Kamis, 28 Juli 2011

Biografi K.H. A. Wahid Hasyim


1. Keluarga dan pendidikan
            Wahid Hasyim yang akrab di sapa dengan Gus Wahid lahir pada hari jumat legi, tanggal 5 Rabiul Awal 1333 H bertepatan dengan 1 juni 1914 di Desa Tebuireng, Jombang Jawa Timur. Oleh ayahnya Hadratus Syeh K.H. Hasyim Asy’ari beliau diberi nama Muhammad Asy’ari, terambil dari nama neneknya. Karena di anggap nama tersebut tidak cocok dan berat maka namanya di ganti Abdul Wahid, pengambilan dari nama seorang datuknya. Namun ibunya kerap kali memanggil dengan nama Mudin. Sedangkan para santri dan masyarakat sekitar sering memanggil dengan sebutan Gus Wahid, sebuah panggilan yang kerap ditujukan untuk menyebut putra seorang Kyai di Jawa.
            Wahid Hasyim berasal dari keluarga yang taat beragama, keluarga pesantrern yang berpegang erat pada tradisi.  Ia lahir, tumbuh dan dewasa dalam lingkungan pesantren. Ibunya bernama Nafiqah putri K.H. Ilyas pemimpin pesantren Sewulan di madiun. Garis keturunan ayah dan ibunya bertemu pada Lembu Peteng ( Brawijaya VI ), yaitu dari pihak ayah melalui Joko Tingkir ( Sultan Pajang  1569-1587 ) dan dari pihak ibu melalui Kiai Ageng Tarub I. Sejak usia 5 tahun ia belajar membaca Al Quran pada ayahnya setiap selesai sholat magrib dan dhuhur, sedang pada pagi hari ia belajar di Madrasah Slafiyah di dekat rumahnya. Dalam usia 7 tahun ia mulai mempelajari kitab Fath Al-Qarib ( kemenangan bagi yang dekat ) dan al-Minhaj al-Qawim ( jalan yang lurus ). Sejak kecil minat membacanya sangat tinggi, berbagai macam kitab di telaahnya. Ia sangat menggemari buku-buku kesusastraan Arab, khususnya buku Diwan asy-Syu’ara’ ( Kumpulan penyair dengan syair-syairnya ).[1]
            Sejak kecil ia terkenal sebagai seorang anak yang pendiam, peramah dan pandai mengambil hati orang. Dikenal banyak orang sebagai orang yang gemar menolonh kawan, suka bergaul dengan tidak memandang bangsa, atau memilih agama, pangkat dan uang. Terlalu percaya pada kawan, suka berkorban, akan tetapi mudah tersinggung perasaannya dan mudah marah, akan tetapi dapat mengatasi kemarahannya. Ketika berusia 12 tahun Wahid Hasyim telah menamatkan studinya di Madrasah Salafiyah Tebuireng, lalu beliau belajar ke pondok Siwalan Panji, Sidoarjo, di pondok Kyai Hasyim bekas mertua ayahnya. Di sana ia belajar kitab-kitab Bidayah, Sullamut Taufik, Taqrib dan Tafsir Jalalain. Gurunya Kyai Hasyim sendiri dan Kyai Chozin Panji, namun ia hanya belajar dalam hitungan hari yaitu selama 25 hari tidak sebagaimana umumnya santri. Pengembaraan intelektual pesantrennya dilanjutkan di Pesantren Lirboyo, kediri, namun juga untuk beberapa . Setelah itu ia tidak meneruskan pengembaraannya ke pesantren lain, tetapi memilih tinggal di rumah  dan belajar secara otodidak dari berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Di dukung oleh tingkat kecerdasannya yang tinggi serta tingkat hafalannya yang kuat , dalam belajar ia tidak mengalami kesulitan. Mengenai hal ini Saifuddin Zuhri menuturkan :
            “ Aku mendengar bahwa K.H. A. Wahid Hasyim dan Muhammad Ilyas     ketika masih sama-sama jadi santri di Tebuireng dahulu, bukan hanya      hafal seluruh bait-bait Alfiyah yang 1000 dengan arti maknanya, tetapi       juga mahir menghafalnya dari belakang ke muka. Padahal dari muka       ke        belakang saja bukan main sulitnya.”[2]
Bukti lagi kecerdasan dan kecemerlangan pikiran  K.H. A. Wahid Hasyim dikisahkan oleh Ahmad Syahri sebagai berikut :
            “ Kyai Wahid mudah menghafal nama tamu-tamunya, apalagi para pemimpin NU di daerah-lazim disebut konsul-sebelum ada sebutan   pengurus wilayah dan cabang. Kecerdasannya juga terlihat dari cara            beliau belajar bahasa Asing. Serta menangkap alur bicara lawan      diskusinya,      sehingga bisa menanggapi dengan tajam .”[3]


[1] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam ( Jakarta : PT Ihtiar Baru Van Hoeve, 1994 ), 163.
[2] Ruchman Basori, Pesantren Modern Indonesia ( Jakarta :  PT Inceis cetakan ke dua, 2008), 64.
[3] Ibid., 65.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar