewasa, orang merdeka dan hamba sahaya”.
Syarat-syarat Wajibnya Zakat Fitrah
Zakat Fitrah wajib dikeluarkan dengan syarat-syarat sebagi berikut:
1.  Islam. Karena itu Zakat Fitrah tidak diwajibkan kepada orang kafir. Adapun orang yang murtad, Zakat Fitrahnya ditangguhkan sampai dia kembali menjadi Islam. Namun, orang kafir tetap memiliki kewajiban membayar Zakat Fitrahnya orang-orang yang nafkah mereka menjadi tanggungjawab orang kafir tersebut, seperti istri dan anak-anaknya. Jadi, syarat Islam itu berlaku bagi orang yang Zakat Fitrahnya dikeluarkan oleh orang yang wajib memberi nafkah kepadanya (mukhraj anhu) bukan bagi orang yang mengeluarkan Zakat Fitrah (mukhrij)
2.  Mengalami hidup di sebagian bulan Ramadlan dan bulan Syawal. Zakat Fitrah wajib dikeluarkan bagi orang yang meninggal dunia setelah matahari terbenam pada malam Hari raya Fitri. Begitu juga bagi anak yang lahir sebelum terbenamnya matahari dan meninggal setelah matahari terbenam pada malam Hari raya Fitri.
3.  Memiliki kelebihan mu’nah (biaya hidup) – baik untuk dirinya sendiri atau untuk orang-orang yang nafkah mereka menjadi tanggungjawabnya – pada Hari raya Fitri dan malamnya (sehari semalam). Yang dimaksud dengan mu’nah di sini meliputi makanan dan lauk pauknya, tempat tinggal, pakaian dan lain-lain yang layak dan bersifat pokok. Dari sini kita ketahui bahwa, ambeng (Jawa: makanan sajian) yang biasa disajikan oleh masyarakat kita di masjid-masjid atau musholla-musholla tidak termasuk yang pokok, artinya jika beras dan lauk pauk yang kita buat ambeng tersebut menyebabkan kita tidak mempunyai kelebihan pada hari raya dan malamnya, hal ini tidak bisa menggugurkan kewajiban kita mengeluarkan Zakat Fitrah.
Jika dilihat dari tiga syarat diatas, maka bisa diuraikan hal sebagai berikut: kewajiban Zakat Fitrah sama sekali tidak ada kaitannya dengan faqir miskin. Banyak dari masyarakat kita yang tidak mau mengeluarkan Zakat Fitrah untuk dirinya sendiri, dan atau keluarga yang nafkahnya menjadi kewajibannya, dengan alasan mereka faqir miskin yang hanya berhak menerima zakat. Hal ini sering disalahpahami oleh kebanyakan masyarakat kita.
Orang Yang Wajib Mengeluakan Zakat Fitrah
Zakat Fitrah diwajibkan bagi setiap orang Islam yang merdeka dan memiliki kelebihan biaya hidup pada Hari raya Fitri dan malamnya (sebagaimana penjelasan diatas), baik untuk dirinya sendiri atau untuk orang-orang yang nafkah mereka menjadi tanggung jawabnya. Hal ini sesuai dengan Qaidah: “Setiap orang yang berkewajiban memberi nafkah kepada orang lain, maka wajib pula baginya mengelurkan Zakat Fitrah untuknya”.
Namun qaidah ini memiliki pengecualian, yaitu: Istri ayah (ibu tiri). Anak tiri wajib memberi nafkah padanya, namun tidak wajib mengeluarkan Zakat Fitrah untuknya. Termasuk dalam pengecualian ini adalah hamba sahayanya, kerabat dan istri yang kafir.
Kadar (Takaran) Zakat Fitrah Yang Wajib Dikeluarkan
Kadar (takaran) Zakat Fitrah yang wajib dikeluarkan adalah 1 (satu) sha’ atau empat mud dan berupa bahan makanan pokok, seperti beras, gandum, kurma dan lain-lain yang berlaku secara umum di daerah dimana kita tinggal.
Sha’ adalah nama suatu takaran persegi empat yang panjang lebarnya 14.65 Cm³ dan sepadan dengan sekitar 2.75 Kg beras.
Jika seseorang mempunyai kelebihan mu’nah, namun kurang dari satu sho’, maka kelebihan tersebut wajib dikeluarkan sebagai Zakat Fitrah untuk dirinya sendiri, meskipun hanya satu mud (sekitar 0,6875 Kg.).
Waktu Mengeluarkan Zakat Fitrah
Ada lima waktu dalam mengeluarkan Zakat Fitrah, yaitu:
1.  Waktu wajib, jika menemui sebagian dari bulan Ramadlan dan sebagaian dari bulan syawal, artinya jika seseorang di saat matahari terbenam pada malam Hari raya Fitri dia sudah memenuhi syarat-syarat kewajiban Zakat Fitrah
2.  Waktu fadlilah, pada Hari raya Fitri setelah shalat fajar dan sebelum melaksanakan shalat hari raya Fitri
3.  Waktu jawaz, dimulai semenjak awal ramadlan
4.  Waktu makruh, setelah shalat hari raya Fitri sampai saat terbenamnya mata hari, kecuali kalau ada kemaslahatan, seperti menunggu kerabat dekat atau orang faqir yang shaleh.
5.  Waktu haram, setelah hari raya Fitri, kecuali kalau ada uzur syar’i, seperti tidak adanya orang yang berhak menerima zakat.
—————————————
Maraji’:
1. Shoheh Bukhori, II / Hadits 1441
2. Sunan Abi Daud, II / Hadits 1609
3. Hasiyah Jamal, II / 271 – 274
4. Bujairami Iqna’, II / 42 – 52
5. I’anatut Thalibin, II / 170 – 174
6. At Taqrirat As Sadidah Fil Masail Al Mufidah, Hal. 418 – 422
7. Fathul Qadir Fi Ajaib al maqadir, Hal 9

Tidak ada komentar:

Posting Komentar