Majalah Gatra, menurunkan laporan cukup panjang tentang fenomena kajian hermeneutika di kalangan perguruan Islam di Indonesia. Disebutkan, dua perguruan tinggi negeri, yakni Universitas Islam Negeri Jakarta dan IAIN Yogyakarta sudah mengajarkan mata kuliah Hermenutika untuk mahasiswanya. Laporan Gatra itu menarik untuk dicermati, di tengah-tengah hingar bingar pemilu 2004. Mengapa? Sebab, fenomena ini menunjukkan, betapa lemahnya pertahanan kaum Muslim dalam aspek yang sangat strategis, yakni cara pemahaman (epistemologis) terhadap sumber utama Islam, yakni al-Qur'an. Laporan Gatra mengulas terbitnya satu majalah pemikiran dan peradaban Islam, ISLAMIA, yang mengulas secara mendalam masalah hermeneutika.
Pada dasarnya, hermeneutika adalah metode tafsir Bible, yang kemudian dikembangkan oleh para filosof dan pemikir Kristen di Barat menjadi metode interpretasi teks secara umum. Oleh sebagian cendekiawan Muslim, kemudian metode ini diadopsi dan dikembangkan, untuk dijadikan sebagai alternatif dari metode pemahaman al-Qur'an yang dikenal sebagai "ilmu tafsir".
Jika metode atau cara pemahaman al-Qur'an sudah mengikuti metode kaum Yahudi-Nasrani dalam memahami Bible, maka patut dipertanyakan, bagaimanakah masa depan kaum Muslim di Indonesia? Pertanyaan ini perlu disampaikan, kepada kita semua, termasuk kepada para politisi Muslim, yang sedang aktif menggalang dukungan suara untuk partai dan dirinya. Bahwa, ada kanker ganas yang sedang bekerja sangat cepat menggeregoti organ-organ vital kaum Muslimin.
Apakah hermeneutika dapat diadopsi untuk menggantikan tafsir al-Qur'an?
Contohnya masalah hermeneutika. Tampak, bagaimana para cendekiawan pemikir Muslim di Indonesia, terlambat memahami masalah yang sangat fundamental tersebut. Padahal, beberapa institusi pendidikan Islam sudah mengajarkan hermeneutika sebagai alternatif bagi metode penafsiran al-Qur'an yang selama ini dikenal olen umat Islam pada umumnya. Bahkan, sekarang sudah banyak muncul cendekiawan dan tokoh-tokoh organisasi Islam, yang begitu bersemangat menyebarkan dan mengajarkan hermeneutika, dengan menyerukan agar metode tafsir ‘klasik' al-Qur'an tidak digunakan lagi.
Yang diperlukan dalam menyikapinya hanyalah sikap kritis. Sikap inilah yang telah ditunjukkan oleh para ulama Islam terdahulu, sehingga mereka mampu menjawab setiap tantangan zaman, tanpa kehilangan jatidiri pemikiran Islam itu sendiri.
Apalagi, di kalangan umat Islam, mulai muncul gejala umum yang mengkhawatirkan, yakni mudahnya mengambil dan meniru metodologi pemahaman al-Qur'an dan al-Sunnah yang berasal dari pemikiran dan peradaban asing. Gerakan ‘impor pemikiran' semakin gencar dilakukan, terutama oleh kalangan yang menggeluti Islamic Studies. Sayangnya, tidak banyak yang memiliki sikap ‘teliti sebelum membeli' gagasan-gagasan impor yang sebenarnya bertolak-belakang dengan dan berpotensi menggerogoti sendi-sendi akidah seorang Muslim. Salah satu produk asing tersebut adalah "hermeneutika", yang belum lama ini dipasarkan dalam sebuah seminar nasional "Hermeneutika al-Qur'an: Pergulatan tentang Penafsiran Kitab Suci" di sebuah perguruan Tinggi. Konon tujuannya antara lain mencari dan merumuskan sebuah ‘hermeneutika al-Qur'an' yang relevan untuk konteks umat Islam di era globalisasi umumnya dan di Indonesia khususnya. Terlanjur gandrung pada segala yang baru dan Barat (everything new and Western), sejumlah cendekiawan yang nota bene Muslim itu menganggap hermeneutika bebas-nilai alias netral. Bagi mereka, hermeneutika dapat memperkaya dan dijadikan alternatif pengganti metode tafsir tradisional yang dituduh ‘ahistoris' (mengabaikan konteks sejarah) dan ‘uncritical' (tidak kritis). Kalangan ini tidak menyadari bahwa hermeneutika sesungguhnya sarat dengan asumsi-asumsi dan implikasi teologis, filosofis, epistemologis dan metodologis yang timbul dalam konteks keberagamaan dan pengalaman sejarah Yahudi dan Kristen.
Istilah dan Sejarahnya
Secara etimologi, istilah "hermeneutics" berasal dari bahasa Yunani (ta hermeneutika), (bentuk jamak dari to hermeneutikon) yang berarti ‘hal-hal yang berkenaan dengan pemahaman dan penerjemahan suatu pesan. Kedua kata tersebut merupakan derivat dari kata "Hermes", yang dalam mitologi Yunani dikatakan sebagai dewa yang diutus oleh Zeus (Tuhan) untuk menyampaikan pesan dan berita kepada manusia di bumi. Dalam karya logika Aristoteles, kata "hermeneias" berarti ungkapan atau pernyataan (statement), tidak lebih dari itu.
Bahkan para teolog Kristen abad pertengahan pun lebih sering menggunakan istilah ‘interpretatio' untuk tafsir, bukan ‘hermeneusis'. Karya St. Jerome, misalnya, diberi judul "De optimo genere interpretandi" (Tentang Bentuk Penafsiran yang Terbaik), sementara Isidore dari Pelusium menulis "De interpretatione divinae scripturae" (Tentang Penafsiran Kitab Suci). Adapun pembakuan istilah ‘hermeneutics' sebagai suatu ilmu, metode dan teknik memahami suatu pesan atau teks, baru terjadi kemudian, pada sekitar abad ke-18 Masehi. Dalam pengertian modern ini, ‘hermeneutics' biasanya dikontraskan dengan ‘exegesis', sebagaimana ‘ilmu tafsir' dibedakan dengan ‘tafsir'.
Adalah Schleiermacher, seorang teolog asal Jerman, yang konon pertama kali memperluas wilayah hermeneutika dari sebatas teknik penafsiran kitab suci (Biblical Hermeneutics) menjadi ‘hermeneutika umum' (General Hermeneutics) yang mengkaji kondisi-kondisi apa saja yang memungkinkan terwujudnya pemahaman atau penafsiran yang betul terhadap suatu teks. Schleiermacher bukan hanya meneruskan usaha Semler dan Ernesti untuk "membebaskan tafsir dari dogma", ia bahkan melakukan desakralisasi teks. Dalam perspektif hermeneutika umum, "semua teks diperlakukan sama," tidak ada yang perlu di-istimewakan, apakah itu kitab suci (Bible) ataupun teks karya manusia biasa. Kemudian datang Dilthey yang menekankan ‘historisitas teks' dan pentingnya ‘kesadaran sejarah' (Geschichtliches Bewusstsein). Seorang pembaca teks, menurut Dilthey, harus bersikap kritis terhadap teks dan konteks sejarahnya, meskipun pada saat yang sama dituntut untuk berusaha melompati ‘jarak sejarah' antara masa-lalu teks dan dirinya. Pemahaman kita akan suatu teks ditentukan oleh kemampuan kita ‘mengalami kembali' (Nacherleben) dan menghayati isi teks tersebut.
Di awal abad ke-20, hermeneutika menjadi sangat filosofis. Interpretasi merupakan interaksi keberadaan kita dengan wahana sang Wujud (Sein) yang memanifestasikan dirinya melalui bahasa, ungkap Heidegger. Yang tak terelakkan dalam interaksi tersebut adalah terjadinya ‘hermeneutic circle', semacam lingkaran setan atau proses tak berujung-pangkal antara teks, praduga-praduga, interpretasi, dan peninjauan kembali (revisi). Demikian pula rumusan Gadamer, yang membayangkan interaksi pembaca dengan teks sebagai sebuah dialog atau dialektika soal-jawab, dimana cakrawala kedua-belah pihak melebur jadi satu (Horizontverschmelzung), hingga terjadi kesepakatan dan kesepahaman. Interaksi tersebut tidak boleh berhenti, tegas Gadamer. Setiap jawaban adalah relatif dan tentatif kebenarannya, senantiasa boleh dikritik dan ditolak. Habermas pergi lebih jauh. Baginya, hermeneutika bertujuan membongkar motif-motif tersembunyi (hidden interests) yang melatarbelakangi lahirnya sebuah teks. Sebagai kritik ideologi, hermeneutika harus bisa mengungkapkan pelbagai manipulasi, dominasi, dan propaganda dibalik bahasa sebuah teks, segala yang mungkin telah mendistorsi pesan atau makna secara sistematis.
Asumsi dan Implikasinya
Dengan latarbelakang seperti itu, hermeneutika jelas tidak bebas-nilai. Ia mengandung sejumlah asumsi dan konsekuensi.
Pertama, hermeneutika menganggap semua teks adalah sama, semuanya merupakan karya manusia. Asumsi ini lahir dari kekecewaan mereka terhadap Bible. Teks yang semula dianggap suci itu belakangan diragukan keasliannya. Campur-tangan manusia dalam Perjanjian Lama (Torah) dan Perjanjian Baru (Gospels) ternyata didapati jauh lebih banyak ketimbang apa yang sebenarnya diwahyukan Allah kepada Nabi Musa dan Nabi Isa as. Bila diterapkan pada al-Qur'an, hermeneutika otomatis akan menolak status al-Qur‘an sebagai Kalamullah, mempertanyakan otentisitasnya, dan menggugat ke-mutawatir-an mushaf Usmani.
Kedua, hermeneutika menganggap setiap teks sebagai ‘produk sejarah' sebuah asumsi yang sangat tepat dalam kasus Bible, mengingat sejarahnya yang amat problematik. Hal ini tidak berlaku untuk al-Qur'an, yang kebenarannya melintasi batas-batas ruang dan waktu (trans-historical) dan pesan-pesannya ditujukan kepada seluruh umat manusia (hudan li-n naas).
Ketiga, praktisi hermeneutika dituntut untuk bersikap skeptis, selalu meragukan kebenaran dari manapun datangnya, dan terus terperangkap dalam apa yang disebut sebagai ‘lingkaran hermeneutis', dimana makna senantiasa berubah. Sikap semacam ini hanya sesuai untuk Bibel, yang telah mengalami gonta-ganti bahasa (dari Hebrew dan Syriac ke Greek, lalu Latin) dan memuat banyak perubahan serta kesalahan redaksi (textual corruption and scribal errors). Tetapi tidak untuk al-Qur'an yang jelas kesahihan proses transmisinya dari zaman ke zaman.
Keempat, hermeneutika menghendaki pelakunya untuk menganut relativisme epistemologis. Tidak ada tafsir yang mutlak benar, semuanya relatif. Yang benar menurut seseorang, boleh jadi salah menurut orang lain. Kebenaran terikat dan bergantung pada konteks (zaman dan tempat) tertentu. Selain mengaburkan dan menolak kebenaran, faham ini juga akan melahirkan mufassir-mufassir palsu dan pemikir-pemikir yang tidak terkendali (liar).
Dampak penggunaan metode hermeneutika terhadap pemikiran Islam sudah sangat mencolok di Indonesia. Misalnya, pemikiran tentang kebenaran satu agama, serta tidak boleh adanya truth claim (klaim kebenaran) dari satu agama tertentu. Paham ini disebarkan secara meluas. Pada 1 Maret 2004 lalu, dalam sebuah seminar di Universitas Muhammadiyah Surakarta, seorang profesor juga mengajukan gagasan tentang tidak bolehnya kaum Muslim melakukan truth claim. Sebab, hanya Allah yang tahu kebenaran. Pada tataran fiqih, semakin gencar disebarkan pemahaman yang mendekonstruksi hukum-hukum fiqih Islam, yang qath'iy, seperti kewajiban jilbab, haramnya muslimah menikah dengan laki-laki non-Muslim, dan sebagainya.
Sumber: Lajnah Nadwah Ilmiyah (LNI) PP. Al-Anwar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar