Selasa, 26 Juli 2011

Sejarah NU, Muhammadiyah, HTI, PKS dan Salafi Di Indonesia



1. Sejarah NU
Keterbelakangan, baik secara mental, maupun ekonomi yang dialami bangsa Indonesia, akibat penjajahan maupun akibat kungkungan tradisi, menggugah kesadaran kaum terpelajar untuk memperjuangkan martabat bangsa ini, melalui jalan pendidikan dan organisasi. Gerakan yang muncul 1908 tersebut dikenal dengan Kebangkitan Nasional. Semangat kebangkitan memang terus menyebar ke mana-mana–setelah rakyat pribumi sadar terhadap penderitaan dan ketertinggalannya dengan bangsa lain, sebagai jawabannya, muncullah berbagai organisai pendidikan dan pembebasan.
Kalangan pesantren yang selama ini gigih melawan kolonialisme, merespon Kebangkitan Nasional tersebut dengan membentuk organisasi pergerakan, seperti Nahdlatut Wathan (Kebangkitan Tanah Air) 1916. Kemudian tahun 1918 didirikan Taswirul Afkar atau dikenal juga dengan Nahdlatul Fikri (Kebangkitan Pemikiran), sebagai wahana pendidikan sosial politik kaum dan keagamaan kaum santri. Dari situ kemudian didirikan Nahdlatut Tujjar, (Pergerakan Kaum Sudagar). Serikat itu dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat. Dengan adanya Nahdlatul Tujjar itu, maka Taswirul Afkar, selain tampil sebagi kelompok studi juga menjadi lembaga pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa kota.
Ketika Raja Ibnu Saud hendak menerapkan asas tunggal yakni mazhab wahabi di Mekah, serta hendak menghancurkan semua peninggalan sejarah Islam maupun pra-Islam, yang selama ini banyak diziarahi karena dianggap bi’dah. Gagasan kaum wahabi tersebut mendapat sambutan hangat dari kaum modernis di Indonesia, baik kalangan Muhammadiyah di bawah pimpinan Ahmad Dahlan, maupun PSII di bahwah pimpinan H.O.S. Tjokroaminoto. Sebaliknya, kalangan pesantren yang selama ini membela keberagaman, menolak pembatasan bermadzhab dan penghancuran warisan peradaban tersebut.
Sikapnya yang berbeda, kalangan pesantren dikeluarkan dari anggota Kongres Al Islam di Yogyakarta 1925, akibatnya kalangan pesantren juga tidak dilibatkan sebagai delegasi dalam Mu’tamar ‘Alam Islami (Kongres Islam Internasional) di Mekah yang akan mengesahkan keputusan tersebut.
Didorong oleh minatnya yang gigih untuk menciptakan kebebsan bermadzhab serta peduli terhadap pelestarian warisan peradaban, maka kalangan pesantren terpaksa membuat delegasi sendiri yang dinamai dengan Komite Hejaz, yang diketuai oleh KH. Wahab Hasbullah.
Atas desakan kalangan pesantren yang terhimpun dalam Komite Hejaz, dan tantangan dari segala penjuru umat Islam di dunia, Raja Ibnu Saud mengurungkan niatnya. Hasilnya hingga saat ini di Mekah bebas dilaksanakan ibadah sesuai dengan madzhab mereka masing-masing. Itulah peran internasional kalangan pesantren pertama, yang berhasil memperjuangkan kebebasan bermadzhab dan berhasil menyelamatkan peninggalan sejarah serta peradaban yang sangat berharga.
Berangkat dari komite dan berbagai organisasi yang bersifat embrional dan ad hoc, maka setelah itu dirasa perlu untuk membentuk organisasi yang lebih mencakup dan lebih sistematis, untuk mengantisipasi perkembangan zaman. Maka setelah berkordinasi dengan berbagai kiai, akhirnya muncul kesepakatan untuk membentuk organisasi yang bernama Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) pada 16 Rajab 1344 H (13 Januari 1926). Organisasi ini dipimpin oleh KH. Hasyim Asy’ari sebagi Rais Akbar.
Untuk menegaskan prisip dasar orgasnisai ini, maka KH. Hasyim Asy’ari merumuskan Kitab Qanun Asasi (prinsip dasar), kemudian juga merumuskan kitab I’tiqad Ahlussunnah Wal Jamaah. Kedua kitab tersebut kemudian diejawantahkan dalam Khittah NU , yang dijadikan dasar dan rujukan warga NU dalam berpikir dan bertindak dalam bidang sosial, keagamaan dan politik.
2. Sejarah Muhammadiyah
Muhammadiyah didirikan di Kampung Kauman Yogyakarta, pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 H/18 Nopember 1912 oleh seorang yang bernama Muhammad Darwis, kemudian dikenal dengan KHA Dahlan.
Beliau adalah pegawai kesultanan Kraton Yogyakarta sebagai seorang Khatib dan sebagai pedagang. Melihat keadaan ummat Islam pada waktu itu dalam keadaan jumud, beku dan penuh dengan amalan-amalan yang bersifat mistik, beliau tergerak hatinya untuk mengajak mereka kembali kepada ajaran Islam yang sebenarnya berdasarkan Qur`an dan Hadist. Oleh karena itu beliau memberikan pengertian keagamaan dirumahnya ditengah kesibukannya sebagai Khatib dan para pedagang.
Mula-mula ajaran ini ditolak, namun berkat ketekunan dan kesabarannya, akhirnya mendapat sambutan dari keluarga dan teman dekatnya. Profesinya sebagai pedagang sangat mendukung ajakan beliau, sehingga dalam waktu singkat ajakannya menyebar ke luar kampung Kauman bahkan sampai ke luar daerah dan ke luar pulau Jawa. Untuk mengorganisir kegiatan tersebut maka didirikan Persyarikatan Muhammadiyah. Dan kini Muhammadiyah telah ada diseluruh pelosok tanah air.
Disamping memberikan pelajaran/pengetahuannya kepada laki-laki, beliau juga memberi pelajaran kepada kaum Ibu muda dalam forum pengajian yang disebut “Sidratul Muntaha”. Pada siang hari pelajaran untuk anak-anak laki-laki dan perempuan. Pada malam hari untuk anak-anak yang telah dewasa.
Disamping memberikan kegiatan kepada laki-laki, pengajian kepada ibu-ibu dan anak-anak, beliau juga mendirikan sekolah-sekolah. Tahun 1913 sampai tahun 1918 beliau telah mendirikan sekolah dasar sejumlah 5 buah, tahun 1919 mendirikan Hooge School Muhammadiyah ialah sekolah lanjutan. Tahun 1921 diganti namnaya menjadi Kweek School Muhammadiyah, tahun 1923, dipecah menjadi dua, laki-laki sendiri perempuan sendiri, dan akhirnya pada tahun 1930 namnaya dirubah menjadi Mu`allimin dan Mu`allimat.
Muhammadiyah mendirikan organisasi untuk kaum perempuan dengan Nama ‘Aisyiyah yang disitulah Istri KH. A. Dahlan, Nyi Walidah Ahmad Dahlan berperan serta aktif dan sempat juga menjadi pemimpinnya.
KH A Dahlan memimpin Muhammadiyah dari tahun 1912 hingga tahun 1922 dimana saat itu masih menggunakan sistem permusyawaratan rapat tahunan. Pada rapat tahun ke 11, Pemimpin Muhammadiyah dipegang oleh KH Ibrahim yang kemudian memegang Muhammadiyah hingga tahun 1934.Rapat Tahunan itu sendiri kemudian berubah menjadi Konggres Tahunan pada tahun 1926 yang di kemudian hari berubah menjadi Muktamar tiga tahunan dan seperti saat ini Menjadi Muktamar 5 tahunan.
3. Sejarah HTI
Hizbut Tahrir berdiri pada tahun 1953 di Al-Quds (Baitul Maqdis), Palestina. Gerakan yang menitik beratkan perjuangan membangkitkan umat di seluruh dunia untuk mengembalikan kehidupan Islam melalui tegaknya kembali Khilafah Islamiyah ini dipelopori oleh Syeikh Taqiyuddin An-Nabhani, seorang ulama alumni Al-Azhar Mesir, dan pernah menjadi hakim di Mahkamah Syariah di Palestina.
Hizbut Tahrir kini telah berkembang ke seluruh negara Arab di Timur Tengah, termasuk di Afrika seperti Mesir, Libya, Sudan dan Aljazair. Juga ke Turki, Inggris, Perancis, Jerman, Austria, Belanda, dan negara-negara Eropah lainnya hingga ke Amerika Serikat, Rusia, Uzbekistan, Tajikistan, Kirgistan, Pakistan, Malaysia, Indonesia, dan Australia.
HT masuk ke Indonesia melalui orang Libanon. Namanya Abdurrahman Al-Baghdadi. Ia bermukim di Jakarta pada tahun 80-an. Kemudian juga dibawa Mustofa bin Abdullah bin Nuh. Inilah yang mendidik tokoh-tokoh HTI di Indonesia seperti Ismail Yusanto,tokoh-tokoh Hizbut Tahrir sekarang. Tapi sebenarnya diantara mereka ada friksi. Karena tokoh-tokoh HTI yang sekarang merasa dilangkahi oleh Ismail Yusanto.
Hizbut Tahrir masuk ke Indonesia pada tahun 1980-an dengan merintis dakwah di kampus-kampus besar di seluruh Indonesia. Pada era 1990-an ide-ide dakwah Hizbut Tahrir merambah ke masyarakat, melalui berbagai aktivitas dakwah di masjid, perkantoran, perusahaan, dan perumahan
Di Indonesia HTI terus terang menganggap Pancasila jahiliah. Nasionalisme bagi mereka jahiliah. Tapi reformasi memberi angin kepadakelompok-kelompok ini sehingga dibiarkan saja. Dan tidak ada dialog. HTI memanfaatkan institusi (seolah-olah) “mendukung” pemerintah untuk mempengaruhi MUI (Majelis Ulama Indonesia). Tapi mereka taqiah (menyembunyikan agenda perjuangan aslinya), sebab mereka menganggap Indonesia itu sebenarnya jahiliah. Taqiah itu ideologi Syiah tapi dipakai oleh HTI
4. Sejarah IM (PKS)
Ikhwanul Muslimin pusatnya di Ismailiah, Mesir. Organisasi ini berdiri pada 1928. Pendiri Ikhwanul Muslimin Syaikh Hasan Al-Banna. Syaikh Hasan Al-Banna ini moderat. Dia berusaha mengakomodasi kelompok salafy yang wahabi, merangkul kelompok tradisional dan juga merangkul kelompok pembaharu yang dipengaruhi oleh Muhammad Abduh. Syaikh Al-Banna menyatakan bahwa Ikhwanul Muslimin itu harkah islamiyah, sunniyah, salafiyah, jadi diakomodasi semua, sehingga ikhwanul muslimin menjadi besar.
Dalam Ikhwanul Muslimin ada lembaga bernama Tandhimul Jihad. Yaitu institusi jihad dalam struktur Ikhwanul Muslimin yang sangat rahasia. Kader yang berada dalam Tandhimul Jihad ini dilatih militer betul, doktrinnya pakai kesetiaan seperti tarikat kepada mursyid. Ini dibawah komando langsung Ikhwanul Muslimin. Para militer atau milisi ini menarik kelompok-kelompoksekuler yang ingin belajar tentang disiplin militer. Gammal Nasser, dan Anwar Sadat, juga belajar pada Tandhimul Jihad ini.
Partai Keadilan Sejahtera (PK-Sejahtera) merupakan pelanjut perjuangan Partai Keadilan (PK) yang dalam pemilu 1999 lalu meraih 1,4 juta suara (7 kursi DPR, 26 kursi DPRD Propinsi dan 163 kursi DPRD Kota/Kabupaten).
PK-Sejahtera percaya bahwa jawaban untuk melahirkan Indonesia yang lebih baik di masa depan adalah dengan mempersiapkan kader-kader yang berkualitas baik secara moral, intelektual, dan profesional. Karena itu, PK-Sejahtera sangat peduli dengan perbaikan-perbaikan ke arah terwujudnya Indonesia yang adil dan sejahtera.
Kepedulian inilah yang menapaki setiap jejak langkah dan aktivitas partai. Dari sebuah entitas yang belum dikenal sama sekali dalam jagat perpolitikan Indonesia hingga dikenal dan eksis sampai saat ini.
IM masuk ke Indonesia melalui mahasiswa yang belajar di Mesir. IM di Indonesia bergerak lewat mahasiswanya yang dinamakan usrah (keluarga). Usrah ini minimal 7 orang, dan maksimal 10 orang. Masing-masing usrah ada amirnya dan amir inilah yang bertanggungjawab terhadap kelompok. Bagaimana mengatasi kebutuhan kehidupan sehari-hari terpenuhi, misalnya kalau ada anggota yang kesulitan bayar SPP.
IM tak hanya bergerak di bidang politik, tapi juga bidang-bidang lain. Kelompok ini kemudian menamakan diri sebagai Tarbiyah yang bermarkas di kampus-kampus . Kelompok Tarbiyah inilah yang menjadi cikal bakal PKS (Partai Keadilan Sejahtera). Mereka umumnya alumni Mesir, Syiria atau Saudi.
5. Sejarah Kemunculan Salafi di Indonesia
Di tahun 80-an, -seiring dengan maraknya gerakan kembali kepada Islam di berbagai kampus di Tanah air- mungkin dapat dikatakan sebagai tonggak awal kemunculan gerakan Salafiyah modern di Indonesia. Adalah Ja’far Umar Thalib salah satu tokoh utama yang berperan dalam hal ini.
Di samping Ja’far Thalib, terdapat beberapa tokoh lain yang dapat dikatakan sebagai penggerak awal Gerakan Salafi Modern di Indonesia, seperti: Yazid Abdul Qadir Jawwaz (Bogor), Abdul Hakim Abdat (Jakarta), Muhammad Umar As-Sewed (Solo), Ahmad Fais Asifuddin (Solo), dan Abu Nida’ (Yogyakarta). Nama-nama ini bahkan kemudian tergabung dalam dewan redaksi Majalah As-Sunnah –majalah Gerakan Salafi Modern pertama di Indonesia-, sebelum kemudian mereka berpecah beberapa tahun kemudian.
Adapun tokoh-tokoh luar Indonesia yang paling berpengaruh terhadap Gerakan Salafi Modern ini –di samping Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab tentu saja- antara lain adalah:
1. Ulama-ulama Saudi Arabia secara umum.
2. Syekh Muhammad Nashir al-Din al-Albany di Yordania (w. 2001)
3. Syekh Rabi al-Madkhaly di Madinah
4. Syekh Muqbil al-Wadi’iy di Yaman (w. 2002).
Tentu ada tokoh-tokoh lain selain ketiganya, namun ketiga tokoh ini dapat dikatakan sebagai sumber inspirasi utama gerakan ini. Dan jika dikerucutkan lebih jauh, maka tokoh kedua dan ketiga secara lebih khusus banyak berperan dalam pembentukan karakter gerakan ini di Indonesia. Ide-ide yang berkembang di kalangan Salafi modern tidak jauh berputar dari arahan, ajaran dan fatwa kedua tokoh tersebut; Syekh Rabi’ al-Madkhaly dan Syekh Muqbil al-Wadi’iy. Kedua tokoh inilah yang kemudian memberikan pengaruh besar terhadap munculnya gerakan Salafi ekstrem, atau –meminjam istilah Abu Abdirrahman al-Thalibi- gerakan Salafi Yamani.
Perbedaan pandangan antara pelaku gerakan Salafi modern setidaknya mulai mengerucut sejak terjadinya Perang Teluk yang melibatkan Amerika dan Irak yang dianggap telah melakukan invasi ke Kuwait. Secara khusus lagi ketika Saudi Arabia “mengundang” pasukan Amerika Serikat untuk membuka pangkalan militernya di sana. Saat itu, para ulama dan du’at di Saudi –secara umum- kemudian berbeda pandangan: antara yang pro dengan kebijakan itu dan yang kontra.Sampai sejauh ini sebenarnya tidak ada masalah, karena mereka umumnya masih menganggap itu sebagai masalah ijtihadiyah yang memungkinkan terjadinya perbedaan tersebut. Namun berdasarkan informasi yang penulis dapatkan nampaknya ada pihak yang ingin mengail di air keruh dengan “membesar-besarkan” masalah ini. Secara khusus, beberapa sumber menyebutkan bahwa pihak Menteri Dalam Negeri Saudi Arabia saat itu–yang selama ini dikenal sebagai pejabat yang tidak terlalu suka dengan gerakan dakwah yang ada- mempunyai andil dalam hal ini. Upaya inti yang dilakukan kemudian adalah mendiskreditkan mereka yang kontra sebagai khawarij, quthbiy (penganut paham Sayyid Quthb), sururi (penganut paham Muhammad Surur ibn Zain al-‘Abidin), dan yang semacamnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar