Jumat, 12 Agustus 2011

PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM DR MUHAMMAD IQBAL


            Pendidikan kritis pada pendidikan Islam  ini bermula dari semangat Al-Qur’an, khususnya surat Ali Imran (3): 110, yang artinya, “Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.” Juga Nabi Muhammad  saw. merupakan sosok teladan pembebas (al-Hurriyah) dan transformator
            Dalam perspektif Syekh Iqbal, pendidikan Islam harus mampu mencetak individu yang dapat menyerap cakrawala, bukan orang yang larut dalam cakrawala. Beliau menyebut yang kedua dengan orang yang mempunyai kesadaran mistik (mystical consciousness) sementara yang pertama dengan orang yang mempunyai kesadaran kenabian (prophetic consciousness). Dengan pengertian ini, produk pendidikan Islam mestinya dapat melahirkan tipe orang kedua, yang mampu menentukan arah perjalanan sejarah, bukan dipermainkan oleh sejarah. Untuk itu, pendidikan harus dapat menghasilkan individu yang berkesadaran kenabian atau raushan fikr, bukan berkesadaran mistik. Tipe orang pertama selalu terlibat aktif dalam penyelesaian masalah, bukan menjadi bagian dari masalah atau menciptakan masalah. Singkatnya, pendidikan harus dapat menciptakan kesalehan sosial atau fungsional, bukan kesalehan individual yang egois dan individualis.   [1]
            Dengan pengertian tersebut, di tengah berjibunnya problem kontemporer yang diderita umat Islam, mulai dari persoalan ekonomi, hukum, sosial, budaya, politik, dan moral, konsep dan praktek pendidikan [Islam] diharapkan dapat memberikan kontribusi penyelesaian. Hanya saja, jika pendidikan Islam masih berjalan sebagaimana sekarang, maka sulit diharapkan perannya dalam penyelesaian masalah. Agama dan pendidikan harus didekati dengan perspektif kritis dimana keduanya merupakan inspirator munculnya transformasi individual dan sosial, dalam arti dapat mencetak individu yang aktif dalam pergumulan sosial dengan spiritualitas Islam serta membentuk masyarakat yang lebih baik. Semua aktifitas pendidikan senantiasa disinari oleh semangat ajaran Islam sebagai agama pembebas, sementara proses pendidikan sebagai upaya membebaskan manusia dari berbagai bentuk ketertindasan. [2]
Dalam pandangan Islam, makna tauhid—sebagai inti ajaran Islam—mempunyai dampak sosial yang luar biasa, dalam arti bahwa tidak ada satu pun orang atau tatanan yang dijadikan sebagai rujukan atau tempat bergantung seseorang kecuali Tuhan sendiri. Dengan prinsip ini, semua aktifitas kehidupan diorientasikan pada pengabdian pada Tuhan, bukan untuk kepentingan materialis-hedonis duniawi. Karena itu, tauhidic paradigm [3])  mestinya dapat membebaskan manusia dari berbagai bentuk penindasan dan pengekangan unsur selain Tuhan. Hal ini dapat dilakukan melalui proses dan praktek pendidikan yang membebaskan.

          Dengan pemaknaan di atas, maka pendidikan Islam pada dasarnya merupakan proses transformasi individu menuju terbentuknya manusia yang berkesadaran kenabian. Sebab, figur konkret yang harus ditiru oleh setiap individu muslim adalah Muhammad, sebagai individu tercerahkan yang mampu melakukan transformasi sosial ketika itu di Jazirah Arab. Upaya ‘meniru’ pola berpikir dan bertindak tidak sekedar dimaknai secara letterlijk, harfiah, namun harus hermeneutis-kontekstual, seperti mengikuti paradigma berpikir Nabi dalam penyelesaian problem empirik. Karena itu, Sunnah Nabi tidak diartikan sekedar secara literal, namun harus melalui pembacaan secara hermeneutis sesuai dengan konteks sosial yang dihadapi oleh ‘sang pembaca’. Dalam hal ini kerangka berpikir Rahman, [4]


 Arkoun, [5] Engineer,  [6] maupun Esack perlu dikaji secara seksama, sebab relevan dengan kajian ini. Ketika tercipta manusia tercerahkan maka diharapkan terjadi proses transformasi sosial menuju masyarakat yang berkeadilan, setara, dan damai.

Menurut Muthahari, secara garis besar ada dua misi utama dari seorang Nabi.  [7]
Pertama, mengajak umat manusia ke arah pengakuan terhadap Tuhan dan pendekatan diri kepada-Nya.
 Kedua, menegakkan keadilan dan kesederajatan dalam masyarakat manusia. Misi pertama mengacu pada surat al-Ahzab (33): 45-46, yang artinya, “Wahai Nabi, sesungguhnya Kami mengutusmu untuk menjadi saksi, dan pembawa kabar gembira serta pemberi peringatan, dan untuk menjadi penyeru kepada agama Allah dengan izin-Nya, dan sebagai cahaya yang menerangi.” Sedangkan misi kedua mengacu pada surat al-Hadid (57): 25, yang berarti, “Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata, dan telah kami turunkan bersama mereka al-Kitab dan neraca supaya manusia dapat melaksanakan keadilan.”
Sementara itu, menurut al-Tabattaba’i diutusnya seorang rasul disertai dengan bukti yang berupa kitab dan mizan yang dengan itu mereka dapat menegakkan keadilan di antara umat manusia. Ini berarti bahwa para rasul datang untuk menyampaikan ajaran tauhid serta muamalah. Dengan demikian, misi seorang rasul mempunyai dua dimensi, yaitu dimensi horizontal dan dimensi vertikal. Dimensi yang pertama berkaitan dengan aturan bagaimana melakukan muamalah antar sesama makhluk termasuk manusia. Dimensi ini diperlukan agar ketika manusia melakukan muamalah dengan sesamanya bisa berbuat adil, tidak saling merugikan antara satu dengan yang lain.  [8]
 Hal ini harus diwujudkan dalam bidang politik, ekonomi, hukum, budaya, sosial, ataupun relasi gender. Sedangkan dimensi yang kedua berkaitan dengan bagaimana berhubungan dengan Tuhan, yakni menyangkut persoalan ibadah
Senada dengan Muthahhari, Afzalur Rahman berpendapat bahwa fungsi utama para nabi dan rasul adalah untuk memperkenalkan ajaran tauhid dan memperingatkan manusia agar melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya terhadap Allah dan sesama manusia.  [9]
 Secara umum, menurut Rahman, ada dua tugas seorang nabi, yaitu tugas terhadap Tuhan dan tugas terhadap sesama manusia. Tugas yang pertama dapat dicermati dari berbagai ayat al-Qur’an seperti Q.S. al-Mu’minun (23): 23, Artinya : Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, lalu ia berkata: “Hai kaumku, sembahlah oleh kamu Allah, (karena) sekali-kali tidak ada Tuhan begimu selain Dia. Maka, mengapa kamu tidak bertaqwa (kepada-Nya) ?” . Q.S. al-Zukhruf (43): 26-27, Artinya : Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya : “Sesungguhnya aku tidak bertanggung jawab terhadap apa yang kamu sembah.” Tetapi, (aku menyembah) Tuhan Yang menjadikanku, karena sesungguhnya Dia akan memberi taufik kepadaku.”dan Q.S. al-Baqarah (2): 21 Artinya : Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu agar supaya kamu bertaqwa.
Sedangkan tugas yang kedua yaitu untuk membebaskan pikiran manusia dari semua takhayul dan mengajak manusia untuk mengamati, menganalisa, dan mengambil kesimpulan/pelajaran dari permasalahan di sekitarnya. [10]  Tugas yang kedua ini sangat terkait dengan bagaimana membentuk character building individu muslim.
         Misi yang kedua, yaitu misi kepada sesama manusia jika dilihat dari surat al-Baqarah (2): 151 Artinya: Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan nikmat Kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul di antara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu al-Kitab dan hikmah (al-Sunnah) serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui, maupun al-Jum’ah (62): 2, Artinya: Dia-lah yang telah mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan hikmah (al-Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata.
Ada tiga hal yang menjadi tugas seorang rasul.
 Pertama, membacakan ayat-ayat. Ayat bisa dimaknai dengan ayat qawliyah, yakni apa yang tersurat dalam Kitab suci, dan ayat kawniyah, yakni fenomena alam yang ada dalam masyarakat, terutama ayat kawniyah yang ada pada masa sebelumnya yang berupa kisah umat terdahulu.
Kedua, mensucikan, tazkiyah, hati manusia.
Ketiga, mengajarkan kepada umat manusia tentang Kitab dan Hikmah.[11]
Dalam al-Qur’an yang diterjemahkan oleh Depag, hikmah dimaknai dengan al-Sunnah, sedangkan menurut al-Raghib al-Asfahaniy, al-hikmah diartikan dengan ketelitian, kecermatan, dan mengerjakan sesuatu dengan tepat. Sehingga oleh Majid Irsal al-Kaylani, al-hikmah diartikan dengan keterampilan.
 Misi ini pada dasarnya merupakan bentuk penerapan monoteisme teoritis dalam kehidupan praktis.

Berkaitan dengan misi seorang nabi sebagai seorang pembebas dari penyakit-penyakit sosial, Engineer menegaskan bahwa pengetahuan akan kondisi sosial, politik, relijius, budaya dan ekonomi adalah sebuah keharusan bagi setiap umat Islam.  [12]
Gerakan pembebasan selalu berangkat dari pengetahuan dan kesadaran terhadap kondisi ini. Dikaitkan dengan konteks tersebut, Muhammad telah berhasil membebaskan manusia dari berbagai bentuk penindasan dan keterbelakangan, seperti buta huruf, etnosentris, adanya Tuhan agen, subordinasi dan penindasan kaum perempuan, perbudakan, dan kesenjangan ekonomi. Hal-hal tersebut berhasil dibebaskan dan dihilangkan oleh Muhammad, sehingga kedatangan Islam betul-betul sebagai pembebas dari berbagai penyakit, baik penyakit rohani maupun sosial.


[1] Abdul Munir Mulkhan, Nalar Spiritual Pendidikan (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002), 207.
[2] Farid Esack, Qur’an, Liberation and Pluralism: An Islamic Perspective of Interreligious Solidarity against Oppression (Oxford: Oneworld, 1997).
[3] Raji al-Faruqi dalam karyanya Tauhid (USA: IIIT, 1986).
[4] Fazlur Rahman, Islam and Modernity Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago and London: The University of Chicago Press, 1984), 4-7.
[5] Mohammed Arkoun, Tarikhiyyah al-Fikr al-‘Araby al-Islamy (Libanon: Markaz al-Inma’ al-Qawmy, 1986), 51-63.
[6] Asghar Ali Engineer, Islam dan Teologi Pembebasan terj. Agung Prihantoro (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000).
[7] Murtadha Muthahhari, Falsafah Kenabian (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1991), 29. 
[8] Al-Tabattaba’i, Mizan, Vol. 7, 178.
[9] Afzalur Rahman, Islam Ideology and the Way of Life (London: The Muslim School Trust, 1995), 36.
[10] Afzalur Rahman, Islam, 38. 
[11] A. Rahman, Islam, 45
[12] Asghar Ali Engineer, Islam, 41.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar