Sebelum itu, mari kita lihat realitas masyarakat NU sebagai salah satu barometer untuk membaca masa depan NU ke depan. Sebab, sementara ini muncul beberapa pertanyaan: seberapa jauh orang NU mengenal NU? Seberapa besar masyarakat akar rumput yang mengaku berorganisasi NU, dan tahu apa dan siapa saja yang ada di NU? Memang, setiap kali ada tetangga meninggal mereka tahlil bersama, tapi apakah cukup menjadi NU dengan sekadar tahlilan!?.
Umat NU telah mengalami banyak perubahan. Semakin tampak ke permukaan, bahwa perubahan itu sudah demikian besar, dan bahkan bisa mengancam eksistensi NU. Pesantren-pesantren salaf yang menjadi benih dan tonggak NU mulai menampakkan tanda-tanda penyusutan. Pengajian-pengajian tradisional di masjid-masjid dan surau-surau sudah mulai meredup. Kiai-kiai sepuh yang menjadi tonggak kokohnya NU di tengah masyarakat sudah banyak yang wafat. Sementara, komitmen generasi penggantinya sudah tak sekuat mereka.
Ini problem yang cukup mendasar karena dapat mengancam eksistensi NU ke depan. Sementara itu, organisasi di luar NU bergerak demikian cepat untuk menarik simpati masyarakat melalui program-program kerakyatan mereka. Mereka memberikan respons yang besar terhadap penderitaan dan kesengsaraan rakyat kecil. Akhirnya, pelan tapi pasti, simpati perlahan-lahan mulai beralih.
Di sisi lain, aliran-aliran sesat merebak. Yang menjadi sasaran utama tentunya masyarakat akar rumput yang mayoritas adalah warga NU. Dengan berbagai trik indoktrinasi dan iming-iming, orang-orang yang tak memiliki landasan akidah yang kuat akan tertarik dengan doktrin-doktrin mereka. Sementara para tokoh agama, baru bergerak ketika aliran-aliran itu dinilai meresahkan.
Problem itu diperparah dengan geliat para pengusung ide liberal di tengah-tengah kaum terpelajar. Banyak di antara mereka yang berlatarbelakang NU. Agenda utama mereka adalah melakukan dekonstruksi dan profanisasi “doktrin” agama yang ujung-ujungnya desakralisasi agama dan relativisme kebenaran. Tentu, ini sangat berbahaya bagi masa depan NU yang sangat menghormati teks-teks agama dan paradigma pemikiran ulama-ulama salaf. Gerakan ini dapat meruntuhkan sendi-sendi keagamaan secara pelan-pelan, sehingga pada ujungnya masyarakat akan dijauhkan dari kebenaran agama, bukan hanya dari akidah Ahlusunah yang menjadi merk NU.
Menghadapi semua problem di atas, NU perlu introspeksi diri dengan tidak hanya merasa besar dengan anggota yang demikian banyak, sementara generasinya mulai meninggalkan identitas ke-NU-annya. Melihat kenyataan seperti ini, apakah NU akan tetap diam dengan kondisi yang jelas-jelas menggambarkan bahwa generasinya mulai keropos!? Inilah yang harus menjadi agenda utama dalam Muktamar ke-32 yang akan datang, selain program-program lain yang mengarah pada peningkatan SDM.
Maka, tidak ada jalan lain bagi NU kecuali melakukan langkah-langkah perbaikan untuk mengembalikan fitrah NU sebagai ormas yang membawa kemaslahatan bagi masyarakat. Setidaknya, ada empat langkah yang mesti dilakukan untuk memperbaiki kondisi itu.
Pertama, segera bangun dari tidur panjangnya, dan berhenti membuai diri dalam ungkapan “Ormas terbesar di Indonesia atau di dunia”. Yang harus dipikirkan adalah bagaimana masa depan masyarakat Muslim Indonesia, utamanya kaum Nahdliyin. NU harus bisa membaca realitas masyarakat Muslim Indonesia, di saat mereka mulai goyah diterpa badai ketidakpastian. Isu-isu keagaaman masa kini justru lebih menyeruak di tengah masyarakat dibanding masalah yang lain, seperti munculnya Islam liberal dan aliran-aliran sesat. Ini belum terkait dengan kondisi moralitas bangsa yang semakin kehilangan kendali agama.
Sebagai ormas Islam, NU tentu langsung bersentuhan dengan persoalan-persoalan semacam ini. Ia memiliki tanggung jawab yang besar dalam membingkai masyarakat Muslim agar sesuai ajaran Islam yang benar. Tanggung jawab itu tentunya tidak hanya melulu dalam urusan agama, tapi perlu juga mencermati hal-hal lain yang berkaitan, seperti ekonomi dan pendidikan. Dengan demikian, insya Allah NU tidak akan dinilai sebagai organisasi yang: La yahyâ walâ yamût, hidup tidak, matipun tidak.
Kedua, harus ada gerakan regenerasi dan kaderisasi. Kader-kader muda potensial jangan sampai dilupakan. Jangan sampai kader-kader ini diambil oleh orang lain di luar Ahlusunah, atau dibiarkan menjadi sasaran indoktrinasi dari paham-paham yang berseberangan. Jika tidak, akan sangat banyak kader NU yang meloncat ke kelompok lain karena merasa tidak cocok dengan NU; atau kader-kader yang mengaku NU tapi identitas sesungguhnya bukan NU. Mereka menjadi benalu yang bisa menggerogoti NU dari dalam.
NU perlu merangkul anak-anak muda potensial. Mengadakan semacam forum kaderisasi Aswaja. Merekalah yang nantinya ditugaskan untuk bergerak di tengah masyarakat dalam upaya menyelamatkan ajaran NU. Dengan demikian, maka kaderisasi di tubuh NU akan mengalir dengan lancar.
Ketiga, berupaya memaksimalkan peran dalam persoalan-persoalan riil di tengah masyarakat, seperti pendidikan, ekonomi, pertanian, kenelayanan dan sejenisnya. Hal itu, untuk menarik simpati masyarakat akar rumput, agar mereka merasakan manfaat dari keberadaan NU. Perlu diingat, rata-rata umat NU adalah kalangan menengah ke bawah. Jika tidak dirawat dengan perhatian terhadap hal-hal yang bersentuhan langsung dengan kehidupan mereka, maka sangat mungkin mereka akan dengan mudah mengikuti “orang lain” yang memberikan perhatian lebih dalam hal itu.
NU sebenarnya telah memiliki perangkat untuk segera merealisasikannya. Badan-badan otonom (banom) yang dimiliki NU mesti dikendalikan untuk menjadi instrumen utama untuk menjalankan program-program NU. Keberadaan banom semacam GP Ansor, Muslimat, Fatayat, Ikatan Pelajar NU, Ikatan Pelajar Putri NU, dan sebagainya, harus berada di garis terdepan dalam berbaur dengan masyarakat bawah, utamanya dalam pemberdayaan umat di bidang keagamaan. Hanya saja sementara ini keberadaan banom ini sepertinya tidak memiliki fungsi yang berarti di tengah masyarakat, sehingga keberadaannya seperti tanpa wujud.
Untuk itu, ke depan NU mulai dari pengurus ranting hingga pengurus besar harus meneguhkan kembali semangatnya dalam berkhidmah kepada masyarakat, terutama di jalur gerakan sosial keagamaan dan pembentengan umat. Sekaligus, meneguhkan komitmen untuk memegang Khithah dan menjaganya dari tarikan kuat politik praktis.
Keempat, NU harus dipegang oleh orang-orang yang memiliki komitmen yang jelas untuk menghidupkan NU, bukan untuk mencari hidup di NU. Sebab, sementara ini ada sinyal kuat NU telah ditunggangi oleh kepentingan elitnya, khususnya dalam meraih kekuasaan. Hal ini, sedikit banyak, menyebabkan sentuhan NU tidak terasa di masyarakat akar rumput, kecuali jika ada kepentingan elit terhadap mereka.
Maka, NU harus dikawal oleh orang-orang yang tegas dalam memegang dan menegakkan Khitah NU. Sebab, sejak awal NU memang lahir sebagai gerakan sosial keagamaan yang memberi perhatian terhadap masyarakat kecil. Namun, hal itu mengalami penumpulan dan pendangkalan, sehingga peran NU menjadi kurang berarti di level akar rumput masyarakat NU sendiri.
Inti dari semua itu, NU harus segera berbenah diri dengan menyusun agenda masa depan yang berorientasi pada pemberdayaan, pengkaderan, dan penjagaan terhadap nilai-nilai ajaran NU. NU harus memiliki rumusan yang jelas mengenai bagaimana NU 10 atau 20 tahun ke depan. NU harus bangun dari tidur panjangnya dalam romantika sejarah dan kontribusi besarnya di masa lalu. Sebab, tantangan yang ada pada saat ini sudah berkembang jauh lebih kompleks, dan jika tantangan itu tidak segera dijawab maka bukan mustahil ormas Islam terbesar di dunia ini akan segera tersingkir dari sejarah.
Tentunya, kita tidak ingin NU ke depan menjadi mosaik yang indah untuk dikenang karena telah berkeping-keping dan tinggal papan namanya saja. Kita tidak ingin NU hanya tinggal nostalgia masa lalu yang menjadi dongeng anak bangsa di kemudian hari, dan menjadi kenangan bahwa ulama pernah berjaya di nusantara ini. Wallahu a’lam.
Sumber: www.sidogiri.net
Sumber: www.sidogiri.net
Tidak ada komentar:
Posting Komentar