NAMA besar Syaikh Abdul Qadir al-Jilani sudah tidak asing lagi bagi umat muslim di seluruh dunia, mengingat namanya sering dilafalkan, di buat untuk bertawasul dalam setiap doa mereka. Manakib beliau di Indonesia banyak dibaca, ketika hari asura (10 Muharram), 27 Rajab, Nisfu Sya’ban, hari pertama bulan safar, dan di waktu-waktu lain. Bahkan ada sebagian masyarakat yang membacanya setiap malam Jumat. Kedudukan tinggi beliau dalam hati masyarakat muslim tentu karena karunia Allah semata, dan pasti beliau juga mempunyai kedudukan yang tinggi di sisi-Nya.
Di dunia sufi dan tarekat, beliau dinilai sebagai salah seorang pengembang aliran tarekat Islam, yakni tarekat Qadiriyah, yang kini banyak diikuti Muslim di pelbagai belahan dunia, tak terkecuali Indonesia.
Tanah Kelahiran Beliau
Abdul Qadir kecil dilahirkan di kota Gilan atau Jilan, di selatan Laut Kaspia Persia (Iran), tepatnya pada malam 1 Ramadhan 470 H /1077 M. Beliau memiliki nama lengkap Sayyid Muhyiddin Abu Muhammad Abdul Qadir ibnu Abi Shalih Zango Dost Al-Jilani. Kata “Jilani” di belakang nama Syeikh Abdul Qadir tampaknya merujuk pada kampung kelahirannya.
Ayahnya bernama Abu Shaleh. Beliau adalah seorang yang taat beragama dan memiliki hubungan keturunan dengan sayyidina Hasan (putra sulung Sayyidina Ali karramallâhu wajhah). Silsilah lengkapnya adalah: Muhyid-Din Abu Muhammad Abdul Qadir ibnu Abi Shaleh bin Musa bin Abdillah bin Yahya bin az-Zahid bin Muhammad bin Dawud bin Musa bin Abdillah bin Musa al-Jun bin Musa al-Mahd bin Hasan al-Musanna bin Hasan bin Ali bin Abi Talib.
Sementara ibunya bernama Fatimah binti Abdillah ash-Shauma’i, wanita yang terkenal memiliki Maqam Wilayah (seorang waliyullah). Sayyidah Fatimah ash-Shauma’i masih merupakan keturunan sayyidina Husain bin Ali bin Abi Thalib. Dengan demikian, Syaikh Abdul Qadir al-Jilani adalah keturunan Sayyidina Hasan dan Husain.
Terlahir di Tengah Kecamuk Politik
Syaikh Abdul Qadir al-Jilani rahimahumullâh hidup pada abad 11 M, bertepatan dengan 470–561 H. Pada tahun itu, akidah mendapat serangan yang sangat mematikan dari dua kubu, yaitu spiritualisme ekstrem al-Hallaj dan rasionalisme Mu’tazilah.
kekacauan dan pergolakan umat ketika itu membahayakan akidah para pemimpin dan para jendral perang, dan menjerumuskan mereka kedalam kekeruhan politik dan dekadensi moral. Perubahan arah politik ketika itu sudah tidak karuan. Salah satu penyebabnya adalah runtuhnya Bani Buwaihi dari kelompok Syiah dan datangnya dinasti Saljuk untuk menguasai Baghdad. Zaman emas dinasti Abbasiyah telah berlalu. Kekhalifahan Islam jatuh ke tangan khalifah yang lemah. Kendali Khalifah jatuh ke tangan para tentara dan panglima perang yang tamak.
Kendatipun keadaan politik sangat tidak bersahabat, keadaan itu tidak menjadi alasan bagi Abdul Qadir muda untuk ikut terhanyut arus. Malah sebaliknya, beliau lebih menjadikan ini sebagai ujian dan sarana untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah Subhânahu wata‘âlâ. Beliau selalu mengingatkan manusia akan kerendahan dunia dan tak henti-hentinya memberikan wejangan kepada mereka, mendirikan majlis taklim, dan mengajak manusia untuk selalu berjalan mengikuti tuntunan agama. Beliau ibarat purnama dalam kegelapan.
Menimba Ilmu Agama
Sejak kecil, Abdul Qadir dikenal sebagai anak pendiam. Ia mempunyai perangai baik dan sopan santun yang tinggi. Di usia yang masih dini itu, ia kerap kali termenung meghayati arti kehidupan dan pendalaman akidah.
Memasuki usia 18 tahun, kedahagaanya akan ilmu agama mulai tampak. Ia mulai senang berkumpul dengan orang-orang saleh dan mengaji kepada para ulama. Keinginannya yang kuat tidaklah ia biarkan dan menjadi mimpi belaka. Di usia itu ia rela meninggalkan orang-orang yang ia cinta dan membuang kegemaran bermain-main seperti yang di lakukan para remaja saat itu. Tahun 488 H/1095 M, ia berkelana menuju Baghdad yang ketika itu menjadi pusat ilmu pengetahuan.
Ada cerita unik terkait dengan keberangkatannya menuju kota Baghdad. Hikayah ini diceritakan oleh Imam asy-Syathnufi: “Ketika saya meminta izin kepada ibu untuk pergi ke Baghdad guna menuntut ilmu, beliau memberikan bekal kepadaku 40 Dinar dan menjahitnya di bawah ketiak bajuku. Beliau berwasiat kepadaku agar selalu bersifat jujur. Di tengah perjalanan kami, tiba-tiba ada 60 orang penunggang kuda, mereka merampas harta para kafilah. Tidak seorangpun yang mengetahuiku, lalu salah seorang dari mereka mendekatiku dan bertanya kepadaku, “Berapa uang yang kamu bawa wahai orang miskin?” Saya menjawab, “40 dinar.” Kemudian ia bertanya lagi, “Di mana ia kau simpan?” Saya jawab, “Di jahit dalam baju di bawah ketiakku.” Ia mengira aku meledeknya, sehingga ia meninggalkanku dan pergi.
lalu ada perampok lain yang menghampiriku dan bertanya kepadaku seperti pertanyaan orang pertama. Aku pun menjawabnya seperti jawabanku yang pertama. Kemudian dia pun pergi meninggalkanku. Pada akhirnya keduanya bertemu dan melaporkan apa yang telah mereka dengar dariku kepada pemimpin mereka. Pemimpin penyamun itu berkata, “Antarkan aku sekarang kepadanya!” Setelah ia menemuiku, dia bertanya, “Apa yang kamu bawa?” Saya menjawab, “Uang 40 Dinar”. Dia bertanya lagi, “Di mana ia?” Aku menjawab, “Di jahit dalam baju di bawah ketiakku.” Syahdan, ia menyuruhku untuk merobek dan membukanya. Ia pun menemukan uang itu. Setelah itu ia bertanya kepadaku, “Mengapa kamu mengaku?” Saya menjawab, “Aku berjanji kepada ibuku untuk selalu jujur, dan aku tidak ingin mengkhianatinya.”
Mendengar alasanku, orang itu menangis seraya berkata, “Kamu tidak ingin mengingkari janjimu kepada ibumu, sedangkan kami telah menghianati janji kami kepada tuhan selama bertahun-tahun.”
Pemimpin para penyamun itupun bertaubat di hadapanku, dan kawan-kawannya berkata, “Kamu adalah pemimpin kami dalam perampokan, maka sekarang kamu adalah pemimpin kami dalam bertaubat. Akhirnya mereka semua bertaubat dihadapanku dan mengembalikan barang rampasannya kepada para kafilah.
Alhi Riyadhah dan Mujahadah
Kebesaran nama Syaikh Abdul Qadir, baik sebagai ulama yang alim dalam bidang usul fikih atau sebagai teolog ulung, tidaklah ia peroleh dengan mudah. Perjuangan beliau dalam menimba ilmu agama sangatlahlah keras. Ia menghabiskan waktu 32 tahun untuk menimba ilmu agama. Dalam perjalanannya ia sering kehabisan bekal, sehingga tidak jarang ia memakan sisa-sisa semangka dan daun-daun kering di pinggiran sungai dan parit. Usaha yang sangat berat tidaklah berakhir secara sia-sia. Terbukti pada akhirnya beliau dapat menguasai 13 macam ilmu.
Dalam ilmu fikih, ia belajar kepada Abi Sa’ad al Makhzumi–salah seorang ulama bermadzhab Hanafi yang terkenal sangat alim. Ia pun mewarisi kealiman gurunya itu. Salah satu bukti kealiman beliau adalah ketika fatwa beliau diperlihatkan kepada ulama-ulama di Irak. Mereka merasa kagum kepada beliau seraya berkata, “Maha suci Allah yang telah menganugrahkan kepadanya nikmat yang besar.”
Setelah beliau matang dalam ilmu fikih, beliau mulai terasa tertarik untuk mempelajari ilmu batin, yaitu ilmu untuk menata hati. Dalam hal ini, beliau berguru kepada Abi Zakariyya At-Tibrizi. Diceritakan bahwa beliau menjadi murid kesayangan gurunya yang satu ini.
Selain itu, beliau juga mempelajari ilmu tarekat kepada syaikh Muhammad bin Muslim ad-Dabbas. Dalam tempaan gurunya ini, beliau sering melakukan riyadhah dan mulai senang menyendiri untuk menyucikan hati. Diriwayatkan bahwa dalam pengembaraanya ini, Ia selalu di datangi oleh Nabi Khaidir dan para lelaki suci dari alam lain (malaikat).
Setelah 25 tahun, Syek Abdul Qadir Jilani menghabiskan waktunya sebagai pengembara sufi di Padang Pasir Irak. Ia benar-benar menjadi orang yang paling disegani dan terkenal sebagai tokoh sufi besar, karena keberhasilannya memadukan ilmu syariat dan tarekat.
Karya-karya Beliau
Syaikh Abdul Qadir adalah seorang tokoh sufi yang menghabiskan sebagian besar hidupnya untuk kepentingan umat. Sebagaian besar jalan yang beliau tempuh adalah dengan cara berdakwah dan mengisi majelis-majelis taklim, sehingga perhatian beliau kepada tulis-menulis sangatlah terbatas. Tapi di tengah-tengah kesibukan itu beliau masih sempat merampungkan beberapa karya, antara lain al-Ghunyah li Thalibi Tharîqil-Haq, Futûhul-Ghaib, al-Fathur-Rabbâni.
Karamah Beliau
Abu Husain al-Yunani berkata, “Saya mendengar Syaikh Izzuddin bin Abdissalam berkata, ‘tidak pernah kita mendengar karamah seseorang secara mutawatir kecuali karamah Syaikh Abdul Qadir al-Jilani’.”
Diriwayatkan dari Siti Fatimah binti Abdillah (ibunda Syaikh Abdul Qadir), bahwa ketika itu di desa Jilan Siti Fatimah terkenal mempunyai seorang bayi yang tidak mau menyusu ketika bulan Ramadhan tiba. Bayi mungil itu adalah Abdul Qadir kecil. Pada suatu hari akhir bulan Sya’ban, langit desa Jilan diselimuti kabut, sehingga para penduduk tidak bisa melihat hilal. Merekapun ragu apakah hari itu sudah termasuk Ramadhan atau belum. Selanjutnya mereka beramai-ramai mendatangi kediaman Siti Fatimah as-Sauma’i, dan menanyakan apakah hari ini Abdul Qadir menyusu atau tidak? Setelah mendapat jawaban dari Siti Fatimah as-Sauma’i bahwa hari itu Abdul Qadir tidak mau menyusu, akhirnya mereka yakin bahwa hari itu sudah memasuki bulan Ramadhan.
Akhir Perjalanan Sang Sufi
Hampir selama 40 tahun lamanya Syeikh Abdul Qadir membimbing masyarakat lewat pengajian dan madrasah yang didirikannya. Perjalanan panjang beliau berakhir ketika dipanggil menghadap Sang Ilahi Rabbi pada usia 91 tahun, tepatnya pada malam sabtu tanggal 8 Rabiul Akhir 561 H (1166 M). Jasad beliau di makamkan di kota Baghdad. Kepergianya dari alam dunia barangkali mentiadakan jasadnya dari pandangan kita, tapi nama dan pengaruhnya akan selalu hidup menyinari hati kita.Sumber: www.sidogiri.net
Tidak ada komentar:
Posting Komentar