By. Moh. Badrus Sholeh
Bagaikan suatu perjalanan sentimental, membicarakan Islam dan politik di Indonesia melibatkan kekhawatiran dan harapan lama yang mencekam. Orang berbeda pandangan dalam menilai apa yang didapati dalam orde baru selama tiga puluh dua tahun, baik dalam arti positif maupun negatif. Namun dua hal yang tidak dapat diingkari mengenai orde baru adalah stabilitas sosial politik dan pembangunan ekonomi. Banyak orang Indonesia dalam semua lapisan memilih pemerintahan orde baru ketimbang lainnya, sambil mengajukan argumen bahwa reformasi dari dalam adalah yang paling praktis.
Stabilitas terutama diwujudkan dalam bentuk keamanan, ketertipan dan keutuhan wilayah negara. Stabilitas diciptakan untuk memungkinkan pembangunan ekonomi. Oleh karenanya karena kemantapan stabilitas, orde baru berlangsung sekian lamanya. Karena kenyataan ini, stabilitas mengesankan sesuatu yang baik dan dikehendaki semua orang. Tetapi, sesungguhnya masih ada ruang untuk memeriksa kembali apa sebenarnya wujud stabilitas yang hakiki, khususnya jika dikaitkan dengan usaha mewujudkan demokrasi dan keadilan sosial.
Stabilitas, Demokrasi dan Nasionalisme
Stabilitas politik biasanya digunakan untuk konsep multidimensional, yang menggabungkan ide-ide kelanggengan sistem, ketertipan sipil, legitimasi dan kefektifan. Ciri terpenting kekuasaan demokratis yang stabil bahwa ia memiliki kemungkinan yang tinggi untuk demokratis dan tingkat yang rendah untuk mengalami gangguan. Stabilitas yang tidak demokratis adalah semu yang didalamnya terkandung bibit kekacauan bagaikan bom waktu.
Pengaturan politik yang tangguh dan absah serta demokratis, memerlukan ikatan bersama yang antara lain berbentuk kesetiaan dasar, komitmen yang mengerakkan perasaan dan terasa hangat dalam lubuk jiwa dari pada seperangkat prosedur yang lebih kuat dari pada nilai-nilai demokratis tentang kemerdekaan dan persamaan. Dalam dunia modern perekat itu ialah rasa kebangsaan. Kini paham kebangsaan Indonesia dalam rumusan tertinggi dipelunak menjadi persatuan Indonesia.
Munculnya demokrasi sebagai gejala politik berlangsung bersamaan dengan munculnya nasionalisme bangsa-bangsa. Tetapi nasionalisme tidak dibenarkan mengurangi arti penting kemajemukan himpunan-himpunan sosial. Nasionalisme hampir seluruhnya bersifat sentimental.
Konsensus, Perbedaan dan Konflik
Rasa kebangsaan diperlukan bagi tegaknya negara, tetapi tidak memadai untuk mewujudkan persyaratan bagi demokrasi. Diperlukan konsensus dan kesepakatan tentang masalah-masalah dasar dan tidak cukup mengandalkan kelengkapan-kelengkapan struktural dan prosedural. Tetapi argumen konsensus sebagai sarana demokrasi tidak bebas dari kesulitan dan masalah. Kesulitan pertama dalam menentukan kadar, jenis dan distribusi konsensus yang diperlukan demokrasi yang stabil adalah hampir mustahil. Dan yang paling sulit lagi kenyataan terlalu banyak konsensus tidak menguntungkan demokrasi. Maka terdapat pandangan umum bahwa demokrasi yang stabil memerlukan perimbangan yang wajar antara konsensus dan perbedaan. Perbedaan atau Konflik tidak baik bagi dirinya sendiri. Ia hanya membawa faedah sebagai proses belajar dan memecahkan masalah dan cara untuk mendapatkan jalan keluar dari persoalan yang dihadapi. Karena itu konsensus sesungguhnya merupakan hasil akhir demokrasi bukan persyaratan proses politik yang demokratis.
Madjid, Nurcholis. 1999. Cita-Cita Politik Islam. Jakarta : Paramadina
Tidak ada komentar:
Posting Komentar