Ayesha Kim,Kini ia dikenal sebagai "mercusuar" iman untuk wanita Korea
Dari namanya, orang akan tahu dari mana dia berasal. Ia sengaja tak membuang Kim dari nama barunya, Ayesha, setelah masuk Islam. Kim adalah identitas Koreanya.
Kini ia dikenal sebagai "mercusuar" iman untuk wanitaKorea , dan khususnya bagi siswa perempuan negara itu. Dia membimbing mereka menuju jalan Kebenaran Islam. Ia aktif berdakwah, dari kampus ke kampus. Ia lebih menyukai pendekatan logika dalam mengajarkan Islam.
Islam pertama kali datang pada suaminya, Imam Mahdevoon, yang kini ketua Persatuan Muslim di Korea Selatan. Perdebatan panjang beralhir pada tekad, mereka berdua akan selalu bersama untuk melintasi jalan Kebenaran.
Aisyah mampu menemukan kebenaran di tengah-tengah perang dahsyat yang berkobar ketika ia memilih Islam untuk agamanya. Ia mengadopsi nama Ayesha Islam setelah nama istri mulia Rasulullah SAW. Dia berpikir bahwa akan menjadi sumber berkat bagi dirinya. "Serangan misionaris di Korea sangat gencar, saya nyaris berbelok sebelum dalam Islam yang saya menemukan kebenaran yang saya yakini."
Ketika ditanya tentang keterlibatan awal dirinya dengan Islam, ia pertama diam dan memejamkan mata, seolah-olah dia berusaha mencari sesuatu yang tersembunyi dalam relung hatinya. Setelah beberapa saat terdiam, ia melanjutkan, ia ingin ketenangan dalam hidup. Suaminya, telah lebih dulu berislam.
"Kebenaran suara hati saya mendorong saya bahwa ada satu-satunya cara untuk mencapai Kebenaran," ujarnya.
Pada waktu yang sama pecah Perang Korea yang memaksanya untuk berpindah sampai ke pelabuhan Pusan. Ia makin merenungi makna hidup. "Akhirnya saya berkata pada suami saya bahwa "oke, saya akan masuk Islam" setelah saya melihat, memang Islamlah satu-satunya benteng untuk menyelamatkan diri kita sendiri serta masyarakat," katanya.
Tentang keterlibatannya dalam dunia dakwah, tak lepas dari persinggungannya dengan Omar Kim, mualaf Korea pada tahun 1950-an.
"Dia telah memeluk Islam secara terbuka. Sebelum meninggal dia pernah berpesan, tepatnya mendesak kami, untuk menyebarkan pesan-pesan Islam dan mengundang orang untuk menerima Islam," ujarnya.
Usai perang, ia melaksanakan amanah Kim. Ia mendatangi keluarga korban dan menguatkan. Beberapa tertarik masuk Islam, beberapa lagi tetap menganut agama lamanya, namun hubungan mereka tetap terjalin hingga bertahun-tahun kemudian.
Setelah ini, dia mengarahkan perhatian terhadap anak-anaknya. Dia berkata, "Saya hanya memiliki dua anak perempuan saya menahan kesulitan tentang mereka. Tapi saya menyadari bahwa setelah semua ini, kebenaran yang bicara."
Yang dia ceritakan, adalah anak sulungnya. Ingin "merdeka", ia menolak segala bentuk campur tangan orang tuanya. Namun di usia 25 tahun, ia menerima berita lain, "Hati saya tenang bila mendengar Alquran dibacakan. Tapi saya akan mencari informasi yang maksimal tentang Islam sebelum memutuskan (untuk bersyahadat atau tidak)," ia menirukan omongan anaknya.
Setelah beberapa waktu, dia juga menerima Islam. Namanya diubah dari Yoong menjadi Jamila. Dia menikah dengan seorang Muslim Korea. "Putri saya yang lebih muda menerima Islam pada usia 20. Dia juga menikah dengan seorang Muslim Korea. Dia tinggal di Korea di dekat kami."
Ia tenang, mempunyai sandaran yang bisa diandalkan. "saya telah mempercayakan seluruh persoalan kepada Allah. Anggota keluarga yang lain belum Muslim, tapi saya telah mempertahankan hubungan ini tetap harmonis sesuai dengan prinsip-prinsip Islam," ujarnya.
Ia kini aktif berdakwah di kalangan wanita Korea. "Saya telah mendorong banyak wanita Korea untuk menerima Islam, saya telah membuat mereka memahami bagaimana Islam melindungi hak-hak bersama pasangan yang telah menikah, dan bagaimana Islam menyediakan dasar untuk kehidupan keluarga.. Segala puji bagi Allah, saya telah berhasil membimbing sejumlah besar wanita ke jalan Kebenaran."
Usaha ini bukannya tanpa rintangan. "Kesulitan lain adalah bahwa gadis-gadis yang baru menjadi Muslim harus tinggal di sebuah masyarakat di mana agama mayoritas memiliki otoritas. Untuk alasan ini, dalam rangka menjaga semangat gadis-gadis ini, adalah penting untuk mengatur pertahanan yang efektif. Pertahanan itu datang hanya melalui lembaga pendidikan Muslim. "
Ia bersyukur, para mualaf Korea cukup istikamah. Mereka umumnya juga menjadi pendakwah baru, seperti dirinya. Mereka juga terus didorong untuk aktif melakukan kegiatan sosial. "Itulah sesungguhnya inti pesan Islam, menjadi rahmat bagi siapa saja di sekelilingnya," ujarnya.
Kini ia dikenal sebagai "mercusuar" iman untuk wanita
Islam pertama kali datang pada suaminya, Imam Mahdevoon, yang kini ketua Persatuan Muslim di Korea Selatan. Perdebatan panjang beralhir pada tekad, mereka berdua akan selalu bersama untuk melintasi jalan Kebenaran.
Aisyah mampu menemukan kebenaran di tengah-tengah perang dahsyat yang berkobar ketika ia memilih Islam untuk agamanya. Ia mengadopsi nama Ayesha Islam setelah nama istri mulia Rasulullah SAW. Dia berpikir bahwa akan menjadi sumber berkat bagi dirinya. "Serangan misionaris di Korea sangat gencar, saya nyaris berbelok sebelum dalam Islam yang saya menemukan kebenaran yang saya yakini."
Ketika ditanya tentang keterlibatan awal dirinya dengan Islam, ia pertama diam dan memejamkan mata, seolah-olah dia berusaha mencari sesuatu yang tersembunyi dalam relung hatinya. Setelah beberapa saat terdiam, ia melanjutkan, ia ingin ketenangan dalam hidup. Suaminya, telah lebih dulu berislam.
"Kebenaran suara hati saya mendorong saya bahwa ada satu-satunya cara untuk mencapai Kebenaran," ujarnya.
Pada waktu yang sama pecah Perang Korea yang memaksanya untuk berpindah sampai ke pelabuhan Pusan. Ia makin merenungi makna hidup. "Akhirnya saya berkata pada suami saya bahwa "oke, saya akan masuk Islam" setelah saya melihat, memang Islamlah satu-satunya benteng untuk menyelamatkan diri kita sendiri serta masyarakat," katanya.
Tentang keterlibatannya dalam dunia dakwah, tak lepas dari persinggungannya dengan Omar Kim, mualaf Korea pada tahun 1950-an.
"Dia telah memeluk Islam secara terbuka. Sebelum meninggal dia pernah berpesan, tepatnya mendesak kami, untuk menyebarkan pesan-pesan Islam dan mengundang orang untuk menerima Islam," ujarnya.
Usai perang, ia melaksanakan amanah Kim. Ia mendatangi keluarga korban dan menguatkan. Beberapa tertarik masuk Islam, beberapa lagi tetap menganut agama lamanya, namun hubungan mereka tetap terjalin hingga bertahun-tahun kemudian.
Setelah ini, dia mengarahkan perhatian terhadap anak-anaknya. Dia berkata, "Saya hanya memiliki dua anak perempuan saya menahan kesulitan tentang mereka. Tapi saya menyadari bahwa setelah semua ini, kebenaran yang bicara."
Yang dia ceritakan, adalah anak sulungnya. Ingin "merdeka", ia menolak segala bentuk campur tangan orang tuanya. Namun di usia 25 tahun, ia menerima berita lain, "Hati saya tenang bila mendengar Alquran dibacakan. Tapi saya akan mencari informasi yang maksimal tentang Islam sebelum memutuskan (untuk bersyahadat atau tidak)," ia menirukan omongan anaknya.
Setelah beberapa waktu, dia juga menerima Islam. Namanya diubah dari Yoong menjadi Jamila. Dia menikah dengan seorang Muslim Korea. "Putri saya yang lebih muda menerima Islam pada usia 20. Dia juga menikah dengan seorang Muslim Korea. Dia tinggal di Korea di dekat kami."
Ia tenang, mempunyai sandaran yang bisa diandalkan. "saya telah mempercayakan seluruh persoalan kepada Allah. Anggota keluarga yang lain belum Muslim, tapi saya telah mempertahankan hubungan ini tetap harmonis sesuai dengan prinsip-prinsip Islam," ujarnya.
Ia kini aktif berdakwah di kalangan wanita Korea. "Saya telah mendorong banyak wanita Korea untuk menerima Islam, saya telah membuat mereka memahami bagaimana Islam melindungi hak-hak bersama pasangan yang telah menikah, dan bagaimana Islam menyediakan dasar untuk kehidupan keluarga.. Segala puji bagi Allah, saya telah berhasil membimbing sejumlah besar wanita ke jalan Kebenaran."
Usaha ini bukannya tanpa rintangan. "Kesulitan lain adalah bahwa gadis-gadis yang baru menjadi Muslim harus tinggal di sebuah masyarakat di mana agama mayoritas memiliki otoritas. Untuk alasan ini, dalam rangka menjaga semangat gadis-gadis ini, adalah penting untuk mengatur pertahanan yang efektif. Pertahanan itu datang hanya melalui lembaga pendidikan Muslim. "
Ia bersyukur, para mualaf Korea cukup istikamah. Mereka umumnya juga menjadi pendakwah baru, seperti dirinya. Mereka juga terus didorong untuk aktif melakukan kegiatan sosial. "Itulah sesungguhnya inti pesan Islam, menjadi rahmat bagi siapa saja di sekelilingnya," ujarnya.
Saat depresi,Alisya Braja temukan ketenangan dalam islam
Suasana Masjid Agung Sunda Kelapa, seperti biasa, begitu tenang dan rindang. Tampak terlihat jamaah yang sedang shalat, mengaji atau berdiskusi santai. Suasana tampak berbeda ketika menaiki lantai empat gedung utama.
Selembar kertas bertuliskan "Pembinaan Mualaf" menempel di pintu berwarna coklat. Jelas terdengar suara ustad yang mengatakan "Anda-anda yang hadir disini merupakan tamu-tamu Allah SWT. Apa yang anda kerjakan hari ini akan mendapatkan balasan yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya," kata si Ustad.
Perkataan ustad itu tampaknya tepat dengan pengalaman Alisya Braja. perempuan yang sudah memutuskan memeluk Islam tiga tahun lalu. Perempuan yang bernama lengkap Alisya Fianne Jane Braja tidak pernah membayangkan apa yang dia dengar menghantarkan dirinya pada Islam.
Dia mendapatkan petunjuk di saat ia tidak tenang dengan kehidupan yang dijalaninya. Dia depresi, gagal dalam pekerjaan dan mempertahankan rumah tangganya. "Pada saat itu saya tertekan tapi tidak ada yang membantu saya bahkan teman satu keyakinan. Jadi, saya harus berdoa sendiri dan menyelesaikan masalah sendiri," papar dia kepada republika.co.id.
Ketiadaan bantuan dan kondisi psikologis membuat dirinya berada di persimpangan. Disatu sisi, dia dihadapkan pilihan apakah menyelesaikan masalah itu dengan hal-hal berbau hura-hura. Artinya dia harus merapat pada teman-temannya yang memang suka bersenang-senang berlebihan.
Pilihan kedua, dia mendekan pada temannya yang Muslim. Teman-teman yang dianggapnya memberikan rasa iri lantaran rasa tenang yang terpancar ketika mereka selesai menjalankan shalat dan mengaji. "Saya benar-benar berada di ujung persimpangan," kata Alisya yang mengaku dulu memeluk Katholik.
Namun Sang Pencipta menghendaki ia mendekati teman-temannya yang muslim. Dia pun semakin tertarik melihat teman-temanya shalat lima waktu. Dia juga kian terlibat dengan aktivitas keagamaannya teman-temannya di masjid.
Hingga, teman-temannya itu merasa aneh dengan prilakunya "Teman saya waktu itu bahkan bilang ke saya, 'Kamu tidak masalah kalau saya mau ngaji dulu?'. Dia pun tidak memaksa saya masuk. Akhirnya saya pun menunggu diluar. kala itu, ustad yang tengah berbicara adalah Quraish Shihab," papar istri dari Oktobrawijya Tri
Apa yang didengarnya, membuat dia ketagihan. Alisya pun mengikuti pengajian selepas kantor setiap Senin dan Kamis. Rasa merinding berbalut dengan tenang seperti obat yang manjur bagi depresi yang tengah diderita Alisya.
Dia mengaku seolah diarahkan untuk beralih. "Hati saya bergejolak dan seolah rindu untuk datang ke masjid Sunda Kelapa. Saya bilang ke teman saya, kalau kesini lagi saya ikut dong," kata perempuan kelahiran Manado 38 tahun lalu ini.
Mendengar kemudian mendalami, demikian langkah Alisya. Dia pun meniatkan membeli Alquran di sebuah toko buku. Kemudian secara sembunyi-sembunyi Alisya mulai membandingkan Injil dengan Quran. Sejak 2004, Alisya mulai mempelajari Islam.
Hingga pada suatu ketika, dirinya bermimpi. Dalam mimpi itu disebutkan, "Hanya Muhammad utusan Allah, dan hanya Alquranlah yang paling benar." Alisya pun memberanikan diri untuk bertanya pada Ustad Rahim, yang kebetulan memang salah seorang pembina mualaf.
"Saat itu dia mengatakan itu merupakan hidayah yang diberikan Allah SWT kepada kamu. Kamis bertanya pada ustad tentang mimpi itu, Ahadnya saya memutuskan masuk Islam," cerita Alisya.
Setelah masuk Islam, Alisya mulai belajar shalat dan surat-surat Quran untuk bacaan shalat. Saat itu, Alisya secara perlahan dibimbing untuk membaca Alfatihah saja atau Allahuakbar, Allahuakbar. Di awal ia mengaku kadang ia melaksanakan shalat selalu lebih cepat dari saudara-saudaranya yang lain.
Ia pun mengakali itu dengan membuat tulisan bacaan surat lalu ditempelkan di dinding. Saat saudara-saudara semuslim lain bertanya apakah dirinya mualaf, Alisya mengaku terharu. Pasalnya, mereka berkata agar tidak merasa berat dalam mengerjakan shalat. "Itu yang membuat saya merasa didukung. Saya terharu," ujarnya mulai meneteskan air mata.
Setelah fasih melaksanakan shalat, Alisya mulai belajar berdoa. Doa yang pertama kali diucapkannya adalah meminta keluarganya menerima dirinya. Hal itu terus dilakukannya hingga tahun 2008, dia mendapatkan kesempatan untuk umrah.
Di Baitullah dia kembali dikejutkan dengan kuasa-Nya. Ritual umrah dijalaninya dengan penuh kemudahan. Dia pun merasa tegang sekaligus merinding. Dihadapan kabah ia diberdoa, agar keluarganya bisa menerimanya.
Doa itu pun dikabulkan yang Maha kuasa. Sepulangnya dari Makkah, dia mendapat telepon dari keluarganya di Manado. Dia pun terkejut. "Keluarga saya menelpon sekitar Juni akhir, sampai saya menangis doa saya didengarkan," kata ibu dari tiga anak ini.
Keluarganya ternyata ingin bertemu dengannya. Komunikasi pun lancar layaknya tanpa ada masalah. Hingga kini, Alisya dengan keluarganya selalu berkomunikasi. "Mereka menghargai saya sebagai seorang Muslim, dan saya menghargai mereka sebagai seorang nasrani," ujarnya.
Bahkan komunikasi yang terjalin sudah sampai pada pembahasan tentang Islam. Alisya mengatakan dia banyak mendapat pertanyaan tentang teroris dan jihad dari mereka. Dia pun menjelaskan kepada keluarganya bahwa hal itu bukanlah Islam sesungguhnya.
Kini, Alisya mulai menerjuni dunia mubaligh. Bersama-sama teman-temannya yang mualaf ia mendirikan paguyuban mualaf Masjid Agung Sunda Kelapa. Harapannya, para mualaf memiliki wadah untuk berbagi dan belajar tentang Islam. Ia ingin terlibat membantu saudara-saudaranya yang memang membutuhkan arahan tentang mengenal Islam dan mempelajarinya. Hal yang sama juga ditujukan pada keluarganya. "Saya berharap keluarga saya diselamatkan atau diberi hidayah seperti saya."[Republika]
Selembar kertas bertuliskan "Pembinaan Mualaf" menempel di pintu berwarna coklat. Jelas terdengar suara ustad yang mengatakan "Anda-anda yang hadir disini merupakan tamu-tamu Allah SWT. Apa yang anda kerjakan hari ini akan mendapatkan balasan yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya," kata si Ustad.
Perkataan ustad itu tampaknya tepat dengan pengalaman Alisya Braja. perempuan yang sudah memutuskan memeluk Islam tiga tahun lalu. Perempuan yang bernama lengkap Alisya Fianne Jane Braja tidak pernah membayangkan apa yang dia dengar menghantarkan dirinya pada Islam.
Dia mendapatkan petunjuk di saat ia tidak tenang dengan kehidupan yang dijalaninya. Dia depresi, gagal dalam pekerjaan dan mempertahankan rumah tangganya. "Pada saat itu saya tertekan tapi tidak ada yang membantu saya bahkan teman satu keyakinan. Jadi, saya harus berdoa sendiri dan menyelesaikan masalah sendiri," papar dia kepada republika.co.id.
Ketiadaan bantuan dan kondisi psikologis membuat dirinya berada di persimpangan. Disatu sisi, dia dihadapkan pilihan apakah menyelesaikan masalah itu dengan hal-hal berbau hura-hura. Artinya dia harus merapat pada teman-temannya yang memang suka bersenang-senang berlebihan.
Pilihan kedua, dia mendekan pada temannya yang Muslim. Teman-teman yang dianggapnya memberikan rasa iri lantaran rasa tenang yang terpancar ketika mereka selesai menjalankan shalat dan mengaji. "Saya benar-benar berada di ujung persimpangan," kata Alisya yang mengaku dulu memeluk Katholik.
Namun Sang Pencipta menghendaki ia mendekati teman-temannya yang muslim. Dia pun semakin tertarik melihat teman-temanya shalat lima waktu. Dia juga kian terlibat dengan aktivitas keagamaannya teman-temannya di masjid.
Hingga, teman-temannya itu merasa aneh dengan prilakunya "Teman saya waktu itu bahkan bilang ke saya, 'Kamu tidak masalah kalau saya mau ngaji dulu?'. Dia pun tidak memaksa saya masuk. Akhirnya saya pun menunggu diluar. kala itu, ustad yang tengah berbicara adalah Quraish Shihab," papar istri dari Oktobrawijya Tri
Apa yang didengarnya, membuat dia ketagihan. Alisya pun mengikuti pengajian selepas kantor setiap Senin dan Kamis. Rasa merinding berbalut dengan tenang seperti obat yang manjur bagi depresi yang tengah diderita Alisya.
Dia mengaku seolah diarahkan untuk beralih. "Hati saya bergejolak dan seolah rindu untuk datang ke masjid Sunda Kelapa. Saya bilang ke teman saya, kalau kesini lagi saya ikut dong," kata perempuan kelahiran Manado 38 tahun lalu ini.
Mendengar kemudian mendalami, demikian langkah Alisya. Dia pun meniatkan membeli Alquran di sebuah toko buku. Kemudian secara sembunyi-sembunyi Alisya mulai membandingkan Injil dengan Quran. Sejak 2004, Alisya mulai mempelajari Islam.
Hingga pada suatu ketika, dirinya bermimpi. Dalam mimpi itu disebutkan, "Hanya Muhammad utusan Allah, dan hanya Alquranlah yang paling benar." Alisya pun memberanikan diri untuk bertanya pada Ustad Rahim, yang kebetulan memang salah seorang pembina mualaf.
"Saat itu dia mengatakan itu merupakan hidayah yang diberikan Allah SWT kepada kamu. Kamis bertanya pada ustad tentang mimpi itu, Ahadnya saya memutuskan masuk Islam," cerita Alisya.
Setelah masuk Islam, Alisya mulai belajar shalat dan surat-surat Quran untuk bacaan shalat. Saat itu, Alisya secara perlahan dibimbing untuk membaca Alfatihah saja atau Allahuakbar, Allahuakbar. Di awal ia mengaku kadang ia melaksanakan shalat selalu lebih cepat dari saudara-saudaranya yang lain.
Ia pun mengakali itu dengan membuat tulisan bacaan surat lalu ditempelkan di dinding. Saat saudara-saudara semuslim lain bertanya apakah dirinya mualaf, Alisya mengaku terharu. Pasalnya, mereka berkata agar tidak merasa berat dalam mengerjakan shalat. "Itu yang membuat saya merasa didukung. Saya terharu," ujarnya mulai meneteskan air mata.
Setelah fasih melaksanakan shalat, Alisya mulai belajar berdoa. Doa yang pertama kali diucapkannya adalah meminta keluarganya menerima dirinya. Hal itu terus dilakukannya hingga tahun 2008, dia mendapatkan kesempatan untuk umrah.
Di Baitullah dia kembali dikejutkan dengan kuasa-Nya. Ritual umrah dijalaninya dengan penuh kemudahan. Dia pun merasa tegang sekaligus merinding. Dihadapan kabah ia diberdoa, agar keluarganya bisa menerimanya.
Doa itu pun dikabulkan yang Maha kuasa. Sepulangnya dari Makkah, dia mendapat telepon dari keluarganya di Manado. Dia pun terkejut. "Keluarga saya menelpon sekitar Juni akhir, sampai saya menangis doa saya didengarkan," kata ibu dari tiga anak ini.
Keluarganya ternyata ingin bertemu dengannya. Komunikasi pun lancar layaknya tanpa ada masalah. Hingga kini, Alisya dengan keluarganya selalu berkomunikasi. "Mereka menghargai saya sebagai seorang Muslim, dan saya menghargai mereka sebagai seorang nasrani," ujarnya.
Bahkan komunikasi yang terjalin sudah sampai pada pembahasan tentang Islam. Alisya mengatakan dia banyak mendapat pertanyaan tentang teroris dan jihad dari mereka. Dia pun menjelaskan kepada keluarganya bahwa hal itu bukanlah Islam sesungguhnya.
Kini, Alisya mulai menerjuni dunia mubaligh. Bersama-sama teman-temannya yang mualaf ia mendirikan paguyuban mualaf Masjid Agung Sunda Kelapa. Harapannya, para mualaf memiliki wadah untuk berbagi dan belajar tentang Islam. Ia ingin terlibat membantu saudara-saudaranya yang memang membutuhkan arahan tentang mengenal Islam dan mempelajarinya. Hal yang sama juga ditujukan pada keluarganya. "Saya berharap keluarga saya diselamatkan atau diberi hidayah seperti saya."[Republika]
Mahasiswa asal Iowa AS dapat Hidayah saat Berwisata di Spanyol
Hidayah memang bisa datang dari arah yang tak terduga. Bagi Karima Burns, mahasiswa asal Iowa , Amerika Serikat, hidayah justru datang saat ia tengah berwisata ke Spanyol.
Pemandu wisatanya mengajaknya ke Masjid Alhambra di Granada, Spanyol. Melihat banyak ejaan Arab bertebaran di bangunan yang kini menjadi salah satu daya tarik wisata panyol ini, ia tertegun. "Itu adalah bahasa yang paling indah yang pernah kulihat," ujarnya.
"Bahasa apa itu?" ia berkata seorang turis Spanyol. "Bahasa Arab," jawab mereka.
Hari berikutnya, ketika petugas tur ditanya tentang bahasa apa yang dia ingin di buku turnya, ia menjawab, "Arab."
"Arab?" katanya, terkejut. "Apakah Anda bisa berbicara bahasa Arab?"
"Tidak," Karima menjawab. "Dapatkah Anda memberi saya satu dalam bahasa Inggris juga?"
Pada akhir perjalanan, tasnya penuh brosur berbahasa Arab. "Aku memperlakukannya seolah-olah mereka terbuat dari emas. Aku akan membukanya setiap malam dan melihat huruf-huruf yang mengalir di seluruh halaman," ujarnya.
Hari itu dia bertekad, akan belajar bahasa Arab.
***
Karima dibesarkan di Midwest. Orang tuanya penganut agama yang taat. Namun Karima selalu bertanya-tanya, mengapa berdoa pada Tuhan harus melalui perantara? "Aku intuitif merasa bahwa ada sesuatu yang salah dengan itu. Tanpa memberitahu siapa pun, aku diam-diam berdoa kepada "Tuhan." Saya sungguh-sungguh percaya bahwa hanya ada satu entitas berdoa. Tapi, aku merasa bersalah karena ini bukan apa yang telah agama lama saya ajarkan."
Suatu hari, acara bersilaturahim ke rumah guru rohaninya semakin membulatkan tekad untuk meninggalkan agama itu. "Aku melihat rak penuh dengan Alkitab. Aku bertanya apa saja kitab itu. "Versi berbeda dari Alkitab," jawab guruku. Ini tampaknya tidak terganggu dia sama sekali bahwa ada begitu banyak versi yang berbeda. Tapi, itu menggangguku. Beberapa dari mereka benar-benar berbeda dan beberapa bab bahkan hilang dari Alkitab yang aku punya. Aku sungguh bingung," ujarnya.
***
Muslim gugur usai, Karima kembali ke kampusnya di Northwestern University. Liburan ke Spanyol, sungguh mencerahkannya.
Ia seolah menemukan alternatif dari kebuntuannya. "Aku telah meninggalkan gereja hanya beberapa bulan sebelum pergi berlibur dan tidak tahu ke mana harus berpaling. Aku tahu bahwa aku tidak nyaman dengan apa yang apa yang diajarkan selama ini, tapi aku tidak tahu apakah ada alternatif lain," katanya.
Kembali ke kampus, ia mengambil kelas bahasa Arab juga. "Aku ingat, aku adalah salah satu dari hanya tiga orang di kelas yang sangat tidak populer itu," ujarnya terkekeh.
Ia menenggelamkan diri dalam studi bahasa Arab dengan gairah yang menyala. Ia senang mengerjakan PR kaligrafi dan ia pergi ke daerah-daerah Arab di Chicago hanya untuk melacak botol Coca Cola yang ditulis dalam bahasa itu.
Hingga suatu hari, ia berkenalan dengan Alquran. Salah satu tugasnya, adalah menyalin beberapa ayat. Bukannya mengerjakan, dia malah asyik berselancar dari satu ayat ke ayat lainnya. "Sungguh indah. Itu yang aku cari selama ini, agama yang menyatakan sangat jelas bahwa hanya ada satu Allah," ujarnya.
Sebuah nama dalam Alquran diyakini sebagai "pemilik versi" Alquran, seperti halnya ada Injil dengan beragam versi. Namun ketika ia mengungkapkan para profesornya, sang profesor terkekeh.
"Hanya ada satu versi Alquran. Yang kau pikir, itu adalah penerjemahnya," ia menirukan sang profesor.
Ia makin mendalami Alquran, bahkan kemudian memutuskan untuk pergi ke Mesir belajar Islam.
Suatu hari seorang teman bertanya mengapa ia tidak masuk Islam jika menyukainya begitu banyak. "Hatiku sudah Muslim," ia menjawab sekenanya.
Namun sang teman menyatakan, bersyahadat tetap harus. Maka, di sebuah masjid di Mesir, ia menyatakan keislamannya.[republika]
Pemandu wisatanya mengajaknya ke Masjid Alhambra di Granada, Spanyol. Melihat banyak ejaan Arab bertebaran di bangunan yang kini menjadi salah satu daya tarik wisata panyol ini, ia tertegun. "Itu adalah bahasa yang paling indah yang pernah kulihat," ujarnya.
"Bahasa apa itu?" ia berkata seorang turis Spanyol. "Bahasa Arab," jawab mereka.
Hari berikutnya, ketika petugas tur ditanya tentang bahasa apa yang dia ingin di buku turnya, ia menjawab, "Arab."
"Arab?" katanya, terkejut. "Apakah Anda bisa berbicara bahasa Arab?"
"Tidak," Karima menjawab. "Dapatkah Anda memberi saya satu dalam bahasa Inggris juga?"
Pada akhir perjalanan, tasnya penuh brosur berbahasa Arab. "Aku memperlakukannya seolah-olah mereka terbuat dari emas. Aku akan membukanya setiap malam dan melihat huruf-huruf yang mengalir di seluruh halaman," ujarnya.
Hari itu dia bertekad, akan belajar bahasa Arab.
***
Karima dibesarkan di Midwest. Orang tuanya penganut agama yang taat. Namun Karima selalu bertanya-tanya, mengapa berdoa pada Tuhan harus melalui perantara? "Aku intuitif merasa bahwa ada sesuatu yang salah dengan itu. Tanpa memberitahu siapa pun, aku diam-diam berdoa kepada "Tuhan." Saya sungguh-sungguh percaya bahwa hanya ada satu entitas berdoa. Tapi, aku merasa bersalah karena ini bukan apa yang telah agama lama saya ajarkan."
Suatu hari, acara bersilaturahim ke rumah guru rohaninya semakin membulatkan tekad untuk meninggalkan agama itu. "Aku melihat rak penuh dengan Alkitab. Aku bertanya apa saja kitab itu. "Versi berbeda dari Alkitab," jawab guruku. Ini tampaknya tidak terganggu dia sama sekali bahwa ada begitu banyak versi yang berbeda. Tapi, itu menggangguku. Beberapa dari mereka benar-benar berbeda dan beberapa bab bahkan hilang dari Alkitab yang aku punya. Aku sungguh bingung," ujarnya.
***
Muslim gugur usai, Karima kembali ke kampusnya di Northwestern University. Liburan ke Spanyol, sungguh mencerahkannya.
Ia seolah menemukan alternatif dari kebuntuannya. "Aku telah meninggalkan gereja hanya beberapa bulan sebelum pergi berlibur dan tidak tahu ke mana harus berpaling. Aku tahu bahwa aku tidak nyaman dengan apa yang apa yang diajarkan selama ini, tapi aku tidak tahu apakah ada alternatif lain," katanya.
Kembali ke kampus, ia mengambil kelas bahasa Arab juga. "Aku ingat, aku adalah salah satu dari hanya tiga orang di kelas yang sangat tidak populer itu," ujarnya terkekeh.
Ia menenggelamkan diri dalam studi bahasa Arab dengan gairah yang menyala. Ia senang mengerjakan PR kaligrafi dan ia pergi ke daerah-daerah Arab di Chicago hanya untuk melacak botol Coca Cola yang ditulis dalam bahasa itu.
Hingga suatu hari, ia berkenalan dengan Alquran. Salah satu tugasnya, adalah menyalin beberapa ayat. Bukannya mengerjakan, dia malah asyik berselancar dari satu ayat ke ayat lainnya. "Sungguh indah. Itu yang aku cari selama ini, agama yang menyatakan sangat jelas bahwa hanya ada satu Allah," ujarnya.
Sebuah nama dalam Alquran diyakini sebagai "pemilik versi" Alquran, seperti halnya ada Injil dengan beragam versi. Namun ketika ia mengungkapkan para profesornya, sang profesor terkekeh.
"Hanya ada satu versi Alquran. Yang kau pikir, itu adalah penerjemahnya," ia menirukan sang profesor.
Ia makin mendalami Alquran, bahkan kemudian memutuskan untuk pergi ke Mesir belajar Islam.
Suatu hari seorang teman bertanya mengapa ia tidak masuk Islam jika menyukainya begitu banyak. "Hatiku sudah Muslim," ia menjawab sekenanya.
Namun sang teman menyatakan, bersyahadat tetap harus. Maka, di sebuah masjid di Mesir, ia menyatakan keislamannya.[republika]
Berhasil Atasi Prasangka Buruk, Richard Beuchamp Total Menerima Islam
Richard Beauchamp duduk di area parkir memandng para Muslim keluar Masuk. Ia tak pernah sekalipun memasuki masjid dan ia gugupBegitu berhasil mengumpulkan keberanian untuk masuk, ia disambut hangat. Lelaki itu mengaku dibesarkan dalam tradisi Baptis, namun ia sangat tertarik Islam.
"Mereka luar biasa baik," ujar Beauchamp, 36 tahun, warga asal
Pada kunjungan berikut bertepatan dengan pelaksanaan shalat Jumat. Beuchamp tidak tahu sama sekali cara Muslim beribadah. Ia pun hanya duduk dan melihat. Hampir semua pria berdiri di lantai. "Kursi hanya digunakan untuk orang tua yang tak sanggup berdiri." ungkapnya. "Saat itu saya larut dalam doa sehingga hampir tidak memperhatikan sekitar."
Apa yang membuat ia tertarik kepada Islam. Rupanya saat usia muda, Beuchamp sudah kecewa dengan Kristen. Ia tidak memahami bagaimana Kristiani meyakini satu Tuhan dan Trinitas sekaligus bersamaan.
Perjalanannya menuju Islam adalah pencarian seorang diri, sesuatu yang umum terjadi pada warga Amerika yang beralih ke Muslim. Ia menemukan Islam lewat buku bahkan sebelum bertemu dan menjalin hubungan dengan seorang Muslim.
Dalam kunjungan rutin ke masjid selama satu tahun, ia meyakini telah menemukan rumah spritual di dalam Islam. Namun Beuchamp menyadari menjadi Muslim berarti mengubah total seluruh
"Saya saat itu memiliki
Saat beralih, ia mendapati respon temannya ternyata jauh lebih keras ketimbang tanggapan kedua orangtuanya. "
Tak dipungkiri oleh Beuchamp, saat tumbuh besar ia memiliki pandangan kelam tentang Muslim. Itu pun sedikit menghambat peralihannya. Cerita-cerita mengenai revolusi
"Benar-benar perjuangan untuk mengatasi prasangka yang telah saya miliki" ungkapnya. Namun pengalaman pertama berkunjung ke masjid langsung mendobrak semua pandangan negatif tadi. "Say menyaksikan orang-orang yang begitu beriman, tulus dan penuh kasih sayang." tuturnya.
Pada 2006, Beucham pergi ke
Ia berkorespondensi lewat internet dengan wanita itu selama enam bulan lalu terbang ke
"Banyak warga Amerika seketika itu memiliki pandangan distorsi terhadap Islam." ujarnya. "Itu sungguh melukai hati saya karena Islam telah membawa rasa damai dan tujuan hidup yang sebelumnya tak pernah saya miliki," (Sumber: Republika)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar