Berkembang Pesat di Tengah Dominasi
Di beberapa kota,jumlah umat Islam lebihbanyak dari pemeluk Protestan dan Yahudi.
Yusuf Assldiq
Disetujuinya rancangan peraturan yang melarang pemakaian cadar di tempat umum oleh parlemen Belgia membawa dimensi baru dalam kehidupan umat Muslim setempat. Belgia akan menjadi negara pertama yang secara resmi melarang pemakaian cadar. Busana khas Muslimah ini memang telah menjadi sasaran tembak kalangan anti-Muslim sejak beberapa tahun terakhir.
Sebelumnya, sebuah Komite di parlemen menyepakati kebijakan ini melalui voting pada akhir bulan lalu. Nantinya, setelah diratifikasi, rancangan peraturan itu barulah diundangkan. Di situ, tercantum pengenaan sanksi bagi yang melanggar, yakni denda sebesar 25 euro atau hukuman kurungan selama tujuh hari.
Kelompok anti-Islam menyambut gembira perkembangan ini. Sejatinya, upaya untuk mengegolkan kebijakan diskriminatif tersebut telah dilakukan sejak 2004. Adapun di tataran komunal, muncul pelarangan-pelarangan dari otoritas sekolah dan tempat kerja di sejumlah distrik terhadap pemakaian cadar atau jilbab. Sulit dimungkiri, munculnya masalah itu karena kekhawatiran yang berlebihan. Anggota parlemen sayap kiri Denis Ducarme menegaskan, peraturan itu bertujuan untuk mengeliminasi ancaman dari kaum radikal Muslim. Ia mengatakan, aturan tegas ini memberikan sinyal yang kuat bagi kelompok Islam tertentu.
Dia berpendapat, ketidakmampuan untuk mengidentifikasi seseorang bisa menimbulkan konsekuensi keamanan yang sangat serius. Denis juga menilai, cadar merupakan penjara berjalan bagi kaum wanita dan mengekang kebebasan mereka. Senada dengan pernyataan tersebut, Ketua Promotor RUU, Daniel Bacquelaine, menduga bahwa cadar bisa saja digunakan untuk menggelar demonstrasi kekerasan dengan menutupi wajah mereka. Ia memperkirakan hanya sekian ratus wanita di Belgia yang bercadar, tetapi diakui trennya mulai meningkat.
"Mengenakan cadar di tempat umum bertentangan dengan karakteristik masyarakat Belgia yang terbuka, liberal, dan toleran," sambungnya. Tensi tinggi melingkupi jantung Eropa ketika keberadaan imigran Muslim yang semakin kuat dirasakan sebagai ancaman, baik dalam arti fisik maupun secara dominasi dan eksistensi. Apa yang timbul di Belgia, Prancis, Swiss, dan lainnya membuktikan sinyal parlemen tadi.
Dari analisis Michael Radu, co-chairman Center on Terorism and Counterterorism, Foreign Policy . Research Institute of Philadelphia, Eropa Barat kini sedang menghadapi dilema yang pada awalnya dipicu oleh kebijakan yang terlalu membuka diri terhadap imigran. Sejarah mencatat, kawasan ini pernah mengalami derasnya arus kedatangan imigran pada era 1960 dan 1970-an. Ada banyak alasan yang mendasari, antara lain konflik berkepanjangan di negara asal, permintaan suaka politik, mencari pekerjaan, atau menempuh studi.
Berkembang pesat Kemudian, diikuti tumbuhnya komunitas-komu-nitas Muslim di banyak negara Eropa. Kehadiran umat Muslim yang semakin intens dan banyak akhirnya mendapat pengakuan. Di Belgia, misalnya, sejak tahun 1974, Islam sudah diakui sebagai salah satu agama resmi di negara tersebut.
Seolah menemukan momentumnya, Islam lantas menjadi agama dengan perkembangan pesat di seluruh Eropa, tak terkecuali di Belgia. Islam men-jelma sebagai agama terbesar kedua di beberapa negara, peningkatan jumlah pemeluknya juga begitu signifikan. Inilah sumber kecurigaan tadi. Sebagian menganggap, kehadiran imigran Muslim bak menyimpan bom waktu. Sehingga, lanjut Michael Radu, hal itu membuat marak sentimen anti-Islam, kebencian mereka pada Islam tak lagi sebatas retorika, kebijakan, atau kecaman, tetapi mengarah pada kebencian dan Islamofobia.
Sebuah survei pada tahun 2006 menunjukkan, 61 persen masyarakat Belgia meyakini, perselisihan antara Muslim dan warga lokal akan semakin meningkat pada masa mendatang. Faktor pen-dorongnya adalah isu terorisme dan kelompok radikal yang tak kunjung selesai.
Perubahan demografi Terlepas dari situasi tersebut, agama Islam terus menunjukkan eksistensi yang semakin kuat di Belgia. Negara berpenduduk 10 juta jiwa itu kini menjadi tempat bermukim sekitar 628.751 umat Muslim atau enam persen dari populasi.
Islam pun menjadi agama dengan perkembangan paling pesat. Data pada situs riseofislam menyebutkan, pada tahun 1990-an, jumlah umat Muslim baru sekitar 285 ribu jiwa. Namun, pada tahun 1998, angkanya telah meningkat pesat hingga menjadi 350 ribu jiwa. Sejalan dengan itu, tumbuh pula tempat-tempat ibadah dan kegiatan keagamaan. Ada sekitar 300 masjid, mushala, ataupun pusat keislaman di seluruh Belgia. Pemerintah pun, sesuai undang-undang, tidak menghalangi umat beragama, termasuk Muslim, untuk membangun tempat ibadah atau sarana pendidikan.
Islam yang terus bertumbuh kembang menyebabkan perubahan secara demografi. Di banyak wilayah, penduduk Muslim sudah lebih banyak ketimbang pemeluk Protestan dan Yahudi. Majalah terkemuka LExpress dalam sebuah artikelnya bahkan berani memprediksikan bahwa dalam 20 tahun ke depan, Islam bisa menjadi agama dominan di Ibu Kota Brussel.
Kemungkinan itu tidak bisa dikesampingkan. Bila dicermati, di Brussel sendiri, dengan penduduk berjumlah 1,1 juta jiwa, sebanyak 56 persennya adalah imigran. Para sosiolog mencatat, pada awal tahun 2000, jumlah umat Muslim di kota itu mencapai 17 persen dari populasi. Namun, pada 2008, menurut Oivier Servais, dari Laboratory for Prospective
Anthropology di UCL, angkanya sudah mencapai 33,5 persen dari populasi, naik hampir dua kali lipat.
LExpress melihat ada kecenderungan menarik di sini. Dalam beberapa tahun terakhir, warga lokal kulit putih, khususnya dari kelas menengah, memilih pindah ke kota lain, misalnya Waloon Brabant, Flemish Brabant, atau Hainut, yang lebih terjangkau biaya hidupnya.
Ini kebalikan dengan komunitas imigran yang justru mengalami penambahan populasi, baik karena kelahiran maupun kedatangan imigran baru. Brussel pun berangsur masuk kepada situasi yang oleh ahli demografi Prancis, Michele Tribalat, disebut proses perubahan demografi. Fenomena ini tidak hanya muncul di Brussel. Kota-kota besar di Eropa-Barat mengalami hal yang sama. Buku Reflections on the Revolution in Europe Immigration, Islam and the West karya jurnalis Financial Times Christopher Caldwell memerinci, kota-kota itu antara lain adalah Rotterdam dan Marseille (25 persen populasi adalah Muslim); Malmo dan Birmingham (20 persen); serta London, Paris, dan Kopenhagen (10 persen).
Di beberapa kota di Belgia, arus imigran Muslim seolah tak terbendung. Penulis buku Islam in Brussels (Universite de Bruxelles, 2009), Corinne Torrekens, mengatakan, apabila tren ini terus berlanjut, kota-kota, seperti Sint-Jans-Molenbeek, Schaarbeek, Anderlecht, Ganshoren, dan Koekelberg, bisa menjadi ledakan imigran Muslim dengan besaran mencapai 20-30 persen dari populasi, led sya
Di beberapa kota,jumlah umat Islam lebihbanyak dari pemeluk Protestan dan Yahudi.
Yusuf Assldiq
Disetujuinya rancangan peraturan yang melarang pemakaian cadar di tempat umum oleh parlemen Belgia membawa dimensi baru dalam kehidupan umat Muslim setempat. Belgia akan menjadi negara pertama yang secara resmi melarang pemakaian cadar. Busana khas Muslimah ini memang telah menjadi sasaran tembak kalangan anti-Muslim sejak beberapa tahun terakhir.
Sebelumnya, sebuah Komite di parlemen menyepakati kebijakan ini melalui voting pada akhir bulan lalu. Nantinya, setelah diratifikasi, rancangan peraturan itu barulah diundangkan. Di situ, tercantum pengenaan sanksi bagi yang melanggar, yakni denda sebesar 25 euro atau hukuman kurungan selama tujuh hari.
Kelompok anti-Islam menyambut gembira perkembangan ini. Sejatinya, upaya untuk mengegolkan kebijakan diskriminatif tersebut telah dilakukan sejak 2004. Adapun di tataran komunal, muncul pelarangan-pelarangan dari otoritas sekolah dan tempat kerja di sejumlah distrik terhadap pemakaian cadar atau jilbab. Sulit dimungkiri, munculnya masalah itu karena kekhawatiran yang berlebihan. Anggota parlemen sayap kiri Denis Ducarme menegaskan, peraturan itu bertujuan untuk mengeliminasi ancaman dari kaum radikal Muslim. Ia mengatakan, aturan tegas ini memberikan sinyal yang kuat bagi kelompok Islam tertentu.
Dia berpendapat, ketidakmampuan untuk mengidentifikasi seseorang bisa menimbulkan konsekuensi keamanan yang sangat serius. Denis juga menilai, cadar merupakan penjara berjalan bagi kaum wanita dan mengekang kebebasan mereka. Senada dengan pernyataan tersebut, Ketua Promotor RUU, Daniel Bacquelaine, menduga bahwa cadar bisa saja digunakan untuk menggelar demonstrasi kekerasan dengan menutupi wajah mereka. Ia memperkirakan hanya sekian ratus wanita di Belgia yang bercadar, tetapi diakui trennya mulai meningkat.
"Mengenakan cadar di tempat umum bertentangan dengan karakteristik masyarakat Belgia yang terbuka, liberal, dan toleran," sambungnya. Tensi tinggi melingkupi jantung Eropa ketika keberadaan imigran Muslim yang semakin kuat dirasakan sebagai ancaman, baik dalam arti fisik maupun secara dominasi dan eksistensi. Apa yang timbul di Belgia, Prancis, Swiss, dan lainnya membuktikan sinyal parlemen tadi.
Dari analisis Michael Radu, co-chairman Center on Terorism and Counterterorism, Foreign Policy . Research Institute of Philadelphia, Eropa Barat kini sedang menghadapi dilema yang pada awalnya dipicu oleh kebijakan yang terlalu membuka diri terhadap imigran. Sejarah mencatat, kawasan ini pernah mengalami derasnya arus kedatangan imigran pada era 1960 dan 1970-an. Ada banyak alasan yang mendasari, antara lain konflik berkepanjangan di negara asal, permintaan suaka politik, mencari pekerjaan, atau menempuh studi.
Berkembang pesat Kemudian, diikuti tumbuhnya komunitas-komu-nitas Muslim di banyak negara Eropa. Kehadiran umat Muslim yang semakin intens dan banyak akhirnya mendapat pengakuan. Di Belgia, misalnya, sejak tahun 1974, Islam sudah diakui sebagai salah satu agama resmi di negara tersebut.
Seolah menemukan momentumnya, Islam lantas menjadi agama dengan perkembangan pesat di seluruh Eropa, tak terkecuali di Belgia. Islam men-jelma sebagai agama terbesar kedua di beberapa negara, peningkatan jumlah pemeluknya juga begitu signifikan. Inilah sumber kecurigaan tadi. Sebagian menganggap, kehadiran imigran Muslim bak menyimpan bom waktu. Sehingga, lanjut Michael Radu, hal itu membuat marak sentimen anti-Islam, kebencian mereka pada Islam tak lagi sebatas retorika, kebijakan, atau kecaman, tetapi mengarah pada kebencian dan Islamofobia.
Sebuah survei pada tahun 2006 menunjukkan, 61 persen masyarakat Belgia meyakini, perselisihan antara Muslim dan warga lokal akan semakin meningkat pada masa mendatang. Faktor pen-dorongnya adalah isu terorisme dan kelompok radikal yang tak kunjung selesai.
Perubahan demografi Terlepas dari situasi tersebut, agama Islam terus menunjukkan eksistensi yang semakin kuat di Belgia. Negara berpenduduk 10 juta jiwa itu kini menjadi tempat bermukim sekitar 628.751 umat Muslim atau enam persen dari populasi.
Islam pun menjadi agama dengan perkembangan paling pesat. Data pada situs riseofislam menyebutkan, pada tahun 1990-an, jumlah umat Muslim baru sekitar 285 ribu jiwa. Namun, pada tahun 1998, angkanya telah meningkat pesat hingga menjadi 350 ribu jiwa. Sejalan dengan itu, tumbuh pula tempat-tempat ibadah dan kegiatan keagamaan. Ada sekitar 300 masjid, mushala, ataupun pusat keislaman di seluruh Belgia. Pemerintah pun, sesuai undang-undang, tidak menghalangi umat beragama, termasuk Muslim, untuk membangun tempat ibadah atau sarana pendidikan.
Islam yang terus bertumbuh kembang menyebabkan perubahan secara demografi. Di banyak wilayah, penduduk Muslim sudah lebih banyak ketimbang pemeluk Protestan dan Yahudi. Majalah terkemuka LExpress dalam sebuah artikelnya bahkan berani memprediksikan bahwa dalam 20 tahun ke depan, Islam bisa menjadi agama dominan di Ibu Kota Brussel.
Kemungkinan itu tidak bisa dikesampingkan. Bila dicermati, di Brussel sendiri, dengan penduduk berjumlah 1,1 juta jiwa, sebanyak 56 persennya adalah imigran. Para sosiolog mencatat, pada awal tahun 2000, jumlah umat Muslim di kota itu mencapai 17 persen dari populasi. Namun, pada 2008, menurut Oivier Servais, dari Laboratory for Prospective
Anthropology di UCL, angkanya sudah mencapai 33,5 persen dari populasi, naik hampir dua kali lipat.
LExpress melihat ada kecenderungan menarik di sini. Dalam beberapa tahun terakhir, warga lokal kulit putih, khususnya dari kelas menengah, memilih pindah ke kota lain, misalnya Waloon Brabant, Flemish Brabant, atau Hainut, yang lebih terjangkau biaya hidupnya.
Ini kebalikan dengan komunitas imigran yang justru mengalami penambahan populasi, baik karena kelahiran maupun kedatangan imigran baru. Brussel pun berangsur masuk kepada situasi yang oleh ahli demografi Prancis, Michele Tribalat, disebut proses perubahan demografi. Fenomena ini tidak hanya muncul di Brussel. Kota-kota besar di Eropa-Barat mengalami hal yang sama. Buku Reflections on the Revolution in Europe Immigration, Islam and the West karya jurnalis Financial Times Christopher Caldwell memerinci, kota-kota itu antara lain adalah Rotterdam dan Marseille (25 persen populasi adalah Muslim); Malmo dan Birmingham (20 persen); serta London, Paris, dan Kopenhagen (10 persen).
Di beberapa kota di Belgia, arus imigran Muslim seolah tak terbendung. Penulis buku Islam in Brussels (Universite de Bruxelles, 2009), Corinne Torrekens, mengatakan, apabila tren ini terus berlanjut, kota-kota, seperti Sint-Jans-Molenbeek, Schaarbeek, Anderlecht, Ganshoren, dan Koekelberg, bisa menjadi ledakan imigran Muslim dengan besaran mencapai 20-30 persen dari populasi, led sya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar