Rabu, 27 Juli 2011

Ahlussunnah khalafiyah


Istilah Ahlussunnah kholafiyah terbentuk tiga kata yaitu:
  1. Ahl, berarti keluarga, golongan atau pengikut.[1]
  2. Sunnah secara harfiah berarti tradisi.[2] Sunnah secara etimologis adalah jalan, meskipun tidak diridai. Sedangkan menurut terminologis syara’ ialah nama bagi jalan dan perilaku yang diridai dalam agama yang ditempuh oleh Rasulallah SAW atau orang-orang yang mendapat teladan dalam beragama seperti para sahabat, berdasarkan sabda Rasulallah SAW ”Ikutilah sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin sesudahku”.[3]
  3. Khalafiyyah biasanya digunakan untuk merujuk para ulama yang lahir setelah abad III Hijriyah dengan karakteristik yang bertolak belakang dengan apa yang dimiliki salaf. Diantaranya mereka menakwil sifat-sifat Allah yang serupa dengan makhluk pada pengertian yang sesuai dengan ketinggian dan kesucian-Nya.[4]
Ahlussunnah berarti orang-orang yang secara konsisten mengikuti tradisi Nabi Muhammmad, dalam hal ini adalah tradisi Nabi dalam tuntunan lisan maupun amalan beliau serta sahabat mulia beliau.[5] Istilah yang lebih dikenal dalam masyarakat adalah Ahlussunnah waljamaah atau disingkat Aswaja. Jamaah menurut Harun Nasution diartikan sebagai golongan yang bepegang pada sunnah dan merupakan mayoritas.[6]
Ahlusunnah waljamaah adalah merupakan ajaran yang mengikuti semua yang telah dicontohkan Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya. Sebagai pembeda dengan yang lain.[7] Ringkas kata Ahlussunnah waljamaah adalah orang-orang yang mengikuti cara hidup Nabi Muhammad dan golongan terbesar.[8]
Sementara pakar menyatakan bahwa kelompok Ahlussunnah khalafiyah muncul sebagai reaksi atas paham Mu’tazilah yang disebar pertama kali oleh Wasil bin Atho’ (w 131 H/748 M) dan sangat mengandalkan akal dalam memahami dan menjelaskan ajaran Islam.[9]
Dalam surat syaikh al-Azhar, Salim al Bisyri kepada tokoh Syiah yaitu Abdul Husain Syarfuddin al Musawa dipahami bahwa yang dimaksud dengan Ahlussunnah adalah golongan aliran Asy’ariyah dalam urusan akidah.[10]
Istilah Ahlussunnah sebagai suatu paham sebenarnya belum dikenal pada masa al-Asy’ari (260-324 H/873-935 M) tokoh yang dianggap sebagai salah seorang pendiri paham ini. Bahkan para pengikut Al-Asy’ari sendiri seperti al Bagillani (403) al-Baghdadi (w 429), Al Juwaini (w 478 H) al Ghozali 505 H dan asy-Syahrashani 548 H juga belum pernah menyebut menyebut terma tersebut. Pengakuan secara eksplisit mengenai adanya paham ahlussunnah baru baru dikemukakan az-Zabidi (w. 1205 H) yang menyatakan, bahwa apabila disebut ahlussunnah maka yang dimaksud adalah pengikut al-Asy’ ari dan al-Maturidi. Hal ini berarti paham ahlussunnah baru dikenal jauh setelah wafatnya tokohnya.[11] 


[1]Muhyiddin Abdushomad, Aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah terjemah syarh ‘Aqidah al-‘awam (Surabaya: Khalista, 2009), 7
[2]M. Quraish Shihab. Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan: Mungkinkah? (Jakarta: Lentera Hati, 2007), 57
[3]M. Hasyim Asy’ari, Risalah Ahl  Al-Sunnah wal al-Jamaah (Jombang: Maktabah al-Turats,  1998), 5
[4]Abubakar Aceh, Salaf: Islam dalam masa murni (Solo: Ramadhani, 1996), 25

[5]Shihab, Sunnah-Syiah, 57

[6]Nasution, Teolog Islam, 64
[7]Muhyiddin Abdushomad, Fiqh TradisionalJawaban pelbagai persolan keagamaan sehari-hari (Surabaya: Khalista, 2006), 7
[8]Muhammad Ahmad, Tauhid Ilmu Kalam (Bandung: CV Pustaka Setia, 1998), 178
[9] Shihab, Sunnah-Syiah, 58
[10]Ibid.
[11]Ahmad Zahro, Tradisi Intelektual NU: Lajnah batsul masail 1926-1999(Yogyakarta: LKiS, 2004),47-48

Tidak ada komentar:

Posting Komentar