By. Moh. Badrus Sholeh
a. Hubungan Naql dan Akal
Aliran Asy’ariyah yang memiliki pandangan yang khas terkait dengan problem hubungan naql dengan akal. Dalam hal ini Asy’ariyah mengambil sikap moderat (tawassuth) dan seimbang (tawazun), tidak ekstrim kiri sepertinya halnya Mu’tazilah, dan tidak ekstrim kanan seperti halnya Hanabilah. Menurut Asy’ariyah, semua kewajiban agama hanya dapat diketahui melalui informasi dari naql. Sedangkan terkait dengan keyakinannya dapat dicapai dengan penalaran akal.[1]
Imam al-Ghazali menyatakan dalam kitabnya al-Iqtishod fi al-I’tiqot:
Bahwa orang yang merasa puas hanya dengan bertaklid kepada teks-teks hadits, namun mengingkari metodologi penelitian dan nalar tidak mungkin menemukan jalan kebenaran, karena naql itu bersandar terhadap sabda Nabi SAW, sedangkan argumentasi rasional adalah satu-satunya sarana yang dapat membuktikan kebenaran apa yang disampaikan Nabi SAW. Sedangkan orang yang hanya mengikuti akal dan tidak mengikuti petunjuk naql, juga tidak mungkin memperoleh petunjuk menuju kebenaran, karena dia hanya berpegangan pada akal, yang diliputi kelemahan dan keterbatasan.[2]
Pernyataan al-Ghazali tersebut bermaksud memaparkan tentang keharusan menggunakan akal dalam menangkap hakikat-hakikat yang dikandung oleh dalil-dalil naql. Dengan demikian Asy’ariyah menggabungkan antara naql dengan akal. Gabungan dari keduanya dapat mengantar pada hakikat-hakikat yang dikandung oleh-oleh dalil-dalil naql.[3]
Terkait metodologi Asy’ariyah yang menggabungkan antara naql dengan akal tersebut, para ulama memberikan perumpamaan Akal sebagai mata yang dapat melihat. Sedangkan dalil-dalil syara’ atau naql diumpamakan sebagai Matahari yang dapat menerangi. Orang yang hanya menggunakan akal tanpa menggunakan dalil-dalil naql sepert halnya orang yang keluar pada waktu malam hari yang gelap gulita. Ia membuka matanya untuk melihat apa yang ada di sekelilingnya, antara benda yang berwarna putih, hitam, hijau dan lain-lain. Ia berusaha untuk melihat semuanya, tetapi selamanya ia tidak akan dapat melihatnya, tanpa ada matahari yang meneranginya, meskipun ia memiliki mata yang mampu melihat. Sedangkan orang yang menggunakan dalil-dalil naql tanpa menggunakan akal, seperti halnya orang yang keluar di siang hari dengan suasana terang benderang, tetapi dia tuna netra, atau memejamkan mata. Tentu saja ia tidak akan dapat melihat mana benda yang berwarna putih, hijau, merah dan lain-lainnya.[4]
b. Ketika akal bertentangan dengan wahyu
Ulama Asy’ariyah menetapkan suatu kaedah yang sangat indah, bahwa ketika terjadi pertentangan antara ketetapan akal yang definitif dengan naql yang tidak definitif, dalam aspek wurud atau dilalah-nya, maka ketetapan akal harus didahulukan atau melakukan ta’wil terhadap naql. Sedangkan naql yang definitif dalam aspek wurud dan dilalah-nya tidak mungkin bertentangan dengan ketetapan akal yang definitif.[5]
c. Tafwidh dan Ta’wil
Diantara Ayat-ayat mutasyabihat di dalam al-Qur’an ada ayat-ayat yang berkaitan dengan sifat-sifat Allah. Untuk memaknai ayat-ayat tersebut ada dua metodologi yang digunakan yaitu :
1. Metode tafwidh atau ta’wil ijmali yaitu tidak melakukan penafsiran apapun terhadap teks-teks ayat musyabihat, namun mencukupkan diri dengan penetapan sifat yang telah Allah tetapkan bagi Dzat-Nya dan menyerahkan pengertian yang sebenarnya kepada Allah SWT, serta mensucikan Allah dari segala kekurangan dan penyerupaan terhadap hal-hal baru. Metode ini diikuti oleh mayoritas ulama salaf dan sebagian ulama khalaf termasuk Imam al-Asy’ari.[6] Kata istawa’ tidak diartikan bersemayam dan bertempat di Arasy tetapi memiliki makna sendiri yang hanya diketahui oleh Allah dan tidak mengandung penyerupaan sifat-sifat Allah dengan sifat-sifat makhluk-Nya.[7]
2. Metode Ta’wil yang diikuti oleh mayoritas ulama khalaf dan sebagian ulama salaf. Yaitu mengalihkan pengertian teks-teks yang mutasyabihat tersebut dari makna-makna literalnya dan meletakkan maksud-maksudnya dalam satu bingkai pengertian yang sejalan dan seiring dengan teks-teks lain yang muhkamat yang memastikan kesucian Allah dari arah, tempat dan anggota tubuh serta makhluk-Nya.[8] Oleh karena itu, mereka menafsirkan istiwa’ dengan kekuasan Allah, menafsirkan tangan dengan kekuatan dan kedermawanan. Ayat-ayat dan hadits-hadits lain yang mutasyabihat dan mengesankan bahwa Allah menyerupai makhluk-Nya harus dikembalikan maksudnya kepada ayat muhkamat. [9]
Apabila diamati dengan seksama kedua metode tafwidh dan ta’wil memiliki kesamaan yaitu tidak mensifati Allah SWT dengan sifat-sifat yang dimiliki makhluk-Nya.[10]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar