Bab I
Dalam hal pelestarian ajaran agama melalui pengajaran kitab sucinya, Islam telah memulai pelestarian ajaran kitab sucinya jauh sebelum Islam sendiri itu berkembang ke berbagai wilayah di belahan dunia ini. Al-Qur’an memulainya dengan perintah membaca ketika al-Qur’an pertama kali diwahyukan. Allah SWT berfirman :
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ [العلق/1]
Lebih lanjut lagi, setiap kali al-Qur’an itu dibaca, maka diperintahkan untuk menyimaknya. Allah SWT berfirman :
وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآَنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ [الأعراف/204]
Sebagai penguatnya, Allah SWT juga berfirman :
سَنُقْرِئُكَ فَلَا تَنْسَى [الأعلى/6]
Sehingga mempelajari dan mengajarkan al-Qur’an bukan hal yang berlebihan jika Nabi Muhammad SAW mengautkan hal tersebut melalui sabdanya yang berbunyi :
وعن عثمان بن عفان رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: خيركم من تعلم القرآن وعلمه رواه البخاري.
Dari keterangan diatas dapat difahami bahwa, pengajaran al-Qur’an pada setiap generasi muslim merupakan hal yang tidak dapat ditawar-tawar. Kenyataan yang dapat dilihat di Indonesia , pengajaran al-Qur’an telah banyak dimulai sejak usia dini anak-anak muslim Indonesia . Pengajaran al-Qur’an tersebut adakalanya dilakukan dalam lingkup keluarga, jika orang tua mampu dan berkesempatan mendidik anaknya secara langsung. Namun, jika tidak mampu dan tidak memiliki kesempatan orang tua dapat menyerahkan pengajaran al-Qur’an anaknya kepada lembaga pesantren atau taman pendidikan al-Qur’an yang banyak tersebar di masjid di berbagai daerah di Indonesia .
Bab II
Keadilan merupakan harapan setiap individu dan kelompok. Dengan keadilan, akan terwujud keseimbangan hidup di masyarakat luas. Allah SWT memerintahkan untuk berbuat adil dalam firman-Nya :
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ [النحل/90]
Di sisi lain, keadilan mendekati ketakwaan kepada Allah SWT. Hal ini dibuktikan dengan firman Allah SWT:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآَنُ قَوْمٍ عَلَى أَلَّا تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ [المائدة/8]
Dalam konteks pendidikan, al-Ghazali menjelaskan larangan menyampaikan materi di luar jangkauan akal peserta didik, karena akan menyebabkan kerusakan pada akal mereka. Pendapat al-Ghazali ini didasarkan pada hadits Nabi Muhammad SAW yang berberbunyi :
نحن معاشر الأنبياء أمرنا أن ننزل الناس منازلهم ونكلمهم على قدر عقولهم
Sehingga ketika seorang guru al-Qur’an Hadits di sebuah Madrasah Tsanawiyah tertentu menyampaikan i’jaz al-Qur’an dengan menyampaikan ayat :
وَإِنْ كُنْتُمْ فِي رَيْبٍ مِمَّا نَزَّلْنَا عَلَى عَبْدِنَا فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِنْ مِثْلِهِ وَادْعُوا شُهَدَاءَكُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ [البقرة/23]
Maka siswa hanya tercengang terheran-heran menatap sang guru dengan penuh tanda tanya, apa yang dibaca guruku ini?
Bab III
Nabi Muhammad SAW pernah bersabda :
فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ يَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّهَا ضَلَالَةٌ فَمَنْ أَدْرَكَ ذَلِكَ مِنْكُمْ فَعَلَيْهِ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ
Kehati-hatian dalam menghapus nama Allah di manapun tempatnya, merupakan hal yang pernah dilakukan pada masa al-khulafa’ al-rasyidun dan memang harus diikuti. Akan tetapi, jika hal itu diterapkan sekarang di Indonesia, maka proses pendidikan anak hanya akan disibukkan dengan hapus menghapus nama Allah yang tertulis di papan atau kertas. Padahal, disisi lain, pendidikan di Indonesia masih harus dihadapakan berbagai macam permasalahan. Misalnya : pemerataan pendidikan, peningkatan mutu pendidikan, biaya pendidikan dan lain sebagainya. Sehingga ketika dihadapkan dengan masalah penghapusan nama Allah, ada baiknya jika berpegang pada pendapat fuqaha’ yang berbunyi :
الْمَشَقَّةُ تَجْلِبُ التَّيْسِيرَ
Yang disimpulkan dari firman Allah SWT dan Hadits Nabi Muhammad SAW berikut ini :
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ
الْآنَ خَفَّفَ اللَّهُ عَنْكُمْ وَعَلِمَ أَنَّ فِيكُمْ ضَعْفًا
يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمْ الْيُسْرَ
يُرِيدُ اللَّهُ أَنْ يُخَفِّفَ عَنْكُمْ
وَيَضَعُ عَنْهُمْ إصْرَهُمْ وَالْأَغْلَالَ الَّتِي كَانَتْ عَلَيْهِمْ
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إلَّا وُسْعَهَا
بُعِثْتُ بِالْحَنِيفِيَّةِ السَّمْحَةِ
Bab IV
Dalam Islam, setiap perbuatan, baik atau buruknya akan selalu mendapat balasan. Allah SWT berfirman :
إِنْ أَحْسَنْتُمْ أَحْسَنْتُمْ لِأَنْفُسِكُمْ وَإِنْ أَسَأْتُمْ فَلَهَا [الإسراء/7]
لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا الْحُسْنَى وَزِيَادَةٌ [يونس/26]
وَجَزَاءُ سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِثْلُهَا [الشورى/40]
Dalam dunia pendidikan, bagi seorang guru tidak diperkenankan menghukum siswanya langsung berupa hukuman fisik. Namun dengan beberapa tahapan, antara lain : memberi peringatan, mejelaskan yang salah sebagai kesalahan, mengalihkan segera kepada hal yang positif, menghukum dengan cara mengasingkan anak, menghukum dengan pukulan.
Bab V
Menghafal al-Qur’an memang banyak memberi manfaat bagi diri sendiri, orang lain dan agama. Namun di sisi lain, jika “lupa” dalam arti tidak hafal lagi karena kelengahannya walaupun masih dapat membacanya, maka termasuk dosa besar. Sehingga dalam masalah ini, memang seharusnya seorang guru mendapatkan izin orang tua siswa jika ingin menghafal al-Qur’an. Kenyataan di Indonesia, lembaga yang menggodok muridnya menjadi penghafal al-Qur’an sudah barang tentu calon murid mendapat izin dari orang tuanya. Pada lembaga lain yang bukan lembaga penghafalan al-Qur’an, misalnya : Raudlatul Athfal, Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah, Madrasah Aliyah yang didalamnya memuat pelajaran al-Qur’an dan hadits, guru meminta siswa untuk menghafalkan ayat-ayat dan hadits-hadits yang telah diajarkan guna keperluan ujian smester atau ujian akhir madrasah. Jika hal ini harus menunggu persetujuan dan izin wali murid, maka visi dan misi madrasah yang membentuk siswanya berjiwa agamis akan terbentur dengan izin wali murid.
Saling member hadiyah memang dianjurkan oleh Nabi, karena saling member hadiah akan menghilangkan dendam dan mendapat pahala. Nabi Muhammad SAW bersabda :
حَدَّثَنَا خَلَفٌ قَالَ حَدَّثَنَا أَبُو مَعْشَرٍ عَنْ سَعِيدٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَهَادَوْا فَإِنَّ الْهَدِيَّةَ تُذْهِبُ وَغَرَ الصَّدْرِ
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ بَحْرٍ حَدَّثَنَا عِيسَى بْنُ يُونُسَ قَالَ حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْبَلُ الْهَدِيَّةَ وَيُثِيبُ عَلَيْهَا
Namun di sisi lain tidak diperkenankan menerima hadiah sembarangan, karena itu dikawatirkan menjadi sebuah suap terhadap guru. Jika hal itu betul menjadi sebuah suap maka laknat Allah yang akan didapat oleh yang menyuap dan yang disuap. Nabi bersabda :
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ مُحَمَّدٍ حَدَّثَنَا وَكِيعٌ حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي ذِئْبٍ عَنْ خَالِهِ الْحَارِثِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَعْنَةُ اللَّهِ عَلَى الرَّاشِي وَالْمُرْتَشِي
Bab VI
Allah SWT berfirman :
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا [النساء/58]
Sasaran dari ayat ini adalah pimpinan kaum muslim khusus pada Nabi Muhammad dan para pimpinan dibawahnya pada masa itu. Kemudian berlanjut kepada para pemimpin setelahnya. Dalam konteks pendidikan, sekolah dan semua tenaga pendidikan dan kependidikan yang ada di dalamnya yang berkewajiban melaksanakan tugas-tugas pendidikan dan kependidikan yang menjadi sasaran ayat ini.
Dalam hal tugas “investigasi” memang merupakan tugas sekolah yang dalam hal ini biasanya dilakukan oleh wali kelas atau BP atau mungkin bagian Humas. Ketika tugas “investigasi” ini dilakukan oleh teman sejawat dari siswa yang bersangkutan, maka masalah yang timbul akan semakin banyak. Apalagi dalam pelaksanaan hukuman. Seandainya melaksanakan hukuman, sama-sama dipukul misalnya, maka masalah yang timbul akan semakin banyak jika yang melaksanakan hukuman adalah sesama teman.
Bab VII
Di Indonesia, rasanya menjadi hal sulit dilaksanakan jika guru harus membuat jadwal sendiri, karena hal ini merupakan tugas waka kurikulum. Jika tugas menyusun jadwal ini diserahkan kepada masing-masing guru, maka kekacauan jadwal pelajaranlah yang akan terjadi, karena setiap guru akan memilih hari-hari mengajar yang disenangi. Tidak mengajarkan ilmu hitung, merupakan kesalahan fatal, karena perintah zakat tidak dapat terlaksana sesuai nishabnya jika tidak menggunakan ilmu hitung. Dalam hal ini, Mukti Ali mengatakan, anak kecil sebaiknya diajari ilmu matematika sebelum ilmu bahasa, sedangkan setelah dewasa perlu didahulukan pengajaran ilmu logika agar anak menjadi pandai dan tajam analisisnya. Juga merupakan hal yang keliru jika anak tidak diajar ilmu nahwu, karena salah satu sarana untuk memahami isi al-Qur’an adalah dengan ilmu nahwu, sharf, ilmu al-Qur’an dan ilmu tafsir. Jadi bagaimana mungkin mampu memahami isi al-Qur’an tanpa memiliki ilmu-ilmu penunjangnya. Dengan bangga, Allah SWT berfirman :
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ قُرْآَنًا عَرَبِيًّا لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ [يوسف/2]
Disamping itu Nabi Muhammad SAW bersabda :
أَحِبُّوا العَرَبَ لِثَلاَثٍ، ِلأَنِّي عَرَبِيٌّ وَالقُرْأَنُ عَرَبِيٌّ وَلُغَةُ أَهْلِ الجَنَّةِ فىِ الجَنَّةِ عَرَبِيٌّ . رواه الطبراني وغيره
Pemisahan siswa dan siswi adalah ide cemerlang yang selayaknya dilaksanakan. Jika dalam satu kelas terdiri dari dua jenis kelamin yang berbeda dan bukan mahramnya, maka akan mudah terjadi hal-hal yang negatif. Hal-hal negatif ini berawal dari pandangan mata. Mata perupakan pintu terbesar menuju hati dan jalan paling ramai di antara beberapa panca indera. Allah SWT berfirman :
قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ (30) وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا …….[النور/30، 31]
Sedangkan obyek pendidikan adalah hati. Bagaimana bisa, pendidikan berhasil sepenuhnya, jika hati peserta didiknya penuh informasi tentang hal diluar pendidikan ?. Dengan demikian pendidikan yang menerapkan single sex dapat mengoptimalkan hasil pendidikan dan mampu mencegah prilaku negatif anak didiknya.
Sisi negatif system pendidikan single sex ini adalah anak didik yang merasa terkekang pada proses pendidikannya, akan meluapkan segala kebebasanya setelah menjalani pendidikannya. Dan bahkan masih dalam proses pendidikanpun akan melakukan hal-hal yang dilarang. Seperti menyukai sesama jenis. Ini banyak terjadi di pesantren salaf yang super ketat, yang melarang santrinya bertemu dengan lawan jenis bukan mahram.
Namun kendala yang muncul adalah penambahan ruang kelas. Jika ruang kelas bertambah, maka kebutuhan jumlah guru juga akan bertambah. Jika jumlah guru bertambah, maka anggaran belanja Negara juga akan bertambah, jika hal ini terjadi di sekolah-sekolah negeri. Dan anggaran sebuah yayasan akan membengkak pula, jika hal ini terjadi pada sekolah-sekolah swasta. Hanya ada satu lembaga yang telah melaksanakan pemisahan siswa-siswinya dalam kelas khusus, yaitu lembaga pendidikan Islam Pondok Pesantren.
Larangan melaksanakan pendidikan anak di dalam masjid bertentangan dengan ajaran Islam. Nabi Muhammad pernah mengajak cucunya Hasan atau Husain ke masjid ketika hendak menunaikan shalat dhuhur atau ashar. Riwayat tersebut adalah :
حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ قَالَ أَخْبَرَنَا جَرِيرُ بْنُ حَازِمٍ قَالَ ثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ أَبِي يَعْقُوبَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ شَدَّادٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ خَرَجَ عَلَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي إِحْدَى صَلَاتَيْ الْعَشِيِّ الظُّهْرِ أَوْ الْعَصْرِ وَهُوَ حَامِلُ حَسَنٍ أَوْ حُسَيْنٍ فَتَقَدَّمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَوَضَعَهُ ثُمَّ كَبَّرَ لِلصَّلَاةِ فَصَلَّى فَسَجَدَ بَيْنَ ظَهْرَيْ صَلَاتِهِ سَجْدَةً أَطَالَهَا قَالَ إِنِّي رَفَعْتُ رَأْسِي فَإِذَا الصَّبِيُّ عَلَى ظَهَرِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ سَاجِدٌ فَرَجَعْتُ فِي سُجُودِي فَلَمَّا قَضَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الصَّلَاةَ قَالَ النَّاسُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّكَ سَجَدْتَ بَيْنَ ظَهْرَيْ الصَّلَاةِ سَجْدَةً أَطَلْتَهَا حَتَّى ظَنَنَّا أَنَّهُ قَدْ حَدَثَ أَمْرٌ أَوْ أَنَّهُ يُوحَى إِلَيْكَ قَالَ كُلُّ ذَلِكَ لَمْ يَكُنْ وَلَكِنَّ ابْنِي ارْتَحَلَنِي فَكَرِهْتُ أَنْ أُعَجِّلَهُ حَتَّى يَقْضِيَ حَاجَتَهُ
Jika yang dikawatir belum terjaminnya kesucian anak, maka tugas orang tualah yang harus sering mengontol kesucian anaknya sebelum dibawa ke masjid untuk dikenalkan dengan ibadah atau untuk menerima pelajaran al-Qur’an sebagaimana yang dilakukan pada Taman Pendidikan al-Qur’an yang tersebar luas di berbagai wilayah di Indonesia .
Bab VIII
Al-Ghazali memberikan argumentasi secara rasional tentang profesi guru. Ia berpendapat bahwa, keutamaan sebuah profesi atau pekerjaan bisa dilihat dari obyek profesinya. Seorang tukang emas dianggap lebih mulia dari tukang tembaga, karena emas lebih mulia dari tembaga. Profesi seorang guru lebih tinggi kedudukannya dibandingkan dengan profesi lainnya, karena yang menjadi obyeknya adalah hati dan manusia adalah makhluk yang paling mulia. Itulah sebabnya, profesi guru merupakan profesi paling mulia satu tingkat di bawah kenabian.
Selain itu, al-Ghazali juga mengatakan bahwa salah satu tugas seorang guru adalah mengikuti Nabi Muhammad SAW dalam menyampaikan pengajaran tanpa memungut upah, mengajarkan ilmu secara ikhlas karena Allah SWT dan sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Al-Ghazali mengumpamakan orang yang mengajarkan ilmu seperti orang yang meminjamkan tanahnya agar ditanami, kemudian tanaman tersebut akan bermanfaat bagi yang menanami dan yang memiliki tanah tersebut. Oleh karna itu, ia berpendapat bahwa seorang guru tidak dibenarkan menerima apalagi meminta upah dari pengajarannya dengan merujuk pada firman Allah SWT :
وَيَا قَوْمِ لَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مَالًا إِنْ أَجْرِيَ إِلَّا عَلَى اللَّهِ [هود/29]
Perbedaan pendapat ini memiliki tempat masing-masing. Bagi yang berpendapat bahwa seorang guru berhak menerima gaji, maka akan lebih tepat jika diterapkan pada lembaga pendidikan formal. Dan pendapat yang tidak memperbolehkan seorang pengajar menerima upah, maka akan lebih tepat diterapkan pada lembaga non formal, yaitu bagi guru mengaji al-Qur’an di surau atau mushalla dan bagi seorang pengasuh di pondok pesantren.
Bab IX
Dalam hal sewa menyewa Islam mensyaratkan barang yang disewakan harus ada manfaatnya. Al-Qur’an dan kitab fiqih adalah hal yang bermanfaat, oleh karena itu diperbolehkan menyewakannya sebagaimana diperbolehkan menjualnya.
Namun pada saat ini pemerintah telah mengucurkan dana BOS buku pada pendidikan tingkat dasar dan menengah pertama. Hingga pemerintah melarang dua tingkatan jenjang pendidikan tersebut menarik dana apapun kepada wali murid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar