Papua, yang sebelumnya dikenal dengan nama Irian Jaya, adalah propinsi paling timur di Indonesia. Tanah Cendrawasih itulah gelar yang lekat dengan propinsi tertimur ini. Papua tidak hanya kaya akan sumberdaya alam, tetapi juga kaya akan keragaman budaya, agama dan sumberdaya manusia. Tak kurang dari 250 suku asli Papua mendiami pulau yang kaya akan emas ini. Pemeluk agama di Propinsi tertimur ini cuku beragamam. Katolik, Kristen, Islam ketiganya adalah agama mayoritas di pulau ini. Selain itu beberapa suku juga masih memeluk agama asli, seperti Suku Marind yang masih juga melaksanakan ritual agama adat Marind.
Populasi masyarakat Muslim di Papua cukup besar. Kabupaten Merauke, contohnya, masyarakat muslim adalah mayoritas. Tak kurang dari 82.803 pemeluk agama Islam dari keseluruhan 176.578 penduduk Merauke (Data Diambil dari Merauke dalam Angka 2006). Di Kabupaten ini Muslim adalah mayoritas. Di beberapa kabupaten lain, seperti Raja Empat, Fak-fak, Kaimana jumlah pemeluk agama Islam pun cukup besar.
Masyarakat muslim Papua, sejak tahun 2007, telah memiliki wadah keorganisasian yang menampung dan mengorganisir kegiatan di tengah masyarakat. Organisasi ini bernama Majlis Muslim Papua (MMP).
Menurut Abdul Awwal Gebze, ketua pengurus Wilayah MMP Merauke, Keberadaan MMP bertujuan untuk membangun kerjasama dengan elemen masyarakat Papua lainnya guna mewujudkan masyarakat Papua yang cerdas, produktif, berakhlak mulia dan mandiri. Untuk mewujudkan tujuan tersebut, MMP berupaya membumikan konsep kasih sayang bagi semesta (rahmatan lil’alamin) dengan menjadikan beberapa prinsip sebagai acuan prinsipil, yaitu: moderat (tawassuth), tegak (I’tidal), toleran (tasamuh), seimbang (tawazun) dan asas kebersamaan (tawasyur).
Sejak berdiri MMP mencoba membangun kerjasama yang cukup erat dengan pelbagai lembaga adat dan organisasi keagamaan lainnya di Papua. Melalui kerjasama tersebut, ummat Islam diarahkan untuk dapat bahu-membahu dengan pemeluk agama lain dan masyarakat adat untuk membangun Papua baru yang damai dan demokratis secara bersama-sama. Perbedaan dinilai sebagai sebuah potensi yang saling melengkapi dan bukan ancaman.
Masih menurut Gebze, masyarakat Muslim, baik pendatang maupun asli, dapat menyatu dan bekerjasama dengan baik bersama masyarakat adat dan pemeluk agama lainnya. Di Merauke, untuk beberapa kegiatan masyarakat, pemeluk agama lain dan masyarakat adat selalu meminta pemuka Agama Islam untuk menjadi pemotong hewan yang digunakan sebagai sajian dalam perayaan adat atau kegiatan masyarakat lainnya. Hal ini dilakukan agar masyarakat Muslim tetap dapat mengikuti dan menikmati sajian dalam kegiatan masyarakat tersebut. Sebagai contoh lainnya, pada pembangunan rumah ibadah, ummat Islam dan Kristen saling membantu. Begitupun mereka saling menghadiri dalam perayaan agama. Sangat indah tentunya.
MMP kerap pula mengadakan dialog dan kerjasama dengan pemeluk agama lainnya untuk memecahkan pelbagai persoalan di Papua. Dialog juga dilakukan untuk mengurangi kecurigaan antar kelompok yang dapat terjadi.
Ditemui di sela AMAN School of Peace Studies and Conflict Transformation di Thailand, Gebze menuturkan bahwa jalan dialog merupakan pilihan utama MMP untuk membangun kerjasama dengan elemen masyarakat di Papua. Pilihan dialog telah diputuskan dalam kegiatan penguatan kapsitas pengurus MMP (upgrading) pada tanggal 21-23 Januari 2010. Meski demikian, dialog telah lama dilakukan sebelum kegiatan tersebut.
“MMP didirikan untuk membangun Papua atas kerjasama antar semua lemen di Papua. Untuk itu kami kerap mengadakan pelatihan-pelatihan guna meningkatkan kapasitas masyarakat Papua baik muslim maupun non-Muslim. Kami tidak mengadakan pengajian, karena organisasi seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah sudah melaksanakan kegiatan tersebut. Kami lebih terfokus pada pengembangan kemampuan (skill) masyarakat, ” tegas Gebze.
Dalam bidang pendidikan, MMP mencoba memfasilitasi anak-anak asli Papua untuk mengenyam pendidikan di luar Papua, seperti di beberapa pesantren di Jawa. Generasi ini yang nantinya diharapkan mampu meneruskan pembangunan di Papua.
“MMP menyadari bahwa mempersiapkan generasi yang akan membangun Papua bukanlah tugas yang sesaat dan semata dimiliki oleh ummat Islam. Karena itu MMP tidak akan berhenti bekerjasama dengan elemen lainnya untuk membangun Papua,” tutup Gebze. (Irsyadul Ibad).
Populasi masyarakat Muslim di Papua cukup besar. Kabupaten Merauke, contohnya, masyarakat muslim adalah mayoritas. Tak kurang dari 82.803 pemeluk agama Islam dari keseluruhan 176.578 penduduk Merauke (Data Diambil dari Merauke dalam Angka 2006). Di Kabupaten ini Muslim adalah mayoritas. Di beberapa kabupaten lain, seperti Raja Empat, Fak-fak, Kaimana jumlah pemeluk agama Islam pun cukup besar.
Masyarakat muslim Papua, sejak tahun 2007, telah memiliki wadah keorganisasian yang menampung dan mengorganisir kegiatan di tengah masyarakat. Organisasi ini bernama Majlis Muslim Papua (MMP).
Menurut Abdul Awwal Gebze, ketua pengurus Wilayah MMP Merauke, Keberadaan MMP bertujuan untuk membangun kerjasama dengan elemen masyarakat Papua lainnya guna mewujudkan masyarakat Papua yang cerdas, produktif, berakhlak mulia dan mandiri. Untuk mewujudkan tujuan tersebut, MMP berupaya membumikan konsep kasih sayang bagi semesta (rahmatan lil’alamin) dengan menjadikan beberapa prinsip sebagai acuan prinsipil, yaitu: moderat (tawassuth), tegak (I’tidal), toleran (tasamuh), seimbang (tawazun) dan asas kebersamaan (tawasyur).
Sejak berdiri MMP mencoba membangun kerjasama yang cukup erat dengan pelbagai lembaga adat dan organisasi keagamaan lainnya di Papua. Melalui kerjasama tersebut, ummat Islam diarahkan untuk dapat bahu-membahu dengan pemeluk agama lain dan masyarakat adat untuk membangun Papua baru yang damai dan demokratis secara bersama-sama. Perbedaan dinilai sebagai sebuah potensi yang saling melengkapi dan bukan ancaman.
Masih menurut Gebze, masyarakat Muslim, baik pendatang maupun asli, dapat menyatu dan bekerjasama dengan baik bersama masyarakat adat dan pemeluk agama lainnya. Di Merauke, untuk beberapa kegiatan masyarakat, pemeluk agama lain dan masyarakat adat selalu meminta pemuka Agama Islam untuk menjadi pemotong hewan yang digunakan sebagai sajian dalam perayaan adat atau kegiatan masyarakat lainnya. Hal ini dilakukan agar masyarakat Muslim tetap dapat mengikuti dan menikmati sajian dalam kegiatan masyarakat tersebut. Sebagai contoh lainnya, pada pembangunan rumah ibadah, ummat Islam dan Kristen saling membantu. Begitupun mereka saling menghadiri dalam perayaan agama. Sangat indah tentunya.
MMP kerap pula mengadakan dialog dan kerjasama dengan pemeluk agama lainnya untuk memecahkan pelbagai persoalan di Papua. Dialog juga dilakukan untuk mengurangi kecurigaan antar kelompok yang dapat terjadi.
Ditemui di sela AMAN School of Peace Studies and Conflict Transformation di Thailand, Gebze menuturkan bahwa jalan dialog merupakan pilihan utama MMP untuk membangun kerjasama dengan elemen masyarakat di Papua. Pilihan dialog telah diputuskan dalam kegiatan penguatan kapsitas pengurus MMP (upgrading) pada tanggal 21-23 Januari 2010. Meski demikian, dialog telah lama dilakukan sebelum kegiatan tersebut.
“MMP didirikan untuk membangun Papua atas kerjasama antar semua lemen di Papua. Untuk itu kami kerap mengadakan pelatihan-pelatihan guna meningkatkan kapasitas masyarakat Papua baik muslim maupun non-Muslim. Kami tidak mengadakan pengajian, karena organisasi seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah sudah melaksanakan kegiatan tersebut. Kami lebih terfokus pada pengembangan kemampuan (skill) masyarakat, ” tegas Gebze.
Dalam bidang pendidikan, MMP mencoba memfasilitasi anak-anak asli Papua untuk mengenyam pendidikan di luar Papua, seperti di beberapa pesantren di Jawa. Generasi ini yang nantinya diharapkan mampu meneruskan pembangunan di Papua.
“MMP menyadari bahwa mempersiapkan generasi yang akan membangun Papua bukanlah tugas yang sesaat dan semata dimiliki oleh ummat Islam. Karena itu MMP tidak akan berhenti bekerjasama dengan elemen lainnya untuk membangun Papua,” tutup Gebze. (Irsyadul Ibad).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar